Beberapa orang diberikan kesempatan untuk mempelajari al-Qur’an secara mendalam. Sebagian menjadi tokoh besar seperti Quraish Shihab dan Gus Baha. Sebagian yang lain tetap fokus mengkaji al-Qur’an di wilayahnya masing-masing seperti di pondok pesantren maupun di kampus-kampus Islam. Selebihnya, orang hanya bisa mengkaji al-Qur’an melalui keterbatasan nalarnya saja. Pertanyaannya, apakah boleh orang memahami al-Qur’an hanya melalui terjemahannya saja?
Pertanyaan ini dijawab oleh Quraish Shihab dalam diskusi bersama Ulil Abshar Abdalla di akun YouTube NU Online. Menurut Quraisy Shihab, tentu orang boleh memahami al-Qur’an dengan terjemahannya saja. Hanya, lanjutnya, ia harus sadar bahwa terjemahan itu belum memberikan penafsiran yang memadai.
“Apalagi sebagian terjemahan kan hampir secara harfiah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Quraish Shihab berpesan bahwa terjemahan bisa dijadikan referensi untuk belajar al-Qur’an. Akan tetapi, para pengkaji ini harusnya juga berdiskusi dengan orang yang lebih paham. Ia mengutip QS. al-Anbiya’:7,
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,”
Salah satu kecenderungan yang lahir jika kesadaran itu absen adalah munculnya orang-orang yang merasa lebih tahu dan memahami al-Qur’an daripada para pengkaji al-Qur’an yang benar-benar mempelajarinya secara mendalam. Quraish Shihab menegaskan bahwa yang sudah lama mempelajari al-Qur’an secara mendalam pun masih ada kemungkinan salah.
Bahasan ini juga beririsan dengan metode penyampaian al-Qur’an terhadap audiens awam. Seringkali, para sarjana al-Qur’an menjelaskan substansi al-Qur’an dengan bahasa yang relatif kompleks kepada pendengarnya. Padahal, tidak semua pengkaji al-Qur’an berangkat dari jenjang akademik yang tinggi. Hal ini justru membuat para pengkaji awam kesulitan memahami al-Qur’an bahkan mengundurkan diri untuk mendalami kitab suci itu.
Menurut Quraish Shihab, itu adalah tanggung jawab para sarjana. Jika orang awam gagal memahami isi al-Qur’an karena penjelasan sarjananya yang kompleks, maka itu adalah salah sarjananya.
Menjelaskan sesuatu itu, menurutnya, harus menyesuaikan dengan kondisi sasaran. Seorang sarjana, misalnya, tidak bisa menjelaskan kaidah-kaidah tafsir yang begitu luas di hadapan publik. Ini adalah termasuk bagian dari hikmah. Hikmah di sini artinya menyampaikan secara tepat kepada sasaran yang tepat dan pada waktu yang tepat.
Itu sebabnya, Nabi Muhammad ketika ditanya tentang suatu masalah akan menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Hal itu karena Rasulullah menyesuaikan dengan mukhatab-nya (lawan bicara). Untuk pertanyaan “Ayyul amali afdhol” (apa perbuatan paling baik)?, Rasulullah memberi banyak jawaban. Sholat pada waktunya, berjihad di jalan Allah, berbakti kepada kedua orang tua, belajar lalu mengajarkan al-Qur’an, yang paling banyak sedekah, yang paling peduli terhadap anak yatim piatu, yang menjadikan hidupnya topangan bagi para fakir miskin, serta banyak jawaban lainnya.
KH Musthofa Bisri juga mengamini hal ini. Tutur Gus Mus, kandungan al-Qur’an sangat dalam. Sehingga tak bisa hanya digali dengan membaca terjemah. Tentu apa yang dimaksud bukan berarti menyalahkan terjemah al-Qur’an, namun yang menjadi masalah adalah ketika terjemahan itu dianggap tafsir yang paling benar di antara yang lain.
Saat ini kekerasan atas nama agama antara lain banyak dilakukan oleh orang yang baru belajar agama kepada orang-orang yang tidak jelas sanad (mata rantai) ilmunya diperoleh dari siapa dan tidak pula mendalam penguasaan ilmu agamanya.
Mereka belajar ayat-ayat al-Qur’an dari terjemahan yang disesuaikan dengan hawa nafsunya sendiri dan dipahami semau sendiri. Ia akan menyimpulkan sendiri hukum-hukumnya tanpa proses-proses penalaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atau, ia belajar dengan seorang yang mengaku ahli agama, padahal ia tak lebih dari menyempitkan apa saja yang dilapangkan oleh Allah untuk para hamba-Nya.