
Saat umrah, saya hanya mengingat disertasi rasanya satu kali: ketika berdoa agar prosesnya kelak dilancarkan. Setelah itu saya hendak melupakannya hingga saat ia memang harus dihadapi. Saat itu adalah beberapa hari kemarin. Saya harus kembali membaca lalu menuliskannya selembar demi selembar. Kali ini tentang kebebasan beragama dan norma hak asasi manusia (HAM) internasional.
Apa yang perlu saya lacak, bagaimana norma HAM dan kebebasan beragama tumbuh dan diadopsi dalam rezim internasional, sebuah konsep yang dicirikan dua elemen utama: norma itu sendiri dan prosedur pembuatan kebijakan. Saya membagikan hasil penelusuran itu di sini dengan dua tujuan.
Pertama, melatih diri menata pikiran dari hasil bacaan. Kedua, siapa tahu ada dari Anda tiba-tiba mendapat ilham lalu merespons tulisan ini. Dan respons itu membantu mempertajam pikiran saya.
Jika pun hanya dijawab angin, tak ada masalah. Saya masih punya tujuan pertama. Begini temuan saya.
Percakapan tentang norma kebebasan beragama tidak bisa dilepaskan dari norma HAM internasional secara umum. Norma HAM ini merujuk pada dokumen Deklarasi Universal HAM (DUHAM), sebuah instrumen PBB pertama memuat daftar HAM yang diakui secara internasional dan diterima secara bulat dalam forum Majelis Umum pada 10 Desember 1948. DUHAM memuat sekurang-kurangnya 25 rumpun HAM, dari hak bebas dari perbudakan (Pasal 3) hingga hak atas tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan dalam UDHR dapat diwujudkan secara penuh (Pasal. 28). Kebebasan beragama salah satu rumpun dari 25 rumpun HAM yang dicantumkan pada pasal 18.
Bukan sebuah kebetulan, cikal bakal gagasan HAM internasional rupanya bermula dari gagasan tentang hak beragama, yakni pengakuan hak-hak beragama yang terbatas bagi beberapa kelompok minoritas Kristen dalam Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (Donnelly and Whelan 2020, 3).
Beberapa perjanjian setelah Perang Revolusi dan Perang Napoleon tentang kemerdekaan dan kedaulatan Belgia (1815), Yunani (1832), Serbia (1878) memuat pula jaminan tentang kebebasan beragama. Seperti tergambar dalam penjelasan berikutnya, kebebasan agama atau nilai-nilai agama terutama dalam tradisi Katolik dan Protestan, menjadi bagian penting yang mendasari lahirnya konsep HAM internasional secara umum.
Selain hak beragama, hak-hak yang telah ada dalam sejumlah perjanjian adalah hak atas kedaulatan, hak-hak pekerja, dan hak-hak minoritas. Dua hak yang disebut terakhir diakui Organisasi Buruh Internasional dan Liga Bangsa-Bangsa yang baru saja dibentuk. Meski sejumlah rumpun HAM dicatat dalam sejumlah perjanjian internasional, uniknya hingga sebelum perang dunia II, istilah HAM sendiri belum diakui sebagai norma tertulis. Bukti paling kuat adalah tidak termuatnya istilah HAM dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa.
Situasi ini berubah selama Perang Dunia II. Hal demikian karena pergumulan pemikiran dan pengalaman negara-negara Sekutu ketika melawan Jerman pimpinan Hitler. Dalam hal ini, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam perubahan ini. Gagasan tentang perlunya memberi perhatian pada hak-hak mendasar muncul pada pidato Kenegaraan Presiden Franklin D. Roosevelt pada Januari 1941. Ia membingkai upaya perang Sekutu sebagai alasan untuk “mengamankan empat kebebasan mendasar”: berbicara, beragama, bebas dari keinginan, dan bebas dari rasa takut.
Pernyataan awal ini selanjutnya dijabarkan Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, yang merundingkan pernyataan tujuan perang Sekutu dalam Piagam Atlantik pada Agustus 1941. Deklarasi Januari 1942 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa “Kemenangan penuh atas musuh-musuh mereka sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasan beragama, dan untuk menjaga hak asasi manusia dan keadilan di tanah mereka sendiri maupun di tanah lain.”
Sejak 1942, HAM menjadi bagian dari upaya perencanaan pascaperang di pemerintahan Amerika dan Inggris, dua kekuatan Sekutu terkemuka.
Perubahan ini menandai gerakan yang tengah tumbuh di era 40-an. Menariknya, gerakan-gerakan tersebut banyak didorong oleh kelompok-kelompok keagamaan. Misalnya, pada 1941, Konferensi Kesejahteraan Katolik Nasional mengirim surat kepada Eleanor Roosevelt, untuk memperjuangkan hak asasi manusia.
Pada Agustus di tahun yang sama sebuah konferensi tentang hak asasi manusia diadakan di Buenos Aires; melalui radio pada tanggal 1 Juni Paus juga memohon undang-undang hak asasi manusia internasional. Dua tahun berikutnya, gerakan terus menguat. Umat Yahudi, Katolik, dan Protestan bergabung dalam seruan bersama untuk perdamaian dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mereka menyebar 750 ribu eksemplar pamflet untuk mendorong Perdamaian (Morsink 1999).
Holokaus, pembunuhan massal sistematis yang dilakukan Jerman terhadap jutaan warga sipil tak berdosa, menandai perubahan norma di kalangan dunia internasional atas apa yang kemudian disebut dengan HAM. Pengadilan Kejahatan Perang Nuremberg, yang dimulai pada 1945, lalu memperkenalkan dakwaan baru tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat menghukum individu. Bahkan dalam arti tertentu, tujuan utama PBB menjamin kebebasan beragama adalah guna mencegah terjadinya peristiwa seperti Holokaus atau yang mendekatinya (Drinan 2017, 30).
Refleksi negara-negara sekutu atas peristiwa perang melawan Jerman menyadarkan mereka bahwa kekejaman selama perang didahului oleh, dan dibangun di atas, pelanggaran hak-hak fundamental yang diberlakukan oleh negara selama bertahun-tahun. Itu yang dialami orang-orang Yahudi jauh sebelum Hitler naik ke tampuk kekuasaan. Mereka juga menyadari depresi ekonomi dunia dan ketidakamanan ekonomi di era 1930-an berkontribusi signifikan terhadap munculnya rezim-rezim yang melanggar hak asasi manusia dan terhadap kehancuran sistem internasional, yang memicu perang.
Latar belakang itu semua menjadi konteks di mana lembaga-lembaga internasional pascaperang memberi perhatian terhadap hak-hak fundamental untuk dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1945.
Perhatian utama ini dinyatakan dalam Pembukaan Piagam PBB di antaranya dengan menegaskan kembali pendirian PBB, yaitu untuk “reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small,” and “to promote social progress and better standards of life in larger freedom.”
Istilah HAM kini telah menjadi konsep yang bukan hanya diakui, namun melandasi pembentukan PBB.
Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tujuan berdirinya PBB adalah “to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.
Diakuinya HAM dalam Piagam PBB memberi dampak besar bagi institusionalisasi HAM. Salah satu perkembangan penting adalah berdirinya the Commission on Human Rights yang difailitasi the UN Economic and Social Council (ECOSOC).
Salah satu tugas badan baru yang dibentuk pada 1946 itu menyusun draf international bill of rights yang akan memuat deklarasi prinsip dan konvensi hak asasi manusia (treaty) yang mengikat secara hukum, bersama dengan lembaga dan prosedur untuk penegakannya.
Dua tahun berikutnya, draf tersebut ditetapkan sebagai DUHAM (the Universal Declaration of Human Rights).
Kalimulya, 7 Desember 2024
Catatan ini merupakan refleksi atas pengerjaan disertasi penulis.
—
Rujukan
Donnelly, Jack, and Daniel J Whelan. 2020. International Human Rights. Routledge.
Drinan, Robert F. 2017. Can God and Caesar Coexist? Balancing Religious Freedom and International Law. Yale University Press.
Lindkvist, Linde. 2013. “The Politics of Article 18: Religious Liberty in the Universal Declaration of Human Rights.” Humanity: An International Journal of Human Rights, Humanitarianism, and Development 4(3): 429–47.
Morsink, Johannes. 1999. The Universal Declaration of Human Rights: Origins, Drafting, and Intent. university of Pennsylvania Press.