Menurut Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Lawami’ al-Bayyinat Syarh Asma’ Allah Ta’ala wa al-Shifat, tidak saja menjadi penting bagi kita untuk mengetahui manfaat atau hikmah berzikir, tetapi juga cukup fundamental untuk memahami penjelasan firman Allah SWT perihal kehancuran bagi mereka yang berpaling dari berzikir.
Imam al-Razi menyinggung empat ayat di dalam Al-Qur’an. Pertama, firman-Nya dalam QS. Thaha: 124-126;
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَ
Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sungguh baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Wahai Tuhanku mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku dapat melihat?” Dia berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, sementara kamu melupakannya maka begitu juga pada hari ini kamu dilupakan.”
“Ayat ini,” kata Imam al-Razi, “dengan jelas mengarah pada makna bahwa berzikir kepada Allah SWT dengan menghubungkan pada hati sama artinya dengan mengaitkan al-Nur (Yang Maha Cahaya) al-Bashir (Yang Maha Melihat) kepada sorot mata kebajikan.”
Kedua, friman-Nya dalam QS. Al-Zukhruf: 36;
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Yang Maha Pengasih maka Kami datangkan setan sebagai teman karibnya.
Mengenai ayat ini Imam al-Razi menyatakan, “Pada hakihatnya birahi, amarah, angan-angan, dan khayalan seluruhnya saja menyeru manusia kepada kesibukan akan hal-hal ragawi yang merupakan kebalikan dari usaha-usaha untuk berkhidmah kepada Allah SWT. Ketika terdapat dua hal bertentangan kemudian ada sesuatu/seseorang lebih dekat dengan yang satu maka secara otomatis ia akan menjauh dari yang lain. Sehingga ketika seseorang lebih kuat seruannya terhadap hal-hal ragawi maka ia akan semakin dekat dengan hal-hal tersebut seraya menjauh dari hal-hal yang bersifat rohani. Proses penjauhan inilah yang berkelindan dengan ayat di atas.”
Ayat ketiga adalah firman-Nya dalam QS. Al-Jinn: 17,
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا
Dalam hal itu Kami menguji mereka, dan barang siapa berpaling dari mengingat tuhan-Nya niscaya ia akan dimasukkan ke dalam azab yang sangat berat.
Ayat keempat yakni firman Allah SWT dalam QS. Al-Munafiqun: 9,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta benda kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi
Sampai di sini Imam al-Razi tidak menjelaskan lebih jauh mengenai ancaman bagi mereka yang berpaling dari berzikir kepada Allah SWT. Sementara para mufasir memaknai ayat-ayat di atas dengan senada, tidak mengartikannya pendawaman zikir.
Imam Al-Thabari menafsirkan bahwa berpaling dari dzikr Allah maksudnya adalah berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an serta dari pengamalannya. Sejumlah mufasir kenamaan seperti al-Zamakhsyari, al-Baghawi, dan al-Qurthubi pun senada dengan al-Thabari, tidak mengartikannya zikir.
Dalam kitab Jalalain, frasa dzikr Allah pada ayat-ayat di atas maknanya adalah salat lima waktu atau Al-Qur’an itu sendiri. Begitu juga dengan Imam al-Razi tidak serta merta memaknai frasa tersebut dengan berzikir dalam kitab tafsirnya. Dalam Mafatih al-Ghaib justru beliau kemukakan bahwa makna frasa tersebut adalah ibadah, peringatan atau wahyu-Nya.
Adalah suatu keniscayaan bagi para mufasir untuk menjawab perihal hukum dalam kitab mereka. Sehingga muncul kekhawatiran akan beratnya taklif kepada masyarakat awam jika ayat-ayat di atas dimaknai terang-terang ‘berzikir’. Bahwa orang yang sedikit saja tidak berzikir, dengan pemaknaan ini, akan mendapatkan kesulitan bahkan azab yang begitu dahsyatnya. Hal ini menjadi alasan bagi para ulama untuk tidak membebani pikiran masyarakat pada umumnya.
Begitu juga dengan Imam al-Razi, ia memilih tidak memaknai frasa tersebut dengan ‘berzikir’. Memang, sekilas terlihat adanya kontradiksi dalam dua kitab beliau, namun tentu hal ini tidak serta merta menjadi kesimpulan adanya inkonsistensi pemikiran.
Alih-alih inkonsisten, Imam al-Razi justru memperlihatkan kepakaran beliau dengan tidak melakukan gebyah uyah dalam komunikasi, mengerti betul segmen pembaca yang ada. Pada ayat pertama hingga keempat beliau seakan sengaja tidak mengelaborasi lebih jauh pembahasan tentang azab pedih bagi orang berpaling dari zikir kepada Allah, tidak seperti yang tertera dalam teks Al-Qur’an. Imam al-Razi lebih memilih untuk mengulas hanya dua ayat, itupun dengan kalam singkat yang masih butuh penafsiran ulang. Terlihat seakan beliau tidak bermaksud menyinggung perihal azab dan hukuman yang berat lebih-lebih bagi Mukminin yang juga mungkin terlupa akan zikir.
Pada kitab Lawami‘ ini nuansa yang hadir perihal zikir terasa lebih mistis, melampaui paradigma fiqh-sentris. Perihal hukuman pada ayat pertama tidak disoroti pada sisi kebutaan yang menjadi fokus bahasan ayat tersebut. Imam al-Razi justru mengambil mafhum mukhalafah dari ayat itu yakni manfaat berzikir kepada Allah Yang Maha Cahaya serta Maha Melihat. Sementara mengenai ayat kedua beliau lebih memilih menjelaskan resiprokal antara kesenangan ragawi dan ketentraman rohani dalam berzikir. Selanjutnya beliau tidak menanggapi lebih lanjut ayat ketiga dan keempat, dibiarkan apa adanya sebagai klimaks dari dua ayat yang beliau elaborasi sebelumnya.
Bagaimana narasi klimaks dari ancaman bagi mereka yang berpaling dari zikir kepada Allah?
Kita akan menemukan setitik jawaban jika mengaitkan pernyataan Imam al-Razi di atas, pun penafsirannya dalam Mafatih al-Ghaib, dengan aforisme dalam al-Hikam-nya Ibn Athaillah al-Sakandari.
Sebelum kita mengaitkan kaul Imam al-Razi dalam kitab Lawami‘dengan aforisme al-Hikam Ibn Athaillah, perlu kita garisbawahi terlebih dahulu berbagai ancaman dalam empat ayat sebelumnya. Ayat pertama menyatakan kehidupan yang sempit serta kebutaan di hari akhir; Ayat kedua mengancam akan mendekatkan setan kepada yang membutakan diri dari berzikir; Ayat ketiga tegas akan mengazab dengan berat mereka yang berpaling; Sementara ayat keempat adalah himbauan bagi mereka dengan ancaman kerugian yang sangat.
Dalam kitab Lawami’ Imam al-Razi menyikapi ayat ancaman dan himbauan di atas lebih pada anjuran untuk berzikir itu sendiri, bukan pada siksaan dan azab yang tampak pada teks ayat. Tambahan dari Imam al-Razi yakni menurut pada birahi dan amarah serta memanjangkan angan-angan dan khayalan merupakan bagian dari kesibukan ragawi. Sementara bersibuk ria dengan tubuh akan menjauhkan kita dari aktifitas yang berkaitan dengan ruh. Oleh karenanya berzikir adalah solusi, meskipun kita tidak bisa lepas dari kesibukan ragawi, kita tetap bisa menghidupkan sisi rohani dalam diri.
Itulah mengapa Ibn Athaillah menyatakan, “Jangan tinggalkan zikir hanya karena (hati)mu belum hadir bersama Allah SWT di dalamnya, karena kealpaanmu dari zikir itu lebih berat daripada lupamu (yang terjadi) ketika berzikir. Mudah-mudahan Dia mengangkatmu dari zikir yang disertai kealpaan kepada zikir yang penuh kesadaran. Kemudian dari zikir yang penuh kesadaran kepada zikir yang hadir, dan dari zikir yang hadir kepada zikir yang melenyapkan segala selain Yang dizikirkan.” { Dan yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah, QS. Ibrahim: 20 & QS. Fathir: 17 }
Ibn Athaillah mengherani kita, beliau ucapkan;
“Bagaimana mungkin Dia bisa terhijab sesuatu sementara Dia Yang menzahirkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang zahir dengan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang zahir dalam segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang Maha Zahir sebelum wujud segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang Maha Zahir dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang Maha Esa tiada sesuatu bersama-Nya? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara Dia Yang lebih denganmu daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Dia terhijab sesuatu sementara sekiranya bukan karena-Nya tidak akan wujud segala sesuatu? Sungguh ajaib bagaimana bisa nampak suatu wujud pada ketiadaan? Atau bagaimana mungkin yang baru bersama Dia Yang Qadim?”
Jika keheranan di atas dilanjutkan, begini kira-kira jadinya; Jika kita pernah merasakan sesaknya hidup tanpa yang terkasih, bagaimana mungkin bisa tidak merasakan sempitnya hidup tanpa menyebut nama Yang Maha Pengasih? Tidak pernahkah kita menyaksikan kasih-Nya yang jelas melebihi segala?
Jika kita mengerti Dia Yang Maha Pemberi segala kenikmatan lebih dekat dari segala mengapa kita coba-coba dengan kesenangan-kesenangan fana yang membuat kita binasa?
Bukankah jadi kerugian besar jika di akhir nanti kita ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan sementara kita hanya bisa menjawab ini itu, tak pernah sekalipun mengerti nikmatnya menyebut nama Yang Maha Mencintai?
Jika kita pernah merasakan pedihnya dilupakan oleh yang tersayang, bagaimana mungkin kita tidak takut dilupakan oleh Yang Maha Penyayang? Pernahkah kita mengerti kasih sayang-Nya kepada kita tidak akan dapat disamai bahkan oleh ibu kita sendiri? Kalau kita tak bisa membayangkan sakitnya dilupakan seorang ibu bagaimana bisa kita tidak takut dengan pedihnya dilupakan Allah SWT? Semoga kita tidak terlambat untuk mengingat sebelum segalanya menjadi gelap. Wallahu a’lam.