Setiap agama selalu mengklaim sebagai “yang paling benar” dan “yang paling selamat” kelak di akhirat. Tidak ada yang salah dengan klaim itu. Tidak ada masalah dalam klaim tersebut. Masing-masing agama berhak untuk mengklaim sebagai yang “yang paling benar, selamat, dan otentik”. Masing-masing individu pengikut agama juga berhak untuk mempercayai dan meyakini “klaim kebenaran” agamanya itu.
Sebagai Muslim (atau pengikut agama Islam), saya tentu saja mempercayai dan meyakini Islam-lah agama yang paling oke-oye. Hal itu karena saya dibesarkan dalam keluarga Muslim, tumbuh dalam lingkungan Muslim, dan dididik dalam tradisi keislaman. Dengan kata lain, saya “menjadi Muslim” karena saya mengalami hidup dalam “kultur keislaman”. Seandainya saya lahir di lingkungan masyarakat Eskimo, Kalahari, Aztec, Maori, Gabbra, dlsb, apakah saya menjadi seorang “Muslim”? Tentu saja tidak.
Jadi, keislaman dan tidak keislaman seseorang itu bukan semata-mata “masalah teologi-keagamaan” (lantaran mendapat “hidayah” misalnya) melainkan juga “masalah sosial-kebudayaan” (lingkungan, pendidikan, pergaulan, dlsb).
Hal yang sama juga berlaku buat teman-teman non-Muslim yang tumbuh dalam lingkungan non-Islam. Seseorang memutuskan untuk menjadi “Kristen” misalnya bukan semata-mata karena “faktor teologi” (Roh Kudus telah bekerja misalnya) tetapi juga “faktor budaya” yang sangat kompleks. Banyak sekali kajian-kajian akademik mengenai “antropologi konversi” (menjadi Muslim, menjadi Kristen, dlsb) yang sangat rumit dan karenanya perlu dilihat dari berbagai sudut pandang.
Meskipun saya mengakui kebenaran dan otentisitas Islam tetapi pengakuan saya itu bersifat “subyektif-internal”. Dengan kata lain, keyakinan itu hanya berlaku untuk saya pribadi. Saya tidak menutup diri tentang–dan menghargai atas–pemahaman dan keyakinan pengikut agama-agama lain yang meyakini kebenaran dan otentisitas agama-agama mereka.
Nah, salah satu problem mendasar umat beragama itu adalah (sebagian) mereka “mengeksternalkan” keyakinan kebenaran agamanya itu kepada pengikut agama / orang lain. Apa yang mereka yakini atas kebenaran agamanya itu dijadikan sebagai “standar ideal” untuk menilai dan mengevaluasi agama lain. Mereka lupa bahwa orang lain atau pengikut agama lain juga mempunyai “standar ideal” yang sama seperti mereka karena kebenaran bukan hanya monopoli Islam dan agama tertentu saja.
Sebetulnya, jika proses “eksternalisasi kebenaran” itu (dalam bentuk dakwah atau misionarisme) bersifat damai dan toleran tidak ada masalah. Setiap orang berhak untuk berbagi wawasan dan informasi tentang sesuatu yang mereka anggap baik.
Menjadi salah dan bermasalah, kalau proses eksternalisasi itu dilakukan dengan jalan pemaksaan dan kekerasan. Dari situlah sikap intoleransi muncul. Dari situlah benih-benih etnosentrisme tumbuh. Dari situlah akar-akar permusuhan dimulai. Dari situlah konflik dan ketegangan bermula.
Jika masalah ini tidak segera diatasi dengan baik, bijak, dan akurat, maka bukan mustahil akan menjadi bencana kemanusiaan di kemudian hari yang hanya akan berbuah pada penyesalan belaka. Karena itu waspada dan berhati-hatilah sebelum melakukan tindakan yang bisa merugikan bangsa dan umat manusia.
Jabal Dhahran, Jazirah Arab