Fenomena yang saat ini terjadi, yaitu pemerkosaan dalam perkawinan atau yang biasa disebut marital rape, merupakan salah satu materi RUU PKS yang banyak menimbulkan pro dan kontra, serta banyak membuka diskusi di ruang publik. Di antara pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana bisa pemerkosaan itu terjadi terhadap pasangan suami istri yang sudah menjalin hubungan dengan ikatan yang sah secara agama? Padahal istilah pemerkosaan lumrahnya terjadi di luar pernikahan.
Marital Rape sebagaimana yang dimaksud oleh John M. Echols dan Hassan Shadily secara bahasa berasal dari bahasa Inggris, “marital” yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, dan “rape” berarti pemerkosaan. Kata pemerkosaan itu sendiri berasal dari kata perkosa yang menurut KBBI yaitu serangan yang memaksa seseorang dengan kekerasan tanpa adanya persetujuan orang tersebut. Istilah dalam pemerkosaan juga dapat digunakan secara bergantian dengan kekerasan seksual.
Semula istilah marital rape ini populer di Barat dan digunakan untuk sebuah kekerasan dalam hubungan seksual oleh suami ke istri. Indikasi yang diberikan di antaranya adalah tidak ada libido yang sama, karena pihak istri yang tidak menginginkannya. Memaksakan istri untuk melakukan hubungan biologis dengan cara yang tidak baik. Namun kini Istilah Marital Rape menjadi populer dalam studi Islam yang dibahas secara masif oleh kelompok progresif dengan mencarikan legitimasinya secara teologis.
Kajian yang dilakukan oleh M.Irfan Saifudin dalam jurnalnya yang berjudul “Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munahakat” cukup mewakili. Menurutnya, sangat sulit menemukan istilah yang tepat dengan Marital Rape dari khazanah fiqih klasik. Sehingga untuk memperluas kajiannya, ia menggunakan nalar-nalar sosial kritis sehingga memandang bahwa Marital Rape sangat bertentangan dengan kaidah pernikahan.
Menurut Muhammad Endriyo Susilo dalam Jurnal Perspective on Marital Rape, sebetulnya istilah marital rape tidak hanya berupa satu bentuk, tetapi setidaknya ada bentuk lain sebagai berikut:
- Battering rape: istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus saat suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual.
- Force-Only rape: suami menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk memaksa atau mengancam istri agar mau melakukan hubungan suami istri. Hal ini dilakukan manakala istri sebelumnya menolak.
- Obsessive rape: istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk perlakuan sadis dalam melakukan hubungan seksual, seperti suami melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menarik rambut, mencekik atau bahkan menggunakan alat tajam yang melukai istri untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Dari segi fikih, fenomena ini dapat dielaborasikan menggunakan metode istinbath hukum dengan istiqro’ al-ma’nawi seperti yang pernah digunakan oleh para ulama klasik. Marital rape jika digali dengan pendekatan istinbath tersebut sudah ter-cover dengan ayat wa’asyiruhunna bil ma’ruf, sehingga marital rape sangat dilarang oleh Islam.
Secara teknis, tidak ada dalil yang menjelaskan secara spesifik terkait marital rape baik dari Al-Qur’an maupun hadis, yang ada hanya sebatas anjuran untuk berlaku yang baik antara suami dan istri. Sayangnya, hal ini seringkali tidak dipahami secara menyeluruh, karena hanya meninjau dari satu dalil yang lebih mengedepankan kepentingan suami daripada istri, sehingga rentan terjadi tafsir keagamaan yang bias laki-laki (male biased). Sehingga hanya sang istri yang dianggap memiliki kewajiban mutlak atas permintaan suaminya, namun tidak untuk sebaliknya. Padahal dengan adanya pernikahan menandakan sahnya hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang ma’ruf serta masing-masing pihak berada dalam naungan hak pernikahan. Oleh karena itu, dalam pernikahan yang mengedepankan muasyarah bil ma’ruf, sejatinya tidak akan ada pemerkosaan dalam pernikahan. Karena salah satu tujuan dari pernikahan agar keduanya dapat mencapai kesenangan dan kebahagiaan yang sama. Kesewenang-wenangan dalam hubungan suami-istri, bahkan sampai melakukan cara-cara yang mengandung kekerasan seperti yang kini muncul istilah marital rape tidaklah dibenarkan dalam Islam.
Bagaimana kiranya pandangan Islam mengenai hal ini? Apakah marital rape dapat diterima dan ditinjau dari pandangan ulama Islam?
Berikut dalil-dalil yang berkaitan dengan pernikahan dalam Islam:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)} [الروم: 21]
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S Ar-Rum 21)
Menurut Quraish Shihab dalam Al-Misbah memberikan keterangan bahwa adanya tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diciptakannya manusia secara khusus untuk berpasang-pasangan agar mendapatkan ketenangan dan ketentraman serta cenderung kepada satu sama lain dan dijadikan-Nya di antara mereka mawaddah dan rahmat. Namun ketenangan itu tidak dapat muncul dengan sendirinya. Karena ketenangan itu haruslah diusahakan oleh kedua belah pasangan, tidak hanya salah satunya. Setelah muncul ketenangan di dalam rumah tangga, barulah timbul mawaddah dan rahmat.
{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223)} [البقرة: 223]
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman. (Al-Baqarah 223)
Dijelaskan oleh Abdul Halim Hasan dalam kitab Tafsir al-Ahkam bahwasanya kata hartsakum artinya kebun atau ladang, yang dimaksud pada ayat tersebut yaitu bahwa istri dapat dipermisalkan seperti ladang kebun tempat untuk menanam keturunan yang banyak. Dalam hal ini Allah memerintahkan agar laki-laki mendatangi ladang itu (perempuan) yang betapa kamu kehendaki dan sukai dengan cara bagaimana saja.
Kata Fa’tu hartsakum anna syi’tum dalam tafsir al-Munir diartikan bahwa suami dapat mendatangi istrinya dari arah mana saja entah dari depan atau belakang, dengan berdiri, berbaring ataupun duduk. Wahbah Zuhaili juga mengemukakan bahwa ayat ini menandakan kebolehan menyetubuhi wanita atas dasar pernikahan bukan perzinaan dengan tetap mengikuti waktu yang ditentukan dan tidak melakukan di saat-saat yang dilarang seperti puasa, i’tikaf dan haid. Dalam surat al-Baqarah: 223 tertera hak suami mengenai istri yang dijadikan ladang untuk suami, sehingga para suami dapat mendatangi istri dengan cara yang mereka sukai.
Namun demikian, kedua dalil tersebut tidak lantas dapat menjadikan suami untuk dapat berlaku sewenang-wenang kepada istrinya. Melayani suami memang kewajiban istri, namun istri tidak wajib untuk melaksanakannya apabila terdapat alasan-alasan syar’i, seperti saat istri sedang haid, nifas, puasa, hamil atau yang lainnya.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19)} [النساء: 19]
Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (An-Nisa 19)
Dalam kitab tafsir al-Munir dijelaskan, Allah memerintahkan untuk menggauli istri dengan cara sebaik mungkin dan dengan perkataan yang baik pula, berbuat yang baik kepadanya dan memberi nafkah dan tempat tinggal yang layak. Makna dari Al-Ma’ruf adalah sesuatu yang disenangi oleh tabiat yang sehat dan tidak dianggap sesuatu yang jelek oleh agama, adat dan sifat muru’ah. Jadi maksud ayat ini adalah berbuat baiklah kepada istrimu dengan selayaknya, karena kaum wanita sebelum Islam adalah kaum yang tertindas dan terampas hak-haknya. Lalu Allah SWT menetapkan untuknya hak-hak di dalam perkawinan dan menetapkan larangan berlaku tidak baik terhadapnya.
Dalam surat an-Nisa ayat 34 dijelaskan,
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)} [النساء: 34]
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shaleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perepmuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.”
Ayat di atas sering dijadikan dalil kesewenang-wenangan laki-laki kepada perempuan. Padahal justru ayat di atas adalah peringatan kepada laki-laki agar berbuat baik dan melindungi istri mereka. Dalam al-Munir, kata al-rijalu qawwamuna alan nisa bermakna laki-laki bertugas untuk melindungi perempuan, mengatur urusannya, mendidik mereka dengan baik sesuai ajaran agama. Sehingga kata al-qawwamah dimaknai sebagai kepemimpinan yang ada di dalam pernikahan yang meliputi urusan-urusan yang ada di dalamnya, dan tidak dengan kepemimpinan yang batil.
Kesimpulannya, dalam konteks berhubungan biologis antara suami dan istri harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf, tanpa ada paksaan, pelecehan ataupun penyiksaan. Oleh karena itu, Al-Qur’an memberikan batasan-batasan seperti tidak boleh meggauli istri pada saat sedang haid, sakit, serta masing-masing dimetaforkan sebagai pakaian.
Menurut hemat penulis, marital rape bertentangan dengan ajaran dan substansi Al-Quran. Islam mengajarkan agar suami-istri saling bergaul dengan baik. Ketika suami tidak dapat memperlakukan istri dengan baik, maka mereka telah melanggar prinsip dalam QS. An-Nisa 19 yakni wa ‘asyiruhhunna bil ma’ruf.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa makna kata al-ma’ruf adalah suami tidak boleh memukul, melakukan kekerasan dan apa yang dilarang syariat, baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Betapa mulianya perempuan dalam firman Allah.
Sejatinya dalam berhubungan pernikahan, seyogyanya istri tidak hanya dijadikan sebagai objek namun juga sebagai subjek. Hubungan suami istri di dalam pernikahan memang tidak sekedar tentang pemuasan kebutuhan biologis semata. Namun jauh lebih luas lagi, yaitu menyangkut aspek sosial dan psikologis. Keduanya, baik suami maupun istri harus saling mendekatkan dan mengakrabkan diri untuk dapat semakin mengerti satu sama lain. (AN)
Wallahu A’lam bish Shawab
Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja