Apa Benar Imam Al-Mawardi Mendukung Khilafah Ala HTI?

Apa Benar Imam Al-Mawardi Mendukung Khilafah Ala HTI?

Imam al-Mawardi merupakan tokoh besar dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan bermadzhab Syafii abad IX Masehi. Karyanya sering dirujuk untuk legitamasi khilafah. Apakah benar pandangan Imam al-Mawardi demikian?

Apa Benar Imam Al-Mawardi Mendukung Khilafah Ala HTI?

Imam al-Mawardi merupakan tokoh besar dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan bermadzhab Syafii abad IX Masehi. Dua kitabnya yang berjudul Ahkamul Sulthaniyah dan Adabul Dunya wal Din sering dijadikan justifikasi pembenaran gagasan khilafah ala minhaju al-nubuwwah versi HTI dan beberapa Ormas (Organisasi Masyarakat) di kancah nasional dan internasional, yang akhir-akhir ini sering nyaring terdengar suaranya menyerukan gagasan khilafah.  Untuk itu, perlu kiranya kita hadirkan tulisan ini, secara komprehensif membahas mengenai apa yang dimaksud oleh al-Mawardi di dalam kitab tersebut.

Perlu diketahui bahwa arti kata khilafah sebenarnya adalah suksesi kepemimpinan. Tentu, bagi umat Islam, yang dimaksud sebagai siapa yang hendak disiapkan suksesinya di sini adalah Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan karena Baginda memainkan peran yang penting dalam kepemimpinan, maka pada dasarnya ketika mempersoalkan suksesi terhadap beliau dalam memimpin umat Islam adalah berbicara mengenai konsep imamah. Jadi, membicarakan soal khilafah, adalah berbicara pula soal imamah. Apa saja peran dari imamah ini? Imam Al-Mawardi (w. 450 H) menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan konsep imamah dalam Islam, adalah:

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ

“Kepemimpinan negara (imamah) merupakan sebuah konsep yang diperuntukkan mengganti peran Nabi shalllallahu ‘alaihi wasallam dalam menjaga agama dan politik dunia. Mengikatkan diri pada kepemimpinan yang sedemikian rupa ini bagi pihak yang menempati derajat kepemimpinan negara ini bagi umat, hukumnya adalah wajib secara ijma’, meski di antara orang tersebut adalah orang yang tuli.” (Ahkamul Sulthaniyah, 15).

Tak dapat dpungkiri bahwa peran Baginda Nabi SAW dalam kepemimpinan beliau di Madinah adalah dua, yaitu menjaga agama (hirasatul din) dan melakukan siyasat dunia (politik keduniaan). Itulah sebabnya, saat beliau wafat, maka hal yang paling dirisaukan oleh umat Islam – pertama kalinya – adalah berkaitan dengan siapa yang berhak menjadi suksesi dari kepemimpinan beliau. Tanpa adanya suksesi, maka keputusan mengenai kebijakan agama dan dunia akan menjadi sulit diputuskan.

Masalah itu kemudian selesai setelah tampilnya sahabat Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu yang dibai’at sebagai khalifah (pengganti) beliau. Yang dimaksudkan sebagai pengganti tentu saja adalah pengganti dalam mengurus dan mengatur agama (hirasatul din) serta kepentingan umat  dalam aspek keduniaan itu (siyasatul dunia).

Adanya kesepakatan menetapkan dan membai’at sahabat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pengganti Nabi ini kemudian yang menjadi permasalahan di kalangan fuqaha’. Permasalahan itu adalah, apakah wajibnya pengangkatan khalifah pengganti  Nabi ini hukumnya adalah wajib secara syara’, ataukah wajib secara akal semata?

Suatu hukum ditetapkan sebagai wajib secara syara’, manakala hukum itu memiliki landasan dalil dzahir (tekstual) atau nash. Karena sumber pokok hukum Islam itu ada dua, yaitu Al-Qur’an dan hadis, maka secara tekstual, dalil itu harus bersifat tercermin di dalam hadis. Dengan kata lain, mafhumnya, Baginda Nabi shalllallahu alaihi wasallam pasti sudah mempersiapkan mengenai siapa calon suksesi dari beliau ini.

Dan bilamana hukum mencari suksesi itu juga dtetapkan di dalam Al-Qur’an,  maka setidaknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjelaskan mengenai syarat-syarat kepemimpinan suksesi itu. Sebab Nabi memiliki peran transendental yaitu sebagai bayan tafsir dari al-Qur’an. Namun, faktanya tidak ada satupun dalil yang menyebutkan mengenai tata cara suksesi kepemimpinan dan berikut syarat-syarat kepemimpinan itu disebutkan di dalam hadis

Berangkat dari sini, kemudian kalangan rasionalis memutuskan bahwa kewajiban melakukan suksesi itu merupakan wajib secara akal semata. Kelompok ini menyatakan sebagai berikut:

فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ لِمَا فِي طِبَاعِ الْعُقَلَاءِ مِنْ التَّسْلِيمِ لِزَعِيمٍ يَمْنَعُهُمْ مِنْ التَّظَالُمِ، وَيَفْصِلُ بَيْنَهُمْ فِي التَّنَازُعِ وَالتَّخَاصُمِ، وَلَوْلَا الْوُلَاةُ لَكَانُوا فَوْضَى مُهْمَلِينَ، وَهَمَجًا مُضَاعِينَ

“Sebagian kalangan mengatakan bahwa melakukan suksesi kepemimpinan Nabi itu merupakan wajib secara akal, sebab watak dasar dari akal adalah kemauannya menerima segala kemungkinan pencegahan tindakan saling aniaya, dan menengahi sengketa dan menghindari permusuhan. Jika saja tidak ada pemimpin yang mengurusi kepentingan masyarakat, maka pastilah mereka akan jatuh pada dua kekosongan urusan dan terjerumus dalam dua tindakan menyia-nyiakan.” (Ahkamul Sulthaniyah, halaman 15).

Namun, kalangan yang mendukung wajibnya kepemimpinan secara syara’, menentang pendapat kalangan pertama ini, dengan mengatakan argumentasi bahwa:

بَلْ وَجَبَتْ بِالشَّرْعِ دُونَ الْعَقْلِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِأُمُورٍ شَرْعِيَّةٍ قَدْ كَانَ مُجَوَّزًا فِي الْعَقْلِ أَنْ لَا يَرِدَ التَّعَبُّدُ بِهَا، فَلَمْ يَكُنِ الْعَقْلُ مُوجِبًا لَهَا، وَإِنَّمَا أَوْجَبَ الْعَقْلُ أَنْ يَمْنَعَ كُلُّ وَاحِدٍ نَفْسَهُ مِنَ الْعُقَلَاءِ عَنِ التَّظَالُمِ وَالتَّقَاطُعِ، وَيَأْخُذَ بِمُقْتَضَى الْعَدْلِ فِي التَّنَاصُفِ وَالتَّوَاصُلِ، فَيَتَدَبَّرُ بِعَقْلِهِ لَا بِعَقْلِ غَيْرِهِ، وَلَكِنْ جَاءَ الشَّرْعُ بِتَفْوِيضِ الْأُمُورِ إلَى وَلِيِّهِ فِي الدِّينِ،

“Suksesi itu wajib secara syara’ dan bukan sekedar akal, karena seorang pemimpin yang berdiri di dalam urusan-urusan syara’ dapat mengeluarkan kebijakan yang melampaui akal agar tidak meninggalkan sifat ta’abbudinya urusan. Hal semacam ini tentu bertentangan dengan kehendak akal. Akal senantiasa menerima bahwa tindakan dhalim dan pemutusan terhadap kepentingan pribadi adalah tindakan yang harus dicegah oleh kaum rasionalis, sehingga akal berusaha menempatkan derajat keadilan hukum pada standar fifty-fifty dan saling bersinergi. Bagi pihak yang berlaku demikian, maka akan berusaha melakukan tindakan mengatur atur berdasarkan pemikirannya sendiri dan bukan pandangan orang lain. Dan semua ini tidak terjadi pada kepemimpinan syar’i, sebab dalam syara’, urusan umat yang berhubungan dengan agama ini dipasrahkan (tafwidh) kepada pejabat yang mengurusinya (waliyul amri).” (Ahkamul Sulthaniyah, halaman 15).

Pandangan terakhir ini kemudian mendasarkan diri pada sifat keumuman nash, yaitu Q.S. Al-Nisa [4] ayat 59, yang menyatakan perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Alhasil, kewajiban taat kepada ulil amri itu adalah perintah yang bersifat umum seiring keumumaman ayat.

Segala kewajiban yang berlaku secara umum, sudah barang tentu membutuhkan banyak penjelasan, analisis dan rincian (dalil tafshili). Dan satu-satunya dalil tafshili di masa sahabat itu adalah hadis, mengingat peran Nabi selaku bayan tafsir dari al-Qur’an yang diwahyukan. Dan hal ini juga berangkat dari keyakinan yang bersumber pada dalil dzahir nash, yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Baginda Nabi adalah semata berasal dari wahyu dan tidak ada peluang sedikitpun sumbernya berasal dari dorongan hawa nafsu (Q.S. An-Najm l53]: 4).

Di masa pengangkatan sahabat Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, upaya mencari dalil hadis tentang adakah Nabi pernah menyatakan dan mempersiapkan suksesi, hal itu juga sudah dilakukan. Dan ternyata di kalangan sahabat tidak ada yang pernah mendengar Nabi menjelaskan secara langsung akan hal itu. Buktinya, tidak ada tokoh kibarul shahabah atau shigharul shahabah yang dipersiapkan untuk menjalankan suksesi itu atau secara langsung dipersiapkan sebagai pengganti beliau (khalifah/naib).

Memang ada, hadis yang mengisyaratkan akan kepemimpinan itu, namun keberadaannya tidak menegaskan secara dhahir (manthuq), melainkan berdasar sifat yang bisa difahami (mafhum), seperti misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:

سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ، فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Kelak akan ada orang yang mengurusi urusan kalian. Ia menjadikan kebaikan berdasarkan kebaikan dirinya, kefajiran berdasarkan kefajirannya. Dengarkanlah mereka dan taatilah dalam segala kebijakannya yang sesuai dengan al-haq. Jika mereka berbuat baik kepada kalian, maka berbuat baiklah kepada mereka. Dan bila sebaliknya, mereka berbuat keburukan, maka demikianlah sikap kalian terhadap mereka.” (Hadis dengan sanad dari Abu Hurairah dan termaktub di dalam Ahkamul Sulthaniyah, halaman 16).

Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya hadis ini justru membuka peluang bagi segala kemungkinan terbitnya macam-macam bentuk negara. Artinya, wujud fisik negara bisa berbentuk apa saja, baik itu nation state (negara kebangsaan), kerajaan, imaratul muslimin dan lain sebagainya. Yang terpenting dari negara itu adalah mau mengurusi urusan umat Islam sebagai ganti dari peran nabi, dan melindungi segala kepentingannya dalam menjalankan agama dan kepentingan duniawinya, seperti terhindar dari ancaman pihak lain yang merugikan diri, harta dan jiwanya. Dan konsep inilah yang dimaksud oleh al-Mawardi di dalam Kitabnya itu, sebagaimana juga diakui oleh beberapa ulama’ kontemporer, seperti Syeikh Wahbah al-Zuhaili, Al-Sanhury, al-Dahlawy dan al-Taftazany. Alhasil, tidak ada konsep baku soal khilafah di dalam syariat. Yang ada hanyalah penegasan tentang perlunya pemimpin dalam konteks yang mampu membawa umat menuju kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.

Akan tetapi, pola pemahaman ini mendapat tentangan dari Syeikh Abdul Qadir ‘Audah, yang pernah menjabat sebagai Wakil ‘Am Ikhwanul Muslimin, cikal bakal dari Hizbut Tahrir sebagai organisasi sayap para militernya yang kemudian memutuskan memisahkan diri. Bedanya, Ikhwanul Muslimin (IM) dengan HT adalah, IM masih menerima konsep perpolitikan dalam wadah negara bangsa, dan ini menjdi alasan HT keluar dari IM tersebut.

Tokoh HT yang berperan sebagai penentang utama perpolitikan dalam bingkai negara bangsa ini adalah Syeikh Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Uniknya, Hizbut Tahrir yang didirikan karena latar belakang perjuangan memerdekakan Palestina dari penjajagan Israil, justru pernah berfatwa agar warga Palestina keluar dari negeri tersebut dan menyerahkannya kepada Israel. Dan ia beralih mendeklarasikan HT sebagai Partai Pembebasan Internasional. Menurutnya, konsep negara berbentuk khilafah ini harus tetap ada.