Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022 yang diselenggarakan di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya berlangsung semarak. Ribuan peserta, baik dari penggerak Gusdurian, beragam LSM, unsur tokoh agama dan aktivis, meramaikan gelaran dua tahunan Jaringan Gusdurian tersebut. Tak terkecuali, peserta dari luar negeri. Saat ini, terdapat sedikitnya lima komunitas Gusdurian di luar negeri, seperti London, Teheran, Jeddah, Bangkok, dan Kuala Lumpur.
Saya berbincang dengan ketua penggerak Gusdurian Kuala Lumpur (KL), Abdul Rahman, terkait pengalamannya mengikuti Tunas Gusdurian 2022. Rahman mengaku datang di hari pertama bersama tiga orang rombongan Gusdurian KL.
“Kebetulan saya ketua Gusdurian Kuala Lumpur, sejak berdiri tahun 2011 hingga sekarang,” terang pria yang mengaku berdarah Madura ini.
“Saya mendirikan bersama tiga orang lainnya. Gusdurian Kuala Lumpur ini prinsipnya sama, tetap memegang nilai-nilai utama almarhum Gus Dur, termasuk bagiamana mengentaskan persoalan ekstremisme beragama. Hanya saja, isu yang kami geluti mungkin sedikit khusus yaitu persoalan pekerja migran,” tambahnya.
Rahman bercerita jika ia sendiri adalah ‘migran’ sejak kedua orang tuangnya memutuskan hidup di Malaysia.
“Jadi saya cukup memahami kompleksitas pekerja migran dan pengungsi, terkhusus dari Indonesia. Ada jutaan pekerja migran dari Indonesia, baik yang legal dengan dokumen maupun tanpa dokumen, mengadu nasib di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur. Namun, mereka semua sama-sama kaum migran yang mesti diperhatikan,” ujar Rahman.
Menurut pria yang pernah mengenyam pendidikan menengah di Peterongan Jombang ini, isu pekerja rumah tangga dan buruh migran memerlukan kerjasama lintas-sektor. “Dalam hal ini terkadang Gusdurian KL bekerja sama dengan KBRI Kuala Lumpur, PCI NU setempat, Ansor, juga NGO lain seperti Migrant Care. Sebagai wujud perhatian pada buruh, saya juga turut mengawal pendirian Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia) NU di sini.”
Lebih lanjut, Rahman mengisahkan Gusdurian di Kuala Lumpur ketika membantu kawan-kawan migran yang sakit atau kecelakaan dan tidak punya dokumen. Menurutnya, persoalan layanan kesehatan di Malaysia cukup disiplin dalam hal administrasi. “Jadi, kalau tidak ada dokumennya, agak susah menjadi orang sakit di Malaysia. Ini yang biasanya kami bantu advokasi maupun bantuan untuk mengakses layanan dan biaya berobatnya.”
Selain itu, pekerja migran juga seringkali dihadapkan pada masalah hukum pidana atau perdata yang menyeret mereka ke pengadilan. Gusdurian KL berusaha melakukan pendampingan. Tak terkecuali, pemulangan migran tanpa dokumen yang “dimondokkan” di Depo Imigrasi minimal 3 bulan. “Kalau tidak diadvokasi, kami tidak terbayang nasib yang mereka alami di Depo tersebut, bisa enam bahkan sepuluh bulan.”
Terkait persoalan toleransi, lintas agama, Rahman merasa itu penting, namun menurutnya, di Malaysia agak susah mengembangkannya. “Gus Dur sendiri sepengetahuan kami di Malaysia dikenal sebagai tokoh liberal dan pluralisme, sehingga kurang mendapat respek sesuai kultur keagamaan yang dominan di sini. Mungkin memang isu tiap daerah itu berbeda, ya.”
Sebagai bagian dari komunitas Gusdurian di Kuala Lumpur dan setiap hari berhadapan dengan kaum migran, ia berharap persoalan buruh migran tersebut mendapat sorotan lebih sebagai bagian dari gerak kemanusiaan.
“Saya ikut Tunas sejak 2014, dan mungkin bisa berharap dari Gusdurian sesuai kapasitasnya bisa lebih membantu advokasi untuk teman-teman buruh migran ini, karena inilah yang sehari-hari kami hadapi.” pungkas Rahman. Aktivitas Gusdurian Kuala Lumpur sendiri bisa diikuti di Instagram @gusduriankualalumpur