Sebagai suatu ajaran dan sistem nilai yang dianut oleh milyaran umat manusia di berbagai belahan dunia, agama seharusnya mampu membuat kehidupan para pemeluknya menjadi (semakin) baik dan berkualitas. Para pemeluk agama pun menjadi tercerahkan dan kehidupannya semakin matang, berguna, dan bermakna. Kualitas para pemeluk agama bisa dilihat dari aspek “dalam” dan “luar”. Aspek “dalam” berkaitan dengan sisi mental, psikis, dan watak; serta aspek “luar” berkaitan dengan ranah sosial. Antara sisi “dalam” dan sisi “luar” tentu saja dan seyogyanya selalu berkaitan. Muncullah manusia beragama yang berwatak baik serta punya sumbangsih nyata pada persoalan sosial dan kemanusiaan.
Maka, agama tak sekadar deretan ritual belaka, melainkan terutama tindakan nyata untuk mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Bahkan, semua ritual kaum beragama sebenarnya selalu punya makna sosial. Dalam Islam, misalnya, ritual seperti salat, puasa, dan haji punya tafsir sosial yang nyata, di samping juga mengubah mental seseorang menjadi semakin baik. Jika kaum beragama rajin atau taat melakukan ritual, namun kehidupannya tidak berubah menjadi semakin baik, bermakna, dan berguna, maka sia-sialah ritual yang dijalaninya. Di negeri ini sudah terlalu banyak contohnya seseorang yang rajin beribadah, taat melakukan ritual agama, dan sangat fasih melafadkan kitab suci, namun toh tetap melakuan korupsi.
Untuk itu, ibadah sebenarnya harus selalu dimaknai dalam dua sisi: ibadah dalam konteks ritual pribadi dan ibadah dalam konteks sosial. Ibadah sosial inilah yang menjadi pertaruhan utama kaum beragama apakah mereka berguna dan punya sumbangsih nyata pada transformasi sosial, sejarah, dan peradaban. Kesalehan tak terutama diukur dari ketaatan seseorang melakukan ritual, melainkan sejauhmana ia mampu berbuat baik, bermakna, dan berguna dalam kehidupan. Anak saleh bukanlah anak yang sekadar rajin beribadah dan taat melakukan ritual agama, melainkan yang wataknya baik dan kehidupannya berguna bagi orang lain.
Surga dan Neraka: Iming-Iming dan Ancaman
Kualitas kaum beragama tak sekadar dilihat dari simbol luarnya seperti tempat ibadah yang semakin banyak jumlahnya, tempat ibadah yang bagus dan megah, jamaah ritual yang membludag, acara pengajian atau kebaktian yang semarak, dan semacamnya, melainkan terutama sejauhmana umat beragama semakin baik wataknya dan semakin berguna kehidupannya. Jadi, keberadaan kaum beragama terutama diukur dari sejauhmana mereka punya sumbangsih nyata bagi kehidupan yang lebih baik, bermakna, dan berguna. Agama, dengan demikian, bukanlah sekadar sekumpulan ritual yang syahdu dan mengharu-biru, melainkan terutama spirit untuk melakukan perubahan nyata ke arah kehidupan yang lebih baik, bermakna, dan berguna.
Kualitas kaum beragama diukur dari sejauhmana mereka punya kepedualian sosial yang nyata bagi masyarakat luas dan kehidupan. Jika spirit utama kaum beragama adalah berbuat sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik, maka beragama dengan berbagai macam ritualnya bukanlah “kewajiban”, melainkan “kesadaran”. Seorang umat beragama melakukan ritual atau apapun yang dianjurkan agama bukanlah untuk memburu pahala (surga) dan menghindari siksa (neraka), melainkan agar kehidupannya menjadi semakin baik, bermakna, dan berguna. Takwa juga dimaknai dari upaya melakukan hal yang baik, bermakna, dan berguna, bukan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Takwa dengan penafsiran melakukan hal yang baik, bermakna, dan berguna sudah otomatis mensyaratkan tindakan mencegah kezaliman dan kemunkaran (amar makruf nahi munkar).
Beragama secara matang, dewasa, dan merdeka adalah beragama yang menekankan kesadaran dan tanggung jawab dari hati nurani terdalam untuk (turut) melakukan hal yang baik, berguna, dan bermakna bagi kehidupan. Ya, suatu “kesadaran”, bukan “kewajiban”. Beragama yang dilandasi kesadaran bukanlah beragama yang diwarnai belenggu, kepicikan, ketakutan, dan ancaman. Beragama secara matang, dewasa, merdeka, dan dilandasi kesadaran ditandai dengan upaya berbuat baik karena memang inilah panggilan hidup yang nyata dan mulia, bukan karena iming-iming pahala (surga) atau takut pada siksa (neraka).
Sudah saatnya agama dimaknai secara lebih sejuk dan ramah sebagai ajakan untuk melakukan hal yang baik, berguna, dan bermakna sebagai panggilan hidup yang mulia dan penuh kesadaran, bukan ditafsirkan secara dominan sebagai rentetan perintah, larangan, kewajiban, dan ancaman. Betapa masih sangat banyak para penafsir dan penceramah agama (pengkhutbah) yang selalu menakut-nakuti pendengarnya dengan ancaman azab, siksa, neraka, dan seterusnya. Agama pun lantas berwajah sangar dan menakutkan. Agama dipakai untuk menakut-nakuti dan mengancam, bukan terutama untuk memberi kesejukan, ketenteraman, dan harapan.
Maka, kadang bisa dimaklumi, jika cukup banyak orang yang kemudian menjauh dari agama. Alih-alih tertarik kepada agama, mereka justru alergi dan pobi terhadap agama. Jamaah pengajian dan kebaktian hanya diisi oleh orang-orang tua yang telah berusia senja, sementara sangat sedikit anak-anak muda yang datang. Agama terasa kering, mandeg, rutin, dan jumud. Tak ada pengkayaan makna, penyegaran, dan terobosan yang menggairahkan. Ironis, agama pun menjad hal yang klise dan terasa tak menarik lagi. Anak-anak muda pun lebih tertarik berkumpul di komunitasnya sendiri dengan aneka warna aktivitasnya, daripada menghadiri acara pengajian, kebaktian, mengkaji kitab suci, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Banyak orang menjauh dari agama atau paling banter mencantumkan agama hanya dalam KTP karena memang ada persayaratan seperti itu yang berdaya paksa. Dalam kehidupannya, mereka lalu lebih banyak “dibimbing” oleh rasio dan hati atau akal budi dan hati nurani mereka masing-masing daripada meresapi, menghayati, menginternalisasikan, dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka secara sadar.
Tafsir Agama: Matang Atau Picik?
Penafsiran dan pemaknaan agama yang diwarnai iming-iming dan ancaman adalah penafsiran agama yang dangkal, picik, dan kekanak-kanakan. Dalam model pemaknaan dan penafsiran agama yang seperti ini, seseorang melakukan sesuatu karena ada unsur keterpaksaan dan pamrih, bukan dilandasi kesadaran dan panggilan hidup. Keterpaksaannya adalah menghindari siksa dan neraka, serta pamrihnya adalah meraih pahala dan surga.
Model beragama seperti itu justru membuat eksistensi manusia semakin mengecil, menciut, kerdil, dan ringkih, bukan semakin mekar, dewasa, matang, dan merdeka. Padahal, otonomi dan kemerdekaan adalah hal utama dalam kehidupan manusia. Yakni suatu otonomi dan kemerdekaan sepenuh-penuhnya sejauh tidak merugikan orang lain, tidak merusak, dan tidak bertindak jahat (kriminal). Dalam situasi ancaman dan ketakutan tentu tak ada kemerdekaan, bukan?
Ajaran atau pendidikan yang diwarnai ancaman dan dalam suasana ketakutan sudah saatnya ditinggalkan. Hal seperti ini tak cocok bagi siapa pun, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Sudah saatnya agama ditafsirkan secara lebih matang, kaya, dan dewasa, bukan dimaknai secara picik dan dangkal. Dengan penafsiran yang lebih matang, kaya, segar, dan dewasa agama tentu bisa bertahan meniti waktu, sejarah, dan peradaban. Persentuhan antara akal budi dan hati nurani dengan teks agama seyogyanya melahirkan “pencerahan” yang terus-menerus memperkaya dan memperbaiki sejarah, peradaban, dan kehidupan.[]
*) M. Arief Hakim adalah Penghayat Reiligiositas dan Spiritualitas, Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB).