Keputusan yang diambil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam revisi Undang-Undang (UU) Pilkada, terutama terkait syarat batas usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan, adalah tindakan yang sangat meresahkan dan menodai integritas demokrasi di Indonesia.
Keputusan ini menunjukkan bagaimana para elite politik, yang seharusnya menjadi penjaga dan pelayan rakyat, telah berubah menjadi pengkhianat yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ketika hukum dan konstitusi, yang seharusnya menjadi landasan negara ini, dengan sengaja dimanipulasi untuk keuntungan segelintir orang, kita tidak hanya berbicara tentang masalah hukum semata, tetapi juga tentang krisis moral dan politik yang serius.
DPR, sebagai lembaga legislatif yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat, justru telah mengkhianati konstitusi yang mereka bersumpah untuk jaga. Dengan memilih untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan lebih mendukung putusan Mahkamah Agung (MA), DPR telah melangkahi batas-batas kewenangan mereka dan menunjukkan bahwa mereka lebih mementingkan kalkulasi politik daripada konsistensi hukum.
Ini adalah pengkhianatan yang terang-terangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan transparan.
Pengkhianatan Terhadap Konstitusi
Pengkhianatan ini tidak dapat dianggap enteng. Ketika sebuah lembaga legislatif yang seharusnya menjaga dan menghormati konstitusi memilih untuk mengabaikan putusan MK, yang memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, ini adalah indikasi bahwa sistem politik kita sedang berada dalam krisis. Tindakan ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa hukum di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai instrumen untuk mencapai keadilan dan menjaga ketertiban sosial, melainkan sebagai alat yang bisa dimanipulasi demi kepentingan politik jangka pendek.
Keputusan untuk mendukung putusan MA yang memungkinkan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan, bukan sejak pendaftaran, adalah contoh yang sangat mencolok dari manipulasi hukum ini. Keputusan ini secara jelas dirancang untuk menguntungkan calon tertentu, dalam hal ini Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, yang baru akan memenuhi syarat usia pada Desember 2024. Ini bukan hanya sebuah keputusan yang tidak adil, tetapi juga merupakan bentuk nepotisme yang sangat vulgar dan mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi persamaan hak dan kesempatan bagi semua warga negara.
Hannah Arendt, dalam esainya yang terkenal, Civil Disobedience (1970), menyatakan bahwa ketika hukum dan konstitusi dilanggar oleh mereka yang memiliki kekuasaan, rakyat memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk menentang dan melawan pelanggaran tersebut. Arendt menekankan bahwa civil disobedience atau pembangkangan sipil adalah sebuah tindakan yang sah dan perlu ketika negara tidak lagi berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dalam konteks ini, tindakan DPR dan pemerintah yang mendukung keputusan ini adalah contoh nyata dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi, yang bisa memicu reaksi pembangkangan sipil dari rakyat yang merasa bahwa hak-hak mereka telah dikhianati.
Krisis Konstitusional dan Politik
Tindakan DPR untuk mengabaikan putusan MK tidak hanya menciptakan krisis hukum, tetapi juga memicu krisis konstitusional yang serius. Carl Schmitt, dalam bukunya Constitutional Theory (1928), menjelaskan bahwa krisis konstitusional terjadi ketika struktur dasar negara mulai runtuh karena diabaikan oleh penguasa.
Dalam konteks Indonesia, keputusan ini menunjukkan bahwa konstitusi tidak lagi dihormati sebagai hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk oleh DPR dan pemerintah. Ini menciptakan preseden yang sangat berbahaya, di mana hukum bisa dimanipulasi sesuai dengan keinginan penguasa, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang bagi stabilitas negara dan kepercayaan publik.
Krisis konstitusional ini, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berkembang menjadi krisis politik yang lebih luas. Ketika rakyat melihat bahwa hukum tidak lagi ditegakkan secara adil dan konsisten, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi-institusi negara. Kepercayaan adalah fondasi dari setiap sistem politik yang stabil dan berfungsi, dan ketika kepercayaan ini runtuh, seluruh struktur negara bisa ikut runtuh. Rakyat yang merasa bahwa hak-hak mereka tidak lagi dihargai dan dilindungi oleh negara mungkin akan mengambil langkah-langkah yang lebih radikal, termasuk pembangkangan sipil, untuk menuntut perubahan.
Hannah Arendt mengingatkan bahwa pembangkangan sipil adalah tanda dari kegagalan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dengan benar. Ketika rakyat merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki saluran yang sah dan efektif untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka, mereka akan beralih pada tindakan-tindakan yang berada di luar kerangka hukum yang ada.
Ini bisa mencakup protes, demonstrasi, dan tindakan-tindakan lainnya yang dirancang untuk memaksa pemerintah mendengarkan suara rakyat. Pembangkangan sipil adalah ekspresi dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap ketidakadilan yang dirasakan, dan ini adalah sesuatu yang harus diwaspadai oleh setiap pemerintah yang bertanggung jawab.
Nepotisme dan Manipulasi Hukum
Kasus pencalonan Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, adalah contoh paling mencolok dari bagaimana nepotisme dan manipulasi hukum telah menjadi praktik yang umum di Indonesia. Keputusan untuk menghitung usia calon sejak pelantikan, bukan sejak pendaftaran, adalah manipulasi yang sangat terang-terangan dan menunjukkan bahwa hukum tidak lagi dihormati sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai alat untuk melindungi kepentingan pribadi dan keluarga penguasa.
Ini adalah bentuk dari korupsi politik yang paling buruk, di mana kepentingan pribadi ditempatkan di atas kepentingan publik.
Nepotisme adalah kanker yang menggerogoti demokrasi dari dalam. Ketika kekuasaan digunakan untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan keluarga penguasa, seluruh prinsip-prinsip demokrasi, termasuk persamaan hak dan kesempatan, dirusak. Ini menciptakan ketidakadilan yang mendalam di masyarakat, di mana mereka yang tidak memiliki hubungan dengan elite politik dipaksa untuk berjuang dalam sistem yang sudah dimanipulasi sejak awal.
Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga menciptakan ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dapat memicu ketegangan sosial dan konflik.
Presiden Jokowi, yang selama ini mengklaim mendukung reformasi dan penegakan hukum, kini menghadapi ujian terbesar dalam karir politiknya. Jika dia mendukung atau bahkan hanya membiarkan keputusan ini terjadi, dia akan dikenang sebagai pemimpin yang mengkhianati rakyatnya, seorang presiden yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya daripada menegakkan hukum dan keadilan.
Ini adalah aib yang tidak hanya mencemarkan namanya sendiri, tetapi juga merusak reputasi seluruh pemerintahan dan negara.
Partai-Politik dan Krisis Moral
Tidak hanya Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab atas krisis ini, tetapi juga partai-partai politik yang mendukung keputusan ini. PDIP, sebagai partai yang selama ini mengklaim sebagai benteng demokrasi, kini terlibat dalam permainan kotor ini.
Ketidakpuasan mereka terhadap keputusan DPR menunjukkan bahwa mereka juga terjebak dalam permainan kekuasaan yang sama, di mana kepentingan politik lebih diutamakan daripada prinsip-prinsip demokrasi. Ini adalah bukti bahwa solidaritas politik di antara elite hanya didasarkan pada keuntungan pribadi, bukan pada kepentingan rakyat.
Golkar, di bawah kepemimpinan Bahlil Lahadalia, juga tidak bersih dari dosa politik ini. Dengan memilih bersikap pragmatis dan mengakomodasi kepentingan KIM, Golkar telah menunjukkan bahwa mereka tidak peduli pada keadilan, hanya pada kelangsungan kekuasaan mereka. Ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang harus mereka pertanggungjawabkan.
Golkar telah menunjukkan bahwa mereka tidak lagi peduli pada prinsip-prinsip demokrasi, tetapi hanya pada bagaimana mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, bahkan jika itu berarti mengkhianati rakyat yang telah mempercayai mereka.
Lebih dari itu, partai-partai kecil seperti Partai Buruh dan Partai Gelora, yang berjuang keras untuk menciptakan persaingan yang lebih adil dalam Pilkada, kini dikhianati. Sistem politik kita telah diambil alih oleh partai-partai besar yang tidak segan-segan menjual prinsip dan moralitas demi kekuasaan. Ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merupakan kejahatan terhadap demokrasi. Partai-partai kecil ini, yang seharusnya menjadi bagian dari pluralitas politik yang sehat dan demokratis, kini semakin terpinggirkan oleh keputusan-keputusan yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Pukulan Terhadap Demokrasi
Keputusan ini adalah pukulan telak dan mematikan bagi demokrasi Indonesia. Ketika lembaga politik yang seharusnya melindungi konstitusi memilih untuk menginjak-injak putusan MK yang sah dan mengikat, kita telah memasuki era krisis konstitusional yang serius. Carl Schmitt memperingatkan tentang bahaya krisis konstitutif, di mana struktur dasar negara mulai runtuh karena para penguasa mengabaikan tatanan hukum.
Dan inilah yang sedang kita hadapi sekarang: sebuah bangsa yang kehilangan arah, di mana hukum tidak lagi dihormati, dan keadilan hanya menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh segelintir elite.
Krisis konstitusional ini tidak hanya mengancam stabilitas politik, tetapi juga membuka jalan bagi krisis yang lebih luas—krisis kepercayaan publik yang bisa memicu civil disobedience atau pembangkangan sipil yang lebih besar. Hannah Arendt dalam Civil Disobedience menekankan bahwa ketika pemerintah dan institusi-institusi negara tidak lagi bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, pembangkangan sipil adalah reaksi yang tidak terelakkan. Indonesia sekarang berada di tepi jurang kehancuran demokrasi, dan jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan menggali kuburan bagi demokrasi yang telah kita perjuangkan.
Tampaknya, memang diperlukan pembalikan cara pikir seperti itu—bahwa rakyatlah yang sebenarnya lebih peduli kepada demokrasi. Melalui demokrasi, mereka bukan saja mengharapkan pintu-pintu kemakmuran menjadi terbuka, melainkan juga tegaknya keadilan. Para elite politik tampaknya gagal memahami bahwa rakyat menginginkan lebih dari sekadar janji-janji ekonomi; mereka ingin melihat bahwa hukum ditegakkan dan keadilan diberikan tanpa pandang bulu. Ketika demokrasi dilemahkan oleh elite politik yang hanya peduli pada kekuasaan, rakyat tidak hanya kehilangan kesempatan untuk mencapai kemakmuran, tetapi juga merasa bahwa keadilan telah dikhianati.
Panggilan untuk Bertindak
Sudah saatnya rakyat bersuara, menolak segala bentuk manipulasi kekuasaan, dan menuntut para pemimpin yang benar-benar berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. Rakyat Indonesia, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, harus menyadari bahwa demokrasi hanya bisa bertahan jika mereka berani mempertahankannya. Ini bukan saatnya untuk diam. Saatnya kita membela konstitusi dan melawan para pengkhianat yang ingin merampas masa depan bangsa ini.
Jika kita terus membiarkan kekuasaan dipegang oleh mereka yang tidak peduli pada keadilan dan kebenaran, kita sedang menggali kuburan bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi secara adil dalam proses politik, bukan hanya melayani kepentingan segelintir elite yang rakus kekuasaan. Ini adalah saat yang kritis dalam sejarah bangsa kita, dan tindakan kita hari ini akan menentukan apakah kita akan mewariskan demokrasi yang sehat dan berfungsi kepada generasi mendatang, atau meninggalkan mereka dengan sistem yang rusak dan tidak adil.
Krisis yang kita hadapi saat ini adalah panggilan untuk bertindak. Ini adalah saat di mana setiap warga negara yang peduli harus bersuara dan menuntut perubahan. Kita tidak bisa lagi membiarkan segelintir elite menghancurkan apa yang telah kita bangun dengan susah payah. Demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap remeh; itu adalah hak yang harus kita pertahankan dengan segala daya dan upaya. Jika kita gagal melakukannya, kita tidak hanya mengkhianati diri kita sendiri, tetapi juga generasi yang akan datang.