Beberapa kali para aktivis HTI menyerukan menolak demokrasi. Menurut mereka demokrasi itu merupakan produk gagal pihak asing. Mereka berusaha menyuarakan prinsip syura yang menjadi idealitas. Sementara dalam Pancasila, sila ke-4 secara tekstual telah digariskan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan. Terdapat diksi permusyawaratan yang merupakan kata serapan dari syura. Namun, diksi ini ditolak oleh mereka disebabkan karena permusyawaratan yang termaktub dalam Pancasila merupakan permusyawaratan yang berangkat dari prinsip demokrasi dan bertentangan dengan syura yang menjadi ciri khas ajaran Islam, dengan ciri khas adanya voting. Menurutnya, prinsip syura yang dbenarkan syara’ adalah syura mufakat.
Inilah menariknya perlu dihadirkan tulisan ini, yakni mencoba menggali perkembangan perkembangan prinsip syura yang dimaksud oleh pengasong ide khilafah state tersebut. Ingat ya! Istilah khilafah state (negara khilafah) ini adalah diksi yang diperkenalkan mereka sendiri sebagaimana yang termaktub dalam website-website mereka. Mari cermati sejarah kekhalifahan dan penerapan prinsip syura tersebut!
Saat Sayyidina Umar radliyallahu ‘anhu sakit keras, beliau menunjuk antara Sayyidina Utsman bin Affan dan Ali bin Thalib radliyallahu ‘anhum sebagai pengganti beliau. Karena seorang pemimpin yang bertugas menggantikan peran dan tugas Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ini harus satu, maka beliau meminta kepada enam sahabat yang dijamin sebagai ahli surga oleh Nabi agar mempersiapkan suksesi kepemimpinan itu. Dari proses itu, lahir sebuah kompromi politik dengan diangkatnya Sayyidina Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu sebagai khalifah. Kompromi politik ini merupakan pondasi pertama bagi lahirnya ilmu politik yang kelak kemudian semakin berkembang di masanya Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan radliyallahu ‘anhu.
Jika dilihat dari konteks syariat, kompromi merupakan kata sepakat dalam penyelesaian masalah disebabkan karena tidak mungkin untuk membiarkan ummat mengalami kekosongan kepemimpinan dalam jangka waktu lama yang melaksanakan amanat menjaga hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama dan melakukan siyasat dunia. Kekosongan pemimpin merupakan yang tidak maslahah bagi masyarakat sehingga membutuhkan keputusan yang cepat. Dan pada akhirnya keputusan itu memaksa disepakatinya salah satu calon yang tampil sebagai pemimpin yang disertai keridlaan dari Sayyidina Ali bin Thalib terhadap kepemimpinan Sahabat Utsman bin Affan, serta beliau bersedia berbai’at kepadanya.
Adanya pihak yang rela untuk menyerah dan bersedia berbai’at dengan menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak ini secara tidak langsung menandakan adanya penurunan idealitas syura yang menjadi intisari dari lahirnya kata mufakat. Sebab, perintah syura di dalam Q.S. Al-Syura [42] ayat 38, adalah merujuk pada pengertian sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami patuh). Syeikh Al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan di dalam kitab tafsirnya, al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, bahwa kebiasaan bermusyawarah merupakan kebiasaan kaum Anshar (Ahli Madinah) dalam memecahkan suatu masalah sebelum hijrahnya Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Untuk itulah, maka Allah SWT memberi penghargaan kepada mereka dengan memberi legitimasi syura sebagai bagian dari hukum syariat yang digariskan dalam al-Qur’an. Tujuan dari syura ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hasan dan dinukil oleh al-Qurthubi (w. 671 H) sebagai berikut:
إنهم لانقيادهم إلى الرأي في أمورهم متفقون لا يختلفون
“Sesungguhnya kaum Anshar ini memiliki kebiasaan mengikuti pendapat dalam segala urusan mereka kepada pendapat yang disepakati (dalam musyawarah), serta tidak menselisihinya (konsisten).” (Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, halaman: 487).
Lebih lanjut al-Hasan menyampaikan:
ما تشاور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمورهم
“Tiada suatu kaum melakukan musyawarah melainkan tunduk pada petunjuk yang disepakati dalam menyelesaikan urusan mereka.” (Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, halaman: 487).
Sepakat dalam konteks majelis ‘musyawarah mufakat’ semacam ini merupakan cikal bakal pokok (dalil ashal) dari penyelesaian segala urusan kaum muslimin setelah diturunkannya ayat yang menjelaskan. Namun, dalam beberapa persoalan, terkadang suatu perkara tidak bisa dicapai kata mufakat dalam syura. Seperti yang dicontohkan oleh Ahlu al-halli wa al-‘Aqdi yang menjadi Tim Formatur dari suksesi kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khathab.
Tampilnya siasat sahabat Abdurrahman bin Auf yang menyampaikan pendapat bahwa siapa yang mengundurkan diri dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi merupakan pihak yang diikuti pendapatnya mengenai siapa yang akan tampil sebagai khalifah. Ternyata lama tidak ada kata sepakat dari para sahabat dan tidak ada yang mengundurkan diri. Akhirnya, sahabat Abdurrahman bin Auf yang memutuskan untuk mundur. Karena para sahabat memandang beliau sebagai seorang muhajjirin dan telah lama bersahabat dengan Nabi, pada akhirnya para sahabat menyatakan sepakat dengan apa yang disampaikan beliau. Dan pada akhirnya, sahabat Abdurrahman bin Auf mendukung sahabat Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Sayyidina Umar bin Khathab radliyallahu ‘anhu.
Itulah sebabnya, sepakat yang ditunjukkan dalam konteks kompromi politik di atas, sekilas menunjukkan penurunan derajat idealitas syura yang diperankan oleh para sahabat nabi, dari makna sebelumnya. Apakah pemimpin yang terpilih dari kompromi semacam ini tidak sah? Sudah barang tentu adalah sah, meski ada sisi alasan kemaslahatan yang turut disertakan, yaitu tidak baik membiarkan kaum muslimin mengalami kekosongan pemimpin. Kebutuhan pemimpin bagi kaum muslimin adalah berstatus dharuri (primer).
Sementara siapa pihak yang tampil, hanyalah merupakan wasilah. Wasilah dengan pertimbangan adanya kemaslahatan dan mafsadah, menandakan adanya hikmah berupa dharurat. Dengan demikian, status pemimpin yang diangkat dengan pertimbangan adanya dharurat ini adalah bertindak selaku waliyyul amri al-dharuri. Hukumnya adalah wajib ditaati. Kaidah fikih yang sejalan dengan pola ini adalah:
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“Saat nampak adanya dua mafsadah, maka yang perlu dijaga adalah mafsadah yang lebih besar yang merugikan dengan tetap disertai upaya mencari mafsadah yang lebih ringan.” (Al-Asybah wa al-Nadhair li al-Suyuthy, halaman 87).
Selepas kepemimpinan Khulafaul Rasyidin yang empat, tampuk kepemimpinan jatuh pada khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dan melahirkan sistem imperium pertama kali dalam Islam yang selanjutnya dikenal sebagai Dinasti Umayyah. Kendati naiknya sahabat Muawiyah ini disertai dengan sejumlah peristiwa yang memilukan, akan tetapi karena faktor dlaruri-nya pemimpin yang bisa mengatur urusan kaum muslimin serta menjaga keamanan jiwa, raga, dan harta serta berlangsungnya kehidupan kaum muslimin menuju kepada kemaslahatan ummat, maka kepemimpinan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan yang diterima dan legal secara syariah sehingga kemudian lahir istilah Waliyyul AmriDharury bil Syaukah. Adanya penyertaan diksi al-syaukah di belakang diksi waliyyu al-amri al-dlaruri ini bermakna bahwa tampuk kepemimpinan Khalifah Muawiyah adalah diawali dengan pengerahan militer.
Kaidah penerimaan terhadap kekuasaan Khalifah Muawiyah oleh umat Islam, sudah barang tentu berbeda dengan kaidah sebelumnya, meski sama-sama karena faktor dharurat, apalagi dari kata mufakat yang menjadi idealitas pemilihan pemimpin. Derajat idealitas syura mufakat, turun menjadi syura-mufakat bil syaukah (kesepakatan yang disertai ketakutan karena adanya kekuatan militer yang mendukung kekuasaan).
Para ulama fikih juga menerima legalitas dari kekuasaan model semacam ini karena mempertimbangkan faktor kemaslahatan. Tampilnya Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad pun juga kurang lebih memiliki latar belakang yang sama, dan diterima legalitasnya oleh hukum syara’. Hal itu menandakan, bahwa hukum syara’ telah mengadopsi berbagai pertimbangan. Di antara pertimbangan itu adalah, bila suatu hukum tidak bisa dilaksanakan sebagai idealitasnya, maka setidaknya hukum itu harus memandang realitas yang terjadi di masyarakat. Ibaratnya:
النزول من المثل الأعلى إلى الواقع الأدنى بحكم الضرورة
“Turun dari standar idealitas menuju standar realitas yang lebih dekat sebab dlarurat.” (al-Ijtihad al-Fiqhi al-Mu’ashir fi al-Siyasati al-Syar’iyyah, halaman: 281)
Kita bisa membayangkan, bagaimana kondisi kaum muslimin saat kedua Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah itu tampil memegang kendali pemerintahan, kemudian tidak ada yang bersikap inshaf dalam menghadapi realitas yang ada. Sudah barang pasti, semua pihak akan berlomba mementingkan pendapatnya sendiri sehingga timbul kekacauan dan justru memperlemah dan memperumit masalah (masyakil ghamidlah) yang terjadi pada barisan ummat Islam.
Menghindar dari memperberat masalah demi terwujudnya maslahah yang lebih besar, menuju pada kemudahan adalah merupakan aplikasi yang legal menurut berbagai nushush al-syariat yang asli dan mu’tabar dari ulama’ salafu al-shalih dan bukan sekedar ulama seperti Syeikh Taqiyuddin al-Nabhani, yang masanya sudah jauh dari konteks generasi salaf, apalagi generasi sahabat dan tabi’in. Jangankan dengan generasi salaf, dengan generasi ulama mutaakhirin saja sudah jauh jamannya.
Taqiyuddin al-Nabhani, merupakan tokoh pendiri Hizbut Tahrir yang lari dari Palestina dan yang telah berfatwa agar Palestina diserahkan ke Israil. Uniknya, ada banyak pengikutnya di Bumi Nusantara ini dan menyerukan ide khilafah dan syura mufakat. Idenya sendiri tidak dimufakati oleh mayoritas ummat Islam di belahan bumi dan negara manapun, bahkan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dan ini yang justru merupakan kata yang disepakati oleh mayoritas negeri muslim. Jadi, syura sepakat yang mana yang mereka dustakan?