Sabar, sabar… saya tahu konsekuensi dari judul di atas. No hard fellings. Sebab itu hanya judul, bukan sambar gledhek. Tentu Anda boleh tidak setuju. Tapi sebaiknya, jangan sampai ketidaksetujuan itu membuatmu tidak berlaku adil sejak dalam pikiran. Dan, sebelum ada yang menuduh saya pendukung penista agama, perlu saya tekankan: bahwa sungguh tidak ada niatan sama sekali untuk itu.
Amma ba’du, seperti diketahui Ahok atau ia lebih suka dipanggil Basuki Tjahja Purnama (BTP) akan bebas pada 24 Januari 2019 ini. Ia ditahan sebagai terpidana penodaan agama. Dan demi itu, berbondong-bondong manusia rela datang ke Ibu kota untuk menuntut BTP dipenjara pada kurun 2016-2017.
Sejauh ini, saya masih meyakini bahwa dari jubelan massa yang merapat ke Jakarta waktu itu, hanya beberapa saja yang betul-betul yakin bilamana BTP memang menistakan agama sebagaimana definisi penistaan agama yang mereka pahami secara suka-suka. Selebihnya, aksi itu tak lebih dari sekadar misi untuk kepentingan politik Pilgub DKI dan/atau mereka yang memiliki problem masa lalu dengan Ahok secara personal.
Menarik untuk mengkaji ulang kenapa BTP bisa begitu dibenci sedemikian rupa sehingga ketika momentum itu tiba, ia laksana magnet yang dilempar ke gumuk pasir. Selain faktor kepentingan politik elektoral, tentu saja, narasi pertentangan teologi-ideologi juga memiliki peran penting dalam hal ini.
Ya, kasus itu bermula dari kunjungan BTP dalam rangka peninjauan dan pengarahan program pemberdayaan budi daya Ikan Kerapu di Pulau Pramuka, Kepualauan Seribu. Di sana ia berupaya meyakinkan warga setempat bahwa program tersebut tetap akan berjalan meski BTP tidak terpilih lagi sebagai Gubernur pada Pilkada DKI 2017.
Tak dinyana, dari kunjungan tersebut kemudian beredar video dengan judul “Penodaan Terhadap Agama?” yang diunggah oleh seorang netizen bernama Buni Yani. Tak butuh waktu lama, potongan video –dengan traksrip yang tidak utuh alias cacat—itu pun menjadi viral karena menyengat sentimen publik, bil khusus warganet Muslim sebagai target pasar dari video itu.
Memang, dalam kunjungan itu BTP menyinggung sebuah ayat suci agama lain dan karenanya layak disesalkan oleh beberapa pihak sebab ia membincang topik yang berada di luar bidangnya. Tapi betapapun itu, ia juga tidak sepenuhnya keliru. Sebabnya sederhana saja, Ahok hanya ingin menampar mereka yang dengan culas membajak ayat suci sebagai senjata meraup keuntungan politik.
Pada titik ini Ahok sedang mencurahkan apa yang insyaAllah disebut Heidegger sebagai pra-pemahaman. Pasalnya, kita memahami sesuatu tidak dari ruang hampa atau kesadaran kosong, melainkan justru karena di dalam diri kita sudah ada prasangka tertentu.
Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pemahaman kekinian yang dimengerti tanpa lebih dulu mengandaikan kejadian masa lalu, atau sebaliknya.
Suka atau tidak suka, hal ini sebetulnya juga ditempuh oleh wahyu Alquran yang turun secara gradual untuk merespon aktivitas dan praktik-parktik tertentu pada masa Nabi sekaligus sebagai panduan etis umat Islam di masa depan, tentu saja.
Ayat-ayat tentang khamr, nikah, dan Haji, misalnya, tidak turun kecuali dilatari oleh tradisi Arab pra-Islam yang saat itu familiar dengan mabuk-mabukan, praktik nikah yang sangat tidak ramah perempuan, dan haji yang lazimnya dirayakan untuk memuliakan berhala. Bahkan, mengutip Prof. Mun’im Sirry, beberapa ayat Alquran juga menunjukan polemik terhadap keyakinan kelompok lain terkait konsep Al-Masih dan Trinitas yang, dimaksudkan tidak hanya mengkritik suatu komunitas tertentu, tapi sekaligus untuk memenangi panggung perdebatan teologis.
Pada kasus BTP, saya rasa bukan Al-Maidah: 51 yang menjadi titik fokusnya. Sebaliknya, pemaknaan secara sepihak dan ugal-ugalan kepada ayat itulah yang sebetulnya ingin dibincang oleh BTP. Sebab, sebagai seorang non-Muslim lagi Tionghoa yang kebetulan berprofesi sebagai Gubernur DKI Jakarta berikut jam terbangnya yang tidak sedikit, sangat mungkin apabila dia kerap diserang oleh lawan politiknya dengan ayat tersebut.
Dan karenanya, cukup masuk akal jika kemudian BTP melontarkan kritiknya karena telah merasa jenuh dengan politik identitas yang menyebalkan itu. Namun sekali lagi, nahas, niat baiknya itu disalahmengertikan oleh segelintir umat beragama yang merasa bahwa pernyataan BTP itu merupakan penghinaan kepada kitab suci agama mayoritas.
Lagi pula, di abad modern seperti hari ini, orang waras mana sih yang benar-benar berniat menista agama lain dengan tujuan untuk menjatuhkan martabat sesama manusia? Yah, kecuali kalau Anda memang sedang tidak waras atau sebaliknya, mabuk agama. Di situlah Anda akan terbebas dari hukum dan tidak terikat oleh sistem apapun.
Ala kulli Hal, selamat datang kembali BTP, Anda adalah golongan kami—yang juga muak dengan praktik-praktik monopoli ayat suci dan Sabda Nabi untuk kepentingan limatahunan.