Ibnu Khaldun menyajikan dengan sangat menarik sejarah Bait al-Maqdis dari masa ke masa dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah. Sejarah Bait al-Maqdis ini diulas dalam bab yang berjudul Faslun fi al-Masjid wa al-Buyut al-Adhimah fil Alam:
وأما بيت المقدس وهو المسجد الأقصى فكان أول أمره أيام الصابئة موضع الزهرة وكانوا يقربون إليه الزيت فيما يقربونه يصبونه على الصخرة التي هناك. ثم دثر ذلك الهيكل، واتخذها بنو إسرائيل حين ملكوها قبلة لصلاتهم
“Bait al-Maqdis atau yang sering disebut sebagai Masjid al-Aqsha pada awalnya di masa kaum Sabean adalah kuil Zahrah (Dewi Venus). Kaum Sabean menggunakan minyak sebagai sajian pengorbanan yang dipercikkan dan disiram pada karang yang ada di kuil tersebut. Kuil pemujaaan Dewi Venus ini pada tahap selanjutnya mengalami kerusakan. Dan ketika Bani Israil berhasil menguasai Yerusalem, mereka menggunakan karang bekas pemujaan di kuil Zahrah tersebut sebagai kiblat untuk peribadatan mereka.” “
Dalam kutipan ini, paling tidak Ibnu Khaldun menginformasikan kepada kita mengenai dua hal penting asal-usul Bait al-Maqdis. Pertama, Bait al-Maqdis atau yang sekarang disebut juga sebagai Masjid al-Aqsha di awal kesejarahannya ialah kuil yang didirikan oleh kaum Sabean untuk menyembah Dewi Venus. Di dalam kuil ini terdapat Karang yang sering dipercikkan dan disiram minyak oleh kaum Sabean.
Karang inilah yang pada tahap selanjutnya pernah dijadikan oleh Nabi sebagai starting-point untuk melanjutkan perjalanannya ke langit sampai ke Sidrat al-Muntaha. Kedua, melalui keterangan ini kita dapat mengetahui bahwa Bait al-Maqdis tidak lain hanyalah tempat penyembahan bintang-bintang oleh kaum Sabean yang dialifungsikan menjadi kiblat sembahyangnya orang-orang Yahudi pasca kemenangan mereka melawan bangsa Filistin.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah di mana sebenarnya kiblat yang pernah dijadikan Bani Israel sebagai arah sembahyang mereka sebelum akhirnya karang bekas tempat penyembahan Dewi Venus oleh kaum Sabean ini dijadikan sebagai kiblat baru? Ibnu Khaldun menapaki jejak-jejak kesejarahan kiblat Yahudi sebelum Bait al-Maqdis ini secara menarik dalam kitab al-Muqaddimah:
وذلك أن موسى صلوات الله عليه لما خرج ببني إسرائيل من مصر لتمليكهم بيت المقدس كما وعد الله أباهم إسرائيل وأباه إسحاق من قبله وأقاموا بأرض التيه أمره الله باتخاذ قبة من خشب السنط عين بالوحي مقدارها وصفتها وهياكلها وتماثيلها
“Adapun kronologi dijadikannya karang bekas penyembahan berhala tersebut sebagai kiblat dapat diterangkan sebagai berikut: Nabi Musa memimpin Bani Israil keluar dari Mesir untuk menghadiahkan kepada mereka Yerusalem yang telah dijanjikan Allah kepada moyang mereka, Nabi Ya’qub dan kepada ayahnya, Nabi Ishak, di masa-masa sebelumnya. Ketika Bani Israil mengembara di gurun, Allah memerintahkan mereka membuat kubah dari kayu Akasia yang ukuran, gambaran, efigi dan patung-patungnya ditetapkan berdasarkan wahyu ilahi. ”
Kita melihat dalam kutipan di atas, bahwa Tuhan memerintahkan untuk membuat kubah dari kayu Akasia. Menariknya, pembuatan patung-patung dilakukan berdasarkan kepada wahyu. Sampai di sini kita melihat bahwa dalam ajaran Taurat, pembuatan patung itu bahkan diperbolehkan. Tidak seperti Islam yang melarang segenap hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada kesyirikan termasuk patung. Semangat Islam awal-awal dalam memberantas patung ialah karena unsur sakralisasi.
Kelak kubah yang ada patung-patungnya ini dijadikan sebagai kiblat sembahyangnya orang-orang Yahudi selama mereka berkelana di gurun pasir. Kendati demikian, tidak hanya patung yang diletakkan di dalam kubah tersebut, melainkan juga Tabut, meja, piring, tampat api dan lampu-lampunya. Hal demikian seperti yang dijelaskan Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah:
وأن يكون فيها التابوت ومائدة بصحافها ومنارة بقناديلها وأن يصنع مذبحا للقربان، وصف ذلك كله في التوراة أكمل وصف. فصنع القبة ووضع فيها تابوت العهد وهو التابوت الذي فيه الألواح المصنوعة عوضا عن الألواح المنزلة بالكلمات العشر لما تكسرت، ووضع المذبح عندها وعهد الله إلى موسى بأن يكون هارون صاحب القربان.
“Lalu ditempatkanlah di dalam kubah itu Tabut, meja dengan piring-piringnya dan tempat api dengan lampu-lampunya dan dibuatkan pula altar tempat berkorban, yang semuanya digambarkan secara lengkap dalam Taurat. Ketika Kubah telah dibuat, lalu di situlah diletakkan Tabut Perjanjian (Tabut al-Ahd). Disebut Tabut Perjanjian karena di dalamnya terdapat lembaran batu yang dibuat sebagai ganti untuk lembaran batu yang diturunkan kepada Musa dengan Sepuluh Perintah yang telah rusak dan pecah berantakan. Lalu sebuah altar pun dibangun di sebelahnya. Allah membuat janji kepada Musa bahwa Harun adalah penanggung jawab upacara pengorbanan itu.”
Pada kutipan di atas kita melihat adanya Tabut Perjanjian sebagai ganti bagi Tabut yang sudah rusak dan pecah. Tabut ini sebelumnya berisi lembaran-lembaran batu yang di dalamnya terukir Sepuluh Perintah. Namun Tabut ini telah rusak sehingga perlu dibuatkan Tabut lagi yang kelak disebut sebagai Tabut al-Ahd atau Tabut Perjanjian.
Ketika Bani Israil masih mengembara dalam gurun, kubah yang berisi patung dan Tabut Perjanjian tersebut dijadikan mereka sebagai kiblat sembahnyang, tempat pengorbanan dan tempat pengajaran wahyu. Kiblat yang berupa kubah ini diletakkan di tengah-tengah kemah mereka. Ketika negeri Syam ditaklukan, Bani Israel meletakkan Kubah ini di wilayah Gilgal. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat dalam penjelasan Ibnu Khaldun:
ونصبوا تلك القبة بين خيامهم في التيه يصلون إليها ويتقربون في المذبح أمامها ويتعرضون للوحي عندها. ولما ملكوا أرض الشام أنزلوها بكلكال في بلاد الأرض المقدسة ما بين قسني بنيامين وبني إفراييم وبقيت هناك أربع عشرة سنة: سبعا مدة الحرب وسبعا مدة الفتح أيام القسمة للبلاد
“Bani Israil mendirikan kubah itu di tengah perkemahan mereka di gurun, bersembahyang dengan menghadap ke arahnya, melakukan pengorbanan di altar di depannya, dan pergi ke sana untuk mendapat ajaran wahyu. Ketika berhasil menguasai Syria, Bani Israil menempatkan kubah tersebut di Gilgal dalam kawasan Tanah Suci (al-ard al-muqaddassah) antara wilayah Benjamin dan Ephraim. Kubah tersebut tetap berada di sana selama empat belas tahun, tujuh tahun selama perang dan tujuh tahun selama pembagian negeri.
Keterangan berikutnya dapat diperjelas lagi dalam kutipan dari kitab al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun berikut ini:
ولما توفي يوشع عليه السلام نقلوها إلى بلد شيلو قريبا من كلكال وأداروا عليها الحيطان وأقامت هنالك ثلثمائة سنة حتى ملكها بنو فلسطين في أيديهم كما مر وتغلبوا عليهم ثم ردوا عليهم القبة ونقلوها بعد وفاة عالي الكوهن إلى نوف ثم نقلت أيام طالوت إلى كنعون في بلاد بني بنيامين
“Setelah Nabi Yoshua meninggal, Bani Israil memindahkan kubah itu ke Syilu dekat Gilgal, dan mereka dirikan tembok di sekelilingnya. Kubah itu berdiri di sana selama tiga ratus tahun. Setelah itu, wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Filistin. Bangsa Filistin mengalahkan Bani Israil. Kendati demikian, pada tahap selanjutnya, kubah ini pun kemudian dikembalikan ke Bani Israil. Setelah matinya Eli sang pendeta, kubah ini pun kemudian dipindahkan ke Gibeon di wilayah Benyamin.”
Deskripsi yang begitu padat ini paling tidak memberikan kita keterangan lebih jauh mengenai peralihan kiblat Yahudi dari masa ke masa. Kiblat yang berupa bangunan kubah ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan belum menemu pijakan yang tepat. Karena itu, deskripsi selanjutnya mengenai nasib kiblat Yahudi ini akan kita kemukakan dalam tulisan berikutnya. Kita akan melihat bagaimana perkembangan kiblat ini di masa Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman menurut penuturan Ibnu Khaldun di tulisan selanjutnya tentang Bait al-Maqdis.