Dalam sebuah hadis riwayat Muslim disebutkan, “Budi’a Islamu ghariban wasaya’udu ghariban” (Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing). Dan sekarang, ketika peradaban seolah menyisihkan kita, penindasan terjadi di mana-mana, terpuruk dan tidak bisa berkembang, apakah saat seperti ini sudah bisa kita sebut sebagai masa di mana Islam kembali menjadi asing?
Dahulu, Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam dalam keadaan tidak ada satupun orang yang percaya dan bahkan tidak mengenal Islam sama sekali, akan tetapi bisa berkembang pesat dan akhirnya menduduki kejayaannya. Sekarang, di zaman yang serba modern ini, untuk menyatakan Islam berkemajuan rasanya kita tertahan oleh realita-realita yang menyakitkan.
Banyak negara-negara Islam yang menjadi terpuruk, diterpa konflik, dan terbelakang. Sementara mereka yang bukan Islam seolah nyaman dengan pesatnya prestasi dalam berbagai hal. Orang-orang Islam banyak yang sengsara, miskin, dan kalah peradabannya. Namun untuk mengatakan berkemunduran rasanya juga tidak mungkin melihat kita harus punya harga diri, harapan, dan kebanggaan akan agama ini.
Apakah fenomena yang seperti ini sudah patut kita sebut sebagai ‘kembali menjadi asing’? Jika memang tidak, apakah karena kita malu mengakuinya atau memang anggapan itu tidak benar?
Agaknya, tanpa diakui pun umat ini juga pasti merasakan bahwa ada kemunduran dalam Islam terutama dalam segi perkembangan peradaban yang kalah jauh dengan peradaban barat. Ini nyata dan bukan anggapan biasa. Penyebab utamanya pasti akan mengarah pada globalisasi.
Sebelum lebih jauh membahas globalisasi dan hubungannya dengan kemunduran Islam, sebuah konsepsi jawaban tentang kenapa Islam semakin mengalami kemunduran pernah terlontar dalam sebuah kutipan. Ada ungkapan yang berbunyi “Limadza ta’akhkhara al-muslimun wa taqaddama ghayruhum?” (Kenapa umat muslim terbelakang sedangkan yang non-muslim maju?) “Lianna ‘amalana a’maluhum wa a’amaluhum a’maluna” (karena kita mempraktekkan ajaran mereka sedangkan mereka mempraktekkan ajaran kita).
Meski kredibilitas ungkapan ini tidak sepenuhnya bisa dijadikan rujukan mutlak, namun hal ini ada benarnya juga. Sehubungan dengan ramalan akan kembalinya Islam menjadi asing itu, kini sudah banyak nilai-nilai yang terkandung dalam agama kehilangan esensinnya. Sehingga ibadah-ibadah tak lebih dari hanya sekedar ritual biasa tanpa ada hasilnya. Kuantitas tidak sebanding dengan entitas. Nilai-nilai Islam terdegradasi oleh pengikutnya sendiri. Maka dalam kondisi seperti ini, sah-sah saja bila kita katakana bahwa Islam sudah mengalami ‘pengasingan’ secara perlahan-lahan.
Nilai-nilai Islam sudah mulai dilupakan. Sementara mereka yang bukan Islam seolah melihat bahwa esensi ajaran-ajaran Islamlah yang akan membawa potensi kemajuan sehingga mereka mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal itu terbukti setelah datangnya globalisasi. Bahwa peradaban Islam kalah masif daripada peradaban barat. Perilaku-perilaku amoral yang menjadi label budaya barat malah banyak dilakukan oleh para generasi Islam. Nilai-nilai etos kerja masyarakat muslim akhirnya menurun dan sebaliknya, mereka-mereka yang non-muslim megah berjaya-jaya.
Tidak hanya etos kerja, kejujuran, kebersihan, dan semangat positif yang semestinya sudah diajarkan dalam Islam malah dipraktekkan oleh orang barat dalam membangun dunia. Akibatnya, Islam yang dulu berjaya kini mulai tergeser dan kehilangan tempat di hati manusia. Meski wujudnya ada namun seperti yang dikatakan tadi, nilai penghayatan ajaran-ajarannya kurang muncul pada masyarakat Islam sendiri.
Pada akhirnya, semua kekacauan internal Islam ini akan mengarah pada tuduhan dan pengkambinghitaman globalisasi. Globalisasi dianggap sebagai sumber segala kemunduran. Globalisasi digadang-gadang menjadi sumber dari segala persoalan, sumber kekacauan, dan segalanya.
Anggapan-anggapan miring terhadap globalisasi seperti tadi tentunya tidak akan memperbaiki keadaan, bahkan hal itu hanya akan semakin memperparah masalah, sebab sebagai sebuah konsekuensi dari laju peradaban, globalisasi adalah hal yang mesti terjadi.
Meski secara potensial memang akan muncul banyak keanehan akibat globalisasi, seperti kerakusan manusia, kenakalan remaja, kerusakan alam, dan sebagainya, namun globalisasi tidak lantas harus disikapi dengan cara mengisolasi diri dan tindakan menghindar (eksklusif), bahkan tidak cukup menghadapinya dengan cara bertahan dan bersikap pasif. Lebih dari itu, agama ini harus berperan aktif serta lebih terbuka (inklusif) dalam menggiring laju zaman.
Hal itulah yang ditekankan oleh A. Qodri Azizy dalam salah satu bukunya, bahwa Islam idealnya tidak menjadi golongan inferior yang selalu merepresi perubahan, sebab dalam taraf tertentu, pada akhirnya kita juga akan terseret zaman. Namun yang perlu dilakukan adalah menyeimbangi laju peradaban, sehingga mendapat predikat yang superior. Dengan begitu, yang perlu dilakukan terhadap globalisasi adalah mengakomodasinya dengan cara menerima dan menyesuaikan apapun sejauh hal tersebut bisa ditolerir.
Untuk melakukan beberapa hal tersebut, terlebih dahulu kita harus kembali memahami dan memegang teguh nilai-nilai keagamaan yang telah Islam ajarkan sejak dahulu kala. Sebab dalam globalisasi pergesekan dan persaingan budaya yang luar biasa adalah keniscayaa. Maka, bila tidak dibarengi dengan kuatnya identitas dan prinsip diri, kita akan kalah telak dan bisa saja kehilangan arah juang.
Di sinilah kenapa globalisasi memang menjadi sesuatu yang bila ditinggal maka akan mengakibatkan kemunduran dalam Islam. Maka menghadapinya adalah tanggung jawab bersama sebagai sebuah kewajiban dan pengabdian terhadap agama yang luhur ini.
Apakah ini akan berhasil? Dengan segenap keyakinan, kita harus mengembalikan muruah (kehormatan) agama Islam seperti sedia kala. Sebab nilai-nilai yang ada dalam Islam sangatlah berpengaruh dalam perkembangan zaman selama bisa dipegang teguh. Kita juga harus mengingat dan mengamalkan warisan Rasulullah SAW kepada kita.
Wallahu A’lam.