“Haji adalah panggilan ilahi.” Sebagian besar masyarakat Muslim percaya hal ini. Uang para “sultan” pun belum tentu bisa dimampukan untuk melakukan perjalanan ke tanah suci. Namun, algoritma media sosial telah mulai menawar kepercayaan ini. Kok bisa?
Sebelum ke sana, beberapa hari lalu, tepatnya akhir pekan lalu, saya mendapati beberapa konten di TikTok terkait keberangkatan kelompok terbang (kloter) pertama ke tanah suci. Konten tersebut merekam beragam kegiatan para jemaah calon haji di berbagai embarkasi sebelum berangkat ke Madinah. Respon awal saya, “Saleh sekali akun TikTok saya ini.”
Selain itu, beberapa konten yang berseliweran berupa unggahan rekaman milik masyarakat kala berumrah atau berangkat haji tahun lalu. Sebagian besar konten tersebut menduplikasi model konten yang sedang ramai di berbagai platform media sosial, mulai dari “Kalau tidak,” “a Day of,” “kenangan,” hingga beberapa tips perlengkapan dan persiapan keberangkatan.
Menariknya, satu dari sekian konten TikTok tersebut menarik perhatian saya. Konten tersebut menuliskan bahwa FYP (For your page) terkait Haji, Mekah, Mina, hingga Madinah yang muncul di akun media sosial, adalah penanda kita akan segera dipanggil Allah untuk berkunjung ke tanah suci.
Model konten tersebut saya jumpai beberapa kali. Bahkan, konten lain disampaikan dengan bahasa dan gaya komunikasi yang berbeda, seperti tekan “Love” atau “Bagikan” untuk mendapatkan sugesti yang dibagikan di konten tersebut. Model konten tersebut sebenarnya tidak asing di media sosial, khususnya TikTok.
Dengan mengandalkan teori Law of Attraction (Hukum tarik-menarik) yang berkaitan dengan sugesti. Para pembuat konten biasanya menggunakan metode dan teori tersebut untuk menarik perhatian dan impressi para penonton mereka. Dan biasanya banyak pengguna media sosial menyambut konten-konten tersebut.
Sekitar bulan lalu, saya juga mendapatkan penjelasan terkait hubungan antara media sosial dan pengaplikasian teori LOA di atas. “Energi yang kita lepaskan dari dalam diri terkait keinginan tersebut ditangkap oleh media sosial” begitu ujar salah satu pembuat konten. Benarkah demikian?
Terlepas penjelasan tersebut, konten haji atau umrah terkait panggilan Ilahi ke Mekah dan Madinah ini juga berkelindan dengan memori sosial yang tersimpan lama di masyarakat kita. Sebelum media sosial menjadi bagian dari kehidupan kita, sebagian masyarakat di Nusantara memiliki cara dan metode sendiri, dalam mengaplikasikan dan mengungkapkan kerinduan dan keinginan mereka berangkat ke tanah suci.
Di tengah keriuhan terkait hukum musik yang melibatkan salah satu pendakwah populer, mungkin apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita dulu dianggap bid’ah atau syirik. Sebagian cara dan metode di masyarakat Muslim Nusantara merupakan perpaduan antara logika dan ingatan sosial, tradisi lokal, ditambah dengan sedikit tafsiran beragam ajaran yang berserak di berbagai kitab-kitab atau manuskrip.
Sehingga, tak jarang apa yang dilakukan masyarakat sering bertabrakan dengan beragam aturan dan penegakannya di banyak tempat sakral. Ziarah, misalnya, bagi sebagian masyarakat Muslim Nusantara adalah ruang bebas dalam mengekspresikan keberagamaan mereka. Cara masyarakat Muslim Nusantara dan para Askar (petugas jaga) di Mekah dan Madinah dalam memandang tempat sakral sangat berbeda, termasuk dalam aktifitas haji.
Seorang jemaah haji pernah bercerita pada saya bagaimana dia bersama istrinya membawa selembar kertas berisi banyak nama, mulai dari keluarga, kolega, tetangga, hingga teman di majelis taklim yang meminta “dipanggil” di sana. Ketika saya tanya, “Untuk apa kertas tersebut?” Jemaah tersebut dengan gamblang menjawab, “mau dikuburkan di tanah Arafah.”
Bagi sebagian masyarakat Banjar, banyak cara “memanggil” keluarga, kolega, tetangga, hingga orang lain ke tanah suci. Selain didoakan, saya pernah juga mendapatkan cerita soal banyaknya tulisan nama di batu-batu yang ada di Arafah, atau menguburkan foto keluarga di sana. Bahkan, ada yang menerjemahkan “memanggil” dengan sebenarnya, lewat menyebut nama-nama yang ditulis
Cerita lain, sebagian masyarakat Banjar biasanya juga membawakan makanan yang dibagikan di Arafah, dan dibagikan ke keluarga atau orang lain yang ingin berangkat ke sana. Karena dalam imaji mereka, makanan tersebut akan memberikan “rasa” apa yang disajikan Alllah pada tamu-Nya.
Satu jemaah haji pernah bercerita bahwa dia selalu membawakan kue kering atau kudapan lainnya yang dibagikan selama Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina), sebagai penanda bahwa mereka telah merasakan apa yang “disajikan” Allah di tanah suci kepada tamunya. Dengan harapan, siapa saja yang merasakannya juga akan menjadi tamu di sana.
Di konten TikTok lain, saya pernah menemukan seorang jemaah haji menuliskan di caption, bahwa kehilangan sandal di Masjidil Haram adalah tanda akan kembali ke sana. Saya hanya tersenyum membacanya, sembari bertanya, “Apakah kita tidak benar-benar berubah pasca kehadiran media sosial?”
Seorang dokter ahli saraf pernah bercerita di salah satu siniar, bahwa seluruh gerak kita hari ini telah dipengaruhi algoritma. Media sosial memang “dianggap” telah merevolusi kehidupan kita, padahal di saat bersamaan kita “hanya” berpindah medium saja, dengan sedikit kalibrasi (baca: adaptasi).
Datang ke tanah suci, tidak bisa dibantah, adalah mimpi sebagian besar masyarakat Muslim. Cara mereka mengungkapkan pun beragam. Ekspresi dan impressi yang dihadirkan di media sosial terkait kerinduan akan tanah suci sepertinya pelibatan media sosial sebagai bagian dari kerinduan tersebut hanya memperlihatkan kita mulai menganggap media sosial sebagai bagian dari tubuh digital kita.
Menariknya, jika benar tubuh digital tersebut turut berkelindan dengan ritual ibadah kita, termasuk kerinduan akan tanah suci, maka apakah tubuh digital tersebut bisa menggantikan perjalanan kita ke Mekah dan Madinah? Mungkin saat ini, keterbatasan teknologi belum benar-benar menggantikan tubuh biologi. Namun, jika benar terjadi, apalagi yang tersisa dari tempat sakral? Inilah pertanyaan kita sekarang.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin