Berpulangnya Azyumardi Azra meninggalkan duka mendalam bagi Indonesia. Azra meninggalkan banyak karya. Selain itu berbagai statemennya dalam acara televisi maupun seminar-seminar juga layak dijadikan rujukan. Salah satunya tentang perang dan jihad di Nusantara.
Menurut guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak ada jihad yang bermakna perang atas nama agama Islam yang terjadi di Indonesia.
“Tidak pernah ada Jihad itu diarahkan pada orang Islam sendiri. Jihad dalam pengertian perang ya, itu tidak pernah ada,” ujar Azra dalam sesi talkshow bersama Cholil Nafis di TVMUI beberapa waktu silam.
Bagi Azra, peperangan atas nama agama ini bahkan tidak pernah terjadi sejak Islam masuk ke Nusantara pada pertengahan abad ke-13.
“Sejak dari Islam menyebar secara luas pertengahan abad ke-13 ya, di pulau Nusantara, itu tidak pernah ada perang lintas suku atas nama Islam, atas nama jihad itu tidak pernah ada,” tutur Azra.
Azyumardi Azra bahkan dalam artikelnya berjudul, “Islamisasi Nusantara; Dakwah Damai” membuktikan hal ini dengan berbagai teori masuknya Islam di Nusantara. Berbagai teori ini bisa menjadi bukti, bukan sekedar hanya untuk membandingkan mana teori yang benar dan masuk akal, melainkan juga untuk melihat adakah teori masuknya Islam yang berkaitan erat dengan kekerasan dan peperangan, ataukah seluruh teori masuknya Islam di Indonesia bermuara pada satu hal yang sama, yaitu perdamaian.
Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia sangat beruntung mendapati penyebaran Islam dilakukan secara damai, bukan dengan peperangan dan penaklukan, meskipun tanah Nusantara memiliki ragam suku dan budaya.
“Jadi beruntung sekali Islam itu menyebar secara damai di suku-suku kita itu yang berbeda-beda itu bersatu berkat Islam berhubungan baik sesama suku di kepulauan Nusantara ini,” terang Azra.
Selama ini, berdasarkan pengamatan Azra, makna jihad malah sering diarahkan untuk hal-hal yang positif, bukan hanya perang. Bahkan, arti jihad lebih banyak dimaknai dengan menuntut ilmu. Menurutnya hal-hal seperti ini sangat positif dan menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tidak terjebak dengan makna tunggal.
“Banyak energi jihad itu dikerahkan untuk menuntut ilmu,” ujarnya.