Al-Ghazali merupakan intelektual Islam abad pertengahan yang sangat berpengaruh. Melalui tiga kitabnya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah, Ihya Ulumuddin dan Mi’yar al-Ilm, al-Ghazali menancapkan sayap-sayap pengaruhnya dalam jagad pemikiran Islam sehingga tak ada seorang pemikir pun, baik pemikir Islam abad pertengahan maupun pemikir Islam modern, yang tak pernah tersentuh oleh pemikiran al-Ghazali.
Penguasaannya terhadap berbagai cabang pengetahuan membuatnya menjadi intelektual Islam tak tertandingi sepanjang sejarah. Al-Ghazali memang secara teologi berasal dari aliran al-Asy’ariyyah namun demikian popularitasnya menutupi Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran al-Asy’ariyyah. Al-Ghazali memang berafiliasi ke mazhab al-Syafi’i, namun popularitasnya tetap mengalahkan imam terbesar dalam salah satu mazhab fikih ini. Salah satu muridnya yang menaruh banyak kekaguman kepadanya menyebutnya sebagai Imam al-Syafi’i kedua.
Dalam dunia politik, konon, kitabnya yang berjudul at-Tibrul Masbuq juga memiliki pengaruhnya yang sangat signifikan terhadap tradisi politik kaum pesantren dan raja-raja Islam di Nusantara. Seperti yang disebut Peter Carey dalam The Power of Prophecy, bacaan favorit Diponegoro, salah satunya ialah karya al-Ghazali yang berjudul at-Tibrul Masbuq ini. Jadi wajar jika al-Ghazali juga sangat fenomenal di kalangan muslim nusantara karena para pendahulu mereka menaruh banyak kekaguman pada sosok ini.
Baiklah tulisan ini tidak bermaksud untuk mengglorifikasi pemikiran-pemikiran al-Ghazali yang sedemikian berpengaruhnya bagi umat Islam. Jauh dari sikap mengglorifikasi, tulisan ini ingin menghadirkan pemikiran al-Ghazali secara apa adanya, tentang hukum kausalitas yang ditolaknya secara mentah-mentah, terutama kita akan hadirkan dari karya polemisnya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah.
Tak hanya itu, membaca al-Ghazali harus juga melibatkan pembacaan terhadap para pemikir pra al-Ghazali untuk melihat intertesktualitas pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran para pemikir Islam sebelumnya. Ini untuk melihat bahwa al-Ghazali tidak sendirian dalam menolak hukum yang menjadi landasan bagi tumbuh berkembangnya sains, hukum kausalitas.
Baiklah kita mulai dari teks yang secara eksplisit menyiratkan sikap anti kausalitas al-Ghazali dan yang dapat kita baca melalui karyanya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali ketika mengomentari hukum kausalitas seperti yang diyakini oleh para filosof Yunani mengatakan demikian:
الاقتران بين ما يعتقد في العادة سبباً وما يعتقد مسبباً ليس ضرورياً عندنا بل كل شيئين ليس هذا ذاك ولا ذاك هذا، ولا إثبات أحدهما متضمن لإثبات الآخر ولا نفيه متضمن لنفي الآخر، فليس من ضرورة وجود أحدهما وجود الآخر ولا من ضرورة عدم أحدهما عدم الآخر مثل الري والشرب والشبع والأكل والاحتراق ولقاء النار والنور وطلوع الشمس والموت وجز الرقبة والشفاء وشرب الدواء وإسهال البطن واستعمال المسهل وهلم جرا إلى كل المشاهدات من المقترنات في الطب والنجوم والصناعات والحرف
“Urutan peristiwa dimana ‘A diyakini sebagai sebab dan B diyakini sebagai akibat’, menurut kami, tidaklah pasti. Secara lebih tegasnya, jika ada dua peristiwa berurutan, yang kami yakini ialah bahwa A bukan sebab bagi B. Oleh karena itu, penetapan ‘sebab A’ tidak serta merta mempengaruhi penetapan ‘ akibat B’ dan penyangkalan terhadap ‘sebab A’ tidak berimplikasi apa-apa pada penyangkalan terhadap ‘akibat B’. Lebih jauh lagi ‘keberadaan A’ tidak akan berimplikasi apa-apa terhadap ‘keberadaan B’ dan begitu juga sebaliknya, ‘ketiadaan A’ tidak akan berakibat apa-apa pada ‘ketiadaan B’. Ilustrasi sederhananya kami kemukakan seperti ini; minum tidak disebabkan oleh haus, kenyang tidak disebabkan oleh makan, kebakaran tidak disebabkan oleh api, cahaya tidak disebabkan oleh terbitnya matahari, tewas bukan akibat dari dibunuh, sembuh bukan dikarenakan minum obat, mules bukan karena mengkonsumsi makanan tertentu, dan seterusnya sampai ke peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia kedokteran, astronomi, seni, profesi dan lain-lain.”
Lalu al-Ghazali mengembalikan semua peristiwa itu, peristiwa yang bukan karena hukum sebab-akibat itu sebagai takdir yang Allah tentukan bagi semesta. Al-Ghazali melanjutkan:
وإن اقترانها لما سبق من تقدير الله سبحانه يخلقها على التساوق لا لكونه ضرورياً في نفسه غير قابل للفرق بل في المقدور خلق الشبع دون الأكل وخلق الموت دون جز الرقبة وإدامة الحيوة مع جز الرقبة وهلم جرا إلى جميع المقترنات
“Bagi kami, semua peristiwa itu terjadi karena sudah ditakdirkan oleh Allah. Allahlah yang menciptakan semua itu secara terus menerus dan oleh karenanya, peristiwa-peristiwa tersebut terjadi bukan karena sebab-akibat yang tidak ada hentinya. Dalam ketetapan Allah, diciptakanlah kenyang tanpa melalui makan, diciptakanlah kematian tanpa melalui pembunuhan, diciptakanlah hidup meski sudah ada usaha mematikan, dan berikut peristiwa-peristiwa lainnya.”
Inilah sikap al-Ghazali yang menurut Ibnu Rusyd dalam Tahafut at-Tahafut sebagai sikap yang anti-pengetahuan ilmiah (al-burhani al-ilmi). Hal demikian karena menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan dan sains lahir dari pengamatan terhadap gejala-gejala alam yang bersifat kausal. Pengetahuan juga lahir dari pengamatan terhadap relasi internal yang ada pada gejala-gejala fisik. Kata Ibnu Rusyd dalam Tahafut at-Tahafut, man rofa’a al-asbab faqod rofa’a al-ilma (penolakan terhadap hukum kausalitas akan berimplikasi pada penolakan terhadap sains).
Jadi jika hukum yang melandasi semua gejala ini ditolak, tentu akan berimplikasi pada persoalan-persoalan yang cukup serius. Misalnya secara tak sadar, al-Ghazali sebenarnya sedang membangun teologi Jabariyyah yang serba menggantungkan semua aktifitas alam semesta ini kepada kehendak bebas Tuhan. Teologi semacam ini di Barat dikenal sebagai okasionalisme atau fatalisme. Persoalan lain yang tak kalah cukup seriusnya ialah adanya argumen bahwa semesta ini disusun berdasarkan pada ketidakpastian. Tentu pandangan ini, kata Ibnu Rusyd, berimplikasi secara serius pada argumen bahwa Tuhan tidak bijaksana dalam mengatur semesta.
Banyak kalangan intelektual, baik di Barat maupun di kalangan umat Islam sendiri, menyebut bahwa penolakan terhadap kausalitas ini dan pengembaliannya kepada hukum kebiasaan (al-adat) ialah pemikiran orisinal al-Ghazali.
Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Pemikiran yang menolak hukum kausalitas ini sebenarnya sudah dikenal dalam pemikiran-pemikiran para teolog sebelum al-Ghazali. Kita temukan pemikiran anti kausalitas ini dalam Syarh al-Usul al-Khomsah (lihat h. 341) karya al-Qadhi Abdul Jabbar yang hidup 40 tahun sebelumnya lahirnya al-Ghazali, at-Tamhid fi Ilmil Kalam (lihat h. 42-43) karya al-Baqillani yang hidup 50 tahun sebelum lahirnya al-Ghazali, dan dalam al-Awashim minal Qawashim (lihat h.120-121) karya Abu Bakar Ibnu Arabi yang hidup semasa dengan al-Ghazali.
Jadi, Muktazilah yang sedemikian dilebih-lebihkan sebagai kaum rasionalis ini pun bersama-sama dengan aliran Asy’ariyyah menolak hukum kausalitas dan itu artinya mereka anti terhadap ilmu pengetahuan (?).
Hal demikian karena susah dibayangkan jika tidak ada kepastian bahwa setiap kertas yang disentuh oleh api akan terbakar, air yang dipanaskan akan mendidih, pakaian basah yang dijemur di bawah sinar matahari akan menjadi kering. Jadi semuanya serba tidak pasti, dan karenanya, jika kita konsisten menolak hukum sebab-akibat ini, sudah tentu pula kita tidak akan bisa memperoleh pengetahuan yang benar-benar nyata.
Jika dilihat secara konsepsi, bisa saja kita mengikuti pandangan al-Ghazali dan para teolog muslim lainnya yang berkeyakinan serupa, tetapi secara empirisnya tetap saja yang kita saksikan ialah kepastian bahwa kertas menjadi abu karena terbakar oleh api, pakaian basah menjadi kering karena tersinar oleh terik matahari, hutan hijau ranau menjadi gundul karena ditebang, dan seterusnya.
Pertanyaan yang muncul dari kenyataan seperti ini ialah apakah kesepakatan soal penolakan terhadap hukum kausalitas baik di kalangan Muktazilah maupun di kalangan Asy’ariyyah ini dengan sendirinya berarti teologi Islam menolak ilmu pengetahuan? Tidak juga. Kita lanjutkan soal penolakan hukum kausalitas ini dalam tulisan berikutnya.