Pasal Penistaan Agama di Indonesia dan Amunisi Politik Identitas

Pasal Penistaan Agama di Indonesia dan Amunisi Politik Identitas

Pasal Penistaan Agama di Indonesia dan Amunisi Politik Identitas

Indonesia merupakan satu dari sekitar 50 negara di dunia yang masih memberlakukan Undang-undang penistaan agama. Library of Congress, sebuah lembaga survei yang terafiliasi dengan pemerintah Amerika Serikat, menunjukkan bahwa Undang-undang penistaan agama lazim berlaku di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Undang-undang ini umumnya diberlakukan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana 18 dari 20 negara di kawasan itu menganggap penistaan agama sebagai sebuah kejahatan yang memiliki konsekuensi hukum yang relatif sangat keras.

Nyatanya, pasal ini juga dapat ditemukan di dua benua lain, misalnya 16 persen negara Eropa memiliki Undang-undang anti penistaan,  juga sekitar 29 persen negara di benua Amerika memberlakukan undang-undang serupa.

Penistaan agama, misalnya, merupakan tindakan kriminal di Denmark. Pasal 140 Undang-undang pidana Denmark memaparkan, bahwa siapa saja yang mengolok-olok atau menghina dogma atau pemujaan terhadap keberadaan komunitas agama yang sah secara hukum akan dikenakan denda dan hukuman penjara maksimal empat bulan. Aturan ini telah diterapkan di Copenhagen sejak 1930 silam dan masih diterapkan secara aktif hingga hari ini.

Afghanistan dan Pakistan menjadi negara yang paling aktif menegakkan hukum penodaan agama sampai saat ini. Berdasarkan interpretasi hukum Islam di Afghanistan, penistaan agama dianggap sebagai tindakan murtad dan dipandang sebagai hudud, dan tindakan kriminal yang ditetapkan hukuman tetap.

Umumnya, pasal penodaan agama diciptakan sebagai  mekanisme perlindungan terhadap simbol sakralitas agama atau keyakinan yang diakui oleh suatu negara. Di Indonesia, misalnya, pasal ini bisa diaktifkan untuk memidanakan seseorang yang menghina enam agama resmi negara, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu.

Banyak wacana kritis yang muncul perihal fungsi pasal penistaan agama ini, apakah agama, dengan definisi yang abstrak itu, benar-benar membutuhkan perlindungan, atau umat-umat beragamanya saja yang membutuhkan prosedur yang sah untuk memfasilitasi ketersinggungannya.

Di Indonesia, aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama adalah UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Wacana-wacana kritis itu muncul salah satunya adalah berkat semakin membaurnya semangat melindungi sakralitas agama itu dengan kepentingan politik praktis yang menggunakan isu penistaan agama sebagai alat untuk menyerang lawan politik.

Seperti yang dilaporkan oleh bbc.com, jumlah kasus yang menggunakan delik penodaan agama meningkat menjadi sekitar 50 kasus dengan menguatnya politisasi agama setelah reformasi. Hal itu tak lepas dari munculnya poros-poros politik identitas dan desentralisasi politik di daerah-daerah yang digalakkan oleh para politikus yang miskin kreativitas politik. Mereka melakukan cara paling efektif dalam berpolitik dengan memainkan isu kasus penodaan agama sekaligus meningkatkan intensitas politik identitas.

Berkaitan dengan hal ini, kasus mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bisa menjadi contoh konkret. Ahok dilaporkan oleh sejumlah organisasi antara lain FPI, MUI Sumatera Selatan, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah- atas nama Forum Anti Penistaan Agama (FUFA) ke Mabes Polri dan Polda Metro Jaya karena dianggap menghina QS. al-Maidah ketika berpidato di Kepulauan Seribu. Meskipun Ahok telah meminta maaf, MUI tetap menyatakan Ahok sebagai penista Al-Quran dan mendapatkan tuntutan pidana pasal 156a KUHP dan UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Alhasil, Ahok divonis 2 tahun penjara.

Ismail Hasani, peneliti dari Setara Institute, seperti yang dikutip oleh bbc.com, mengatakan bahwa selama ini tekanan massa seringkali dijadikan pertimbangan dalam penyidikan kasus dugaan penodaan agama, dibandingkan unsur pidananya. Hal ini kemudian mengarah kepada asumsi bahwa umat mayoritas akan selalu sukses mempidanakan para “penista” agama, karena mereka mempunyai basis massa dan suara yang sangat banyak.

Konsekuensinya, kasus penistaan terhadap agama lain, selain Islam, menjadi tidak terekspos atau bahkan tidak diproses, karena Undang-undang ini sudah kadung melekat kepada para penista Islam. Jika gejala sosial yang disampaikan oleh Ismail Hassani itu benar adanya, maka jika ada seorang Muslim yang menista agama Khonghucu, misalnya, maka ia bisa dipastikan bebas jika hendak diadu berdasarkan tekanan massa dari kedua agama di Indonesia.

Jikapun perdebatan tentang esensi Undang-undang penistaan agama itu tidak akan berakhir, paling tidak pasal-pasal itu tidak digunakan sewenang-wenang. UU penodaan agama harusnya bisa digunakan oleh semua agama resmi yang diakui di Indonesia. Polisi dan para penegak hukum di Indonesia harusnya bersikap objektif dan tegas. Jika unsur pidana penistaan agamanya tidak ditemukan, maka polisi harus berani mengatakan tidak bersalah.

Baru-baru ini, kasus penistaan agama kembali terjadi di Indonesia. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo menjadi  tersangka kasus penistaan agama.  Roy dianggap melecehkan dan mengolok-olok Patung Sang Buddha karena mengunggah ulang gambar tersebut disertai kata “lucu” dan “ambyar”. Kali ini, kasusnya adalah seorang Muslim yang melecehkan simbol agama Buddha.

Saya membayangkan, jika seorang Buddha mengolok-ngolok Nabi Muhammad, misalnya, saya kok yakin Buddhis penista itu akan terjerat pasal penistaan agama dan diproses dengan waktu yang relatif singkat. Saya penasaran, apakah polisi dan penyidik akan objektif dan sigap dalam menangani kasus penistaan Roy Suryo, karena saat tulisan ini ditulis, kasus Roy Suryo masih dalam tahap penyidikan.

Tulisan ini menyimpulkan bahwa Undang-undang penistaan agama merupakan prosedur legal yang lumrah ditemukan di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Sampai di sini, saya sebenarnya tidak mempermasalahkan apapun. Jika memang lazimnya demikian, ya sudah. Yang menjadi concern saya adalah bagaimana sebuah negara mengimplementasikan Undang-undang tersebut. Apakah untuk memenuhi ego mayoritas atau sekedar menjadi “amunisi” politik segelintir politisi atau benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.

Jika melindungi nama baik sebuah agama menjadi fondasi berdirinya UU Penodaan Agama, maka harusnya UU ini bisa digunakan oleh semua penganut agama, bukan pemeluk agama mayoritas saja. Dalam hal ini, reputasi polisi dan penegak hukum dipertaruhkan, apakah mereka hanya menjadi stempel lidah mayoritas, atau menjadi pihak yang bijak memutus perkara terkait relasi agama, khususnya di Indonesia. (AN)