Abu Hamid al-Ghazali adalah sarjana besar dalam Islam, beliau lahir pada tahun 1068 M dan meninggal pada 1111 M. Sebagian sarjana Barat menyejajarkan al-Ghazali dengan Thomas Aquinas, seorang teolog besar dalam tradisi Kristen yang hidup pada kisaran abad ke-13. Imam al-Ghazali dianggap sebagai Thomas Aquinas-nya dunia Islam karena memiliki peranan yang agaknya mirip dengan Aquinas dalam agama Kristen Katolik.
Salah satu kontribusi besar al-Ghazali dalam tradisi pemikiran Islam adalah ketika beliau merekonstruksi dan memantabkan landasan berpikir gerakan ortodoksi dalam Islam, khususnya di dunia Sunni. Warisan intelektual yang luar biasa besar dari al-Ghazali ini terkait dengan upaya beliau untuk membuat kajian tasawuf atau mistisisme dipandang sebagai sesuatu yang secara syariat tidak bertentangan.
Sebab, ada persepsi pada saat itu bahwa tasawuf merupakan salah satu aliran atau corak tradisi pemikiran yang menyimpang dalam Islam. Pemahaman ini terjadi karena ada sekelompok orang yang ketika itu disebut sebagai aliran kebatinan dalam Islam, yang banyak melakukan praktik-praktik keagamaan yang agak berbeda dan bahkan bertentangan dengan Islam pada umumnya. Tugas al-Ghazali pada waktu itu mencoba memurnikan tasawuf sehingga tidak bertentangan dengan syariat.
Tetapi warisan terpenting al-Ghazali adalah ketika beliau mengkritik sentralitas pemikiran filsafat. Setidaknya ada dua karya yang telah ditorehkan al-Ghazali yang secara khusus membahas tentang kritiknya terhadap filsafat, yakni “Maqasid al-Falasifah” dan “Tahafut al-Falasifah”.
Kitab yang pertama berisi ringkasan teori dan gagasan para filosof Muslim saat itu, terutama mengurai pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibn Sinna, dua filosof Muslim yang dianggap paling mewakili khazanah pemikiran filsafat Islam dan yang paling banyak mewarisi filsafat Aristoteles di Yunani.
Al-Ghazali mengkritik filsafat karena dianggap sebagian dari produk-produk filsafat membawa ide-ide yang bertentangan dengan akidah Islam pada umumnya. Berkat kritik al-Ghazali ini, filsafat yang semula memiliki cukup kekuatan dan pengaruh yang lumayan signifikan di sebagian kalangan intelektual Muslim, kemudian merosot pengaruhnya.
Bersamaan dengan merosotnya tradisi pemikiran filsafat dalam Islam, konon juga ada anggapan bahwa pemikiran rasional dalam Islam juga ikut-ikutan mengalami kemersotan. Sebagian sarjana Modern mengkritik al-Ghazali karena beliau dianggap orang yang paling bertanggungjawab dalam kemunduran tradisi rasional dalam Islam.
Setelah filsafat dikritik al-Ghazali, popularitas filsafat sebagai disiplin ilmu di dunia Sunni lambat laun mulai merosot, meskipun di dunia Syiah tidak sama sekali. Sebab, Syiah sampai hari ini masih tetap eksis menjaga rasionalisme yang dulu sangat dipelihara oleh para filosof Muslim dan teolog, di mana ketika pengaruh al-Ghazali mulai meluas di kalangan Sunni, khususnya dampak kritik beliau terhadap filsafat, tradisi filsafat tetap dipelihara oleh orang-orang Syiah yang dikemudian hari melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Mulla Sadra.
Warisan rasionalisme para filosof Muslim yang ditinggalkan oleh Ibn Sinna, al-Farabi, dan belakangan oleh Ibn Rusyid, menjadi berpindah ke Eropa. Konon, Eropa meneruskan semangat rasional yang dulu dikembangkan oleh para filosof itu, lalu mereka mengalami pencerahan yang luar biasa pada kisaran abad ke-16 dan 17 M.
Sementara itu, bersamaan dengan mulai berkembangnya tradisi berpikir rasional di Barat, dunai Islam malah mengalami kemunduran. Banyak yang beranggapan bahwa kemunduran yang terjadi dalam dunia Islam akibat filsafat telah digantikan oleh tradisi pemikiran tasawuf dan ortodoksi.
Menurut saya, sebagian anggapan ini benar adanya. Memang, filsafat sekarang ini sebagai disiplin yang rasional banyak mengalami kemerosotan. Di pesantren-pesantren, yang merupakan wadah bagi para penimba ilmu agama Islam, hampir tidak ada kajian filsafat Islam, kecuali di kampus-kampus Islam yang peranannya pun masih sangat kecil dan tidak terlalu dignifikan. Ditambah minimnya kesadaran intelektual untuk lebih memberdayakan nalar rasional ketimbang yang lainnya. Orang sekedar mau berpikir filosofis saja sudah banyak yang mencurigai.
Justru model keberagamaan dalam Islam lebih didominasi oleh kecenderungan berpikir yang tekstualistik. Sebuah kecenderungan yang boleh jadi sebagiannya diwariskan dari al-Ghazali dan ulama-ulama salaf sebelumnya. Meski perlu dicatat bahwa al-Ghazali sendiri bukanlah tipikal ulama yang tekstual, hanya mungkin sebagian dari corak pemikirannya yang berbasis pada teks.
Tetapi hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa tradisi keberagamaan yang kuat di dunia Sunni saat ini lebih bercirikan ortodoksi. Di mana peran Alquran dan hadis Nabi sangat besar ketimbang qiyas dan ijma’. Sementara peran penalaran yang rasional, sebagaimana dipraktikkan oleh para filosof Muslim dan teolog Mu’tazilah, mengalami kemerosotan yang lumayan besar.
Sehingga, tradisi rasional ini menjadi kurang menonjol dalam dunia Islam. Saya kira, benar adanya bila melihat sebagaimana apa yang dianjurkan oleh beberapa sarjana Muslim modern, bahwa mungkin sebaiknya kita sekarang ini melakukan perimbangan. Tradisi penalaran Islam yang konseravif berjalan, tetapi tradisi yang rasional juga berperlu dibangkitkan kembali.
Apalagi, umat Islam saat ini sedang menghadapi perubahan-perubahan sosial yang cepat. Artinya, di samping pendekatan keagamaan yang berbasis pada syariat-tekstual dan tasawuf, perlu juga menjadikan pendekatan yang rasional, kontekstual, empiris, dan kritis sebagai bagian dari upaya umat Islam dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Wallahu a’lam.