“Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance”
Kata-kata tersebut ditulis oleh Karl Raimund Popper dalam bukunya The Open Society and Its Enemy. Frase itu bermakna, kurang lebih, “toleransi yang tidak terbatas akan berujung pada hilangnya toleransi itu sendiri”. Filusf abad 20 asal Austria tersebut merangkai kata-kata itu untuk menjelaskan sebuah paradoks klasik tentang toleransi, “apakah toleransi berarti mentolerir kelompok-kelompok intoleran?”
Paradoksnya adalah ketika orang-orang yang kita toleransi adalah orang-orang intoleran, artinya di situ kita justru membiarkan intoleransi terjadi. Dengan kata lain, kita turut melanggengkan intoleransi. Sebaliknya, jika kita tidak bertoleransi terhadap orang-orang yang intoleran itu, di situ kita menjadi tidak toleran.
Paradoks ini, misalnya, bisa dilihat ketika pemerintah Indonesia yang mempromosikan sikap moderat dan toleran membubarkan kelompok HTI. Bagaimana bisa pemerintah Indonesia dikatakan toleran ketika ia tidak merangkul bahkan mengeliminasi gagasan-gagasan lain. Sikap pemerintah itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap kebebasan sipil dalam hal berpendapat dan berekspresi. Hasilnya, pemerintah terlihat sebagai pihak yang intoleran.
Paradoks ini yang dibaca oleh Karl Popper seperti yang telah dibincang di awal. Argumen utama Popper terkait paradoks itu adalah bahwa toleransi yang tanpa batas justru akan memusnahkan toleransi itu sendiri. Bagaimana bisa?
Secara sederhana, jika kita, misalnya, bertoleransi tanpa batas, maka itu berarti kita akan merekognisi semua orang dengan gagasan-gagasannya. Dalam bahasa lain, siapapun akan ditolerir untuk mewujudkan gagasan mereka. Siapapun. Apapun.
Melalui logika itu, kita bisa membayangkan, misalnya, saat Adolf Hitler menyebarkan ideologi Nazi dan semua orang di dunia mentolerirnya. Karena gagasannya dibiarkan tumbuh, Hitler berhasil menyebarkan idenya, sedangkan kita tahu bahwa prinsip fundamental bangsa Arya-nya Nazi adalah menganggap bangsa-bangsa lain lebih rendah dan layak dimusnahkan. Pada kasus itu, jika toleransi diberikan tanpa batas, kita justru seolah ikut melegitimasi pembantaian jutaan umat manusia di muka Bumi.
Mari bersepakat bahwa watak utama kelompok intoleran adalah bersikap eksklusif, ingin menang sendiri, menganggap kelompok lain salah, dan memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Jika unlimited tolerance itu diaktifkan, maka justru mereka yang toleran akan “dilahap” oleh mereka yang intoleran dengan watak-watak itu. Apalagi jika kelompok intoleran itu seperti Hitler.
Dalam konteks ini, Popper menawarkan konsep mentoleransi apa yang patut ditoleransi. Pertanyaannya, lalu mana gagasan yang patut ditolerir dan mana yang tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya meminjam teori miliki Professor Ilmu Politik asal Amerika, John Rawls. Dalam bukunya, A Theory of Justice, ia mengenalkan apa yang disebut “self-preservation”.
Konsep “self-preservation” adalah sebuah mekanisme pertahanan yang bisa digunakan kelompok toleran ketika dihadapkan oleh kelompok intoleran yang mengancam kebebasan orang lain dan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia yang esensial.
Misalnya, FPI yang mempunyai track record tindakan kekerasan dan intoleransi yang panjang. Pada tahun 2008, misalnya, salah satu petinggi FPI menebar ancaman terhadap pengikut aliran Ahmadiyah agar mereka semua dibunuh. Hal ini didasari pada keyakinan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang dianggap menyimpang, sehingga darah mereka menjadi halal untuk ditumpahkan. Dalam perspektif “self-preservation”, gagasan FPI ini boleh dibungkam tanpa mengurangi esensi dari toleransi itu sendiri.
Ide Rawls itu juga bisa berlaku untuk Nazi-nya Hitler yang boleh dilawan karena akan mengakibatkan lahirnya korban jiwa. Pun dengan gagasan-gagasan lain yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia secara umum.
Jika dibenturkan, Rawls sebetulnya tidak sepakat dengan Popper soal pembatasan toleransi. Rawls mengatakan bahwa pada dasarnya, toleransi harus merangkul semua gagasan tanpa kecuali. Tidak ada kategorisasi mana yang harus ditolerir mana yang tidak. Namun prinsip utama Rawls nampak serupa dengan milik Popper, bahwa ketika intoleransi yang dibiarkan justru mengancam peradaban manusia, maka individu berhak untuk melindungi diri. “Melindungi diri” ini secara substansi sebenarnya sama saja dengan konsep Popper tentang “pembatasan toleransi”.
Konsepsi Popper itu bukan tanpa solusi. Di dalam buku yang sama, ia mengatakan bahwa kelompok toleran tidak perlu memberantas gagasan-gagasan intoleran. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kontra narasi yang masuk akal, terukur, dan rasional. Narasi-narasi itu akan dibiarkan berkontestasi di ruang publik dan akan dievaluasi sendiri oleh masyarakat.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa masyarakat yang mengaku toleran harus berhati-hati dalam membatasi intoleransi dan memahami sekat antara tindakan intoleransi yang berbahaya dan perbedaan pandangan yang niscaya, meskipun kontroversial. Kedua tokoh di atas sepertinya sepakat bahwa memiliki sudut pandang yang berbeda tentang isu-isu seperti agama dan politik harus ditoleransi dalam masyarakat, kecuali jika satu kelompok politik atau agama menambahkan bumbu kebencian, tendensi mempersekusi, dan mengancam stabilitas sosial.
Begini, tidak berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Ketika ada orang yang tidak ingin berpendapat akan sesuatu, ya sudah kita hargai, jangan sampai kebebasan berpendapat menjadi senjata kita untuk memaksa orang lain berpendapat. Jika masyarakat toleran masih samar dengan perbedaan itu, mereka akan rawan terjebak dengan prinsip intoleransi itu sendiri, suka memaksakan kehendak dan menganggap yang tidak sependapat sebagai pihak yang salah.
Dalam lingkup yang paling kecil, misalnya, jika kita mengetahui bahwa ada seorang teman yang berencana mencelakai kita, meskipun itu masih dalam ranah gagasan, apakah lalu kita hanya membiarkan saja atas nama toleransi, atau berusaha melindungi diri dan berusaha melenyapkan rencana orang itu?