Jauh dari kota Madinah, tepatnya di Syam, tampak tiga orang sedang berkumpul. Dua orang sedang terlibat pembicaraan serius. Salah seorang di antara mereka berkulit hitam legam dan kekar. Yang satunya lagi berkulit putih bersih dan juga kekar. Seorang berkulit putih lainnya hanya diam mengikuti pembicaraan.
“Para penduduk Madinah menginginkanmu untuk melakukannya, Bilal,” ujar seorang lelaki putih berbadan kekar dan tampak berwibawa, yang tak lain adalah Sayyiduna Umar bin Khattab.
Bilal, lelaki hitam bertubuh kekar itu tertegun setelah mendengarkan pernyataan Khalifah kedua pengganti Rasulullah SAW tersebut. “Aku tak bisa, Umar. Aku tak akan mampu melakukannya lagi,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Sayyidana Umar diam sejenak. Ia sungguh mengerti mengapa Bilal mengatakan hal tersebut dan menolak ajakannya. Seorang lelaki putih bersamanya, Aslam al-Qursy juga tahu mengapa Bilal bersikap seperti itu.
“Tapi, ummat muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal. Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan. Mereka rindu suaramu. Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” Bukan Sayyiduna Umar namanya bila ia patah semangat. Ia terus membujuk bekas budak yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar
Bilal menatap wajah Sayyidana Umar, ia menangkap betapa khalifah kedua tersebut benar-benar berkata dengan serius. Betapa jauh jarak yang ditempuh oleh pemimpin umat itu dari Madinah ke tempat tinggalnya sekarang, hanya demi menyampaikan permintaan para penduduk kota agar dirinya mengumandangkan adzan kembali di kota suci tersebut.
Mata Bilal semakin berkaca-kaca. Terlintas di benaknya beberapa tahun silam saat ia meminta izin kepada khalifah pertama, Sayyidana Abu Bakar untuk tidak mengumandangkan adzan lagi dan pamit pergi dari kota Madinah. Terlintas di hatinya betapa alasan yang membuatnya melakukan hal tersebut hanyalah karena perasaan rindu. Rindu pada Rasulullah SAW yang tidak akan pernah kembali hidup bersamanya.
Pikiran dan perasaan Bilal terseret jauh ke belakang, jauh ke masa-masa indahnya dulu, saat-saat Nabi Muhammad SAW hadir dalam kesehariannya, menjadi imam setelah ia mengumandangkan adzan. Ah, iya, bukankah Nabi pula yang menyuruhnya pertama kali melakukan hal tersebut saat masjid Nabawi rampung dibangun? Bukankah Rasulullah SAW yang memintanya naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan saat fathil Makkah?
Lebih jauh lagi, bukankah dirinyalah yang mengumandangkan adzan setiap saat waktu salat tiba, sehingga ia dijuluki sebagai “muadzin Rasul”? Selama Nabi SAW hidup, posisinya sama sekali tak tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu pun orang yang keberatan atas posisinya itu.
Hati Bilal berdesir menambah kerinduan. Ia ingat betul saat Nabi Muhammad SAW berkata padanya, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat!”. Ia juga teringat saat Nabi SAW berkata padanya, “Bilal, amal apakah yang kaukerjakan? Aku mendengar suara terompahmu di surga”.
Ia juga sangat ingat bahwa setiap waktu salat tiba, ia akan mengumandangkan adzan, lantas ia akan berdiri di depan tabir kamar Nabi SAW dan berseru, “Ya Rasulullah, marilah kita salat, marilah kita salat!” Setelah itu, ia kembali ke dalam masjid dan menunggu Nabi SAW keluar dari kamarnya. Bila Nabi SAW keluar, maka Bilal segera mengumandangkan iqomah.
Kemudian Bilal teringat hari terakhir ia mendatangi Nabi SAW Pagi itu, salat Subuh akan segera dilaksanakan. Ia pun mendatangi kamar Nabi SAW.
“Ya Rasulallah, marilah kita salat, marilah kita salat!”, ujarnya.
Tak berselang lama kemudian, Nabi SAW menjawab, “Suruhlah Abu Bakar menjadi imam dan dirikanlah salat!”
Bilal segera melaksanakan perintah terakhir Nabi kepadanya. Ia cepat kembali ke masjid dan menemui Abu Bakar, lantas menyampaikan perintah Nabi padanya. Maka, Abu Bakar maju ke depan mengimami salat.
Selang beberapa waktu kemudian, Nabi keluar dari kamarnya dipapah dua orang. Beliau berjalan mendekati Sayyidana Abu Bakar yang sedang mengimami salat. Melihat kedatangan Nabi, Abu Bakar lantas berjalan mundur sedikit demi sedikit.
Ia mempersilahkan Nabi untuk mengimami salat. Akhirnya, Nabi SAW pun duduk di sampingnya dan mengimami salat. Sayyiduna Abu Bakar mengeraskan takbir.
Subuh, Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun kesebelas Hijriah, kabar buruk tentang kondisi Rasulullah yang memburuk membuat para sahabat cemas, termasuk Bilal. Setelah menunggu sekian lama, tidak ada tanda-tanda bahwa Nabi akan keluar. Maka, Abu Bakar maju ke depan untuk mengimami salat. Sesaat kemudian, tabir kamar Rasulullah terbuka. Tampak beliau berdiri di sana melihat para sahabat di dalam masjid. Beliau lantas tersenyum.
Para sahabat pun senang melihat beliau akhirnya muncul dan berharap kondisi Nabi membaik, serta bisa mengimami salat. Abu Bakar pun sudah hendak melangkah mundur jikalau Nabi tidak segera memberi isyarat kepadanya untuk melanjutkan salat. Beliau lalu masuk kembali ke dalam kamarnya dan menurunkan tabir. Itulah saat-saat terakhir para sahabat melihat Nabi, karena pada hari itulah beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Bagi Bilal, hari di mana Rasulullah wafat adalah hari yang paling mempengaruhi jalan hidupnya. Sejak hari itulah ia bertekad untuk tidak mengumandangkan adzan lagi. Ia sungguh berat menanggung rasa rindu yang menggebu-gebu sehingga membuatnya terhenti saat menyerukan adzan.
Ia meminta izin kepada Abu Bakar untuk berhenti dari profesinya sebagai muadzin. Abu Bakar pun mengabulkan permintaannya. Setelah itu, Bilal pergi ke Syam.
Hal itu dilakukannya karena ia tidak mampu menahan perasaan rindu yang menggelora. Selama masih tinggal di kota Madinah, maka ia tidak akan bisa lari dari kenangan bersama Rasulullah.Tapi, kali ini, Bilal justru merasakan kerinduan itu semakin dalam dan besar.
Begitu pula kerinduan yang melingkupi perasaan para sahabat Nabi yang pernah hidup sezaman dengan beliau, sehingga mereka meminta Sayyidana Umar bin Khattab untuk menjemput dan memintanya agar bersedia mengumandangkan adzan sekali lagi.
Bilal pun sebenarnya ingin bernostalgia dengan masa-masa silam yang sangat indah itu. Dan ia sadar, inilah saatnya menumpahkan rasa kerinduan itu. Bukankah para sahabat yang lain juga merasakan hal yang sama?
Bilal tercenung sejenak sementara Umar bin Khattab. sedang menunggu jawaban darinya.
“Baiklah, aku akan melakukannya lagi,” jawab Bilal.
Maka pergilah Bilal menuju kota Madinah, kota yang memiliki sejuta makna dan kenangan bersama Nabi yang sangat dicintainya. Sesampainya di Madinah, ketika waktu salat telah tiba, Bilal segera menyerukan adzan. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Sejurus kemudian, suara merdunya yang sangat khas dan tiada bandingannya terdengar kembali mengudara dibawa lari oleh angin padang pasir yang berhembus cepat.
Allahu akbar…Allahu akbar…
Suara lantang sang muadzin Rasul menggema ke semua penjuru kota. Seketika orang-orang yang mendengar lantunan adzan itu terdiam. Mereka terhenyak. Meraka serasa kembali ke masa Rasulullah. Apakah Rasulullah kembali?
Allahu akbar…Allahu akbar…
Bilal lebih mengeraskan suaranya.
Asyhadu allaa ilaaha illallah…Asyhaduallaa ilaaha illallah…
Bilal benar-benar menjiwai lafadz demi lafadz yang diucapkannya. Orang-orang mulai menyadari bahwa tak lain dan tak bukan suara itu adalah milik Bilal, muadzin Rasulillah.
Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…
Akhirnya tibalah Bilal pada lafadz tersebut. Suaranya yang menggema kini terdengar parau. Dadanya bergetar penuh kerinduan. Bilal terisak menyebutkan nama orang yang paling dicintainya. Hatinya bergemuruh hebat. Tanpa terasa, air matanya meleleh begitu saja. Sekelebat kenangan melintas cepat dalam ingatan Bilal.
Ia teringat sosok Rasulullah, bagaimana saat ia pertama kali disuruh mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi, disuruh naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan di hadapan beribu-ribu orang saat Fathil Makkah. Juga bagaimana ia mengikuti setiap perjalanan Nabi dan mengumandangkan adzan setiap waktu salat tiba atau ketika saat ketika ia berdiri di depan tabir kamar Rasulullah untuk memberitahu salat akan didirikan.
“Asyhadu anna… Muham..madan…Rasulullah…”
Suara Bilal kian parau, sedikit terisak. Pipinya sudah basah oleh titik-titik air. Ia menangis tersedu-sedu menahan sesak di dada dan tak kuat lagi meneruskan adzan itu.
Sementara itu, seluruh penduduk kota Madinah yang mendengar lantunan adzan Bilal merasakan hal yang sama. Sungguh saat-saat selama adzan berlangsung sama persis dengan saat-saat Rasulullah masih hidup dan hadir di antara mereka. Apalagi setelah mendengar suara parau Bilal saat menyebut nama agung tersebut dalam lantunan adzan.
Pada hari itu kota Madinah serasa menangis, menghayati kerinduan yang telah lama mereka pendam. Semuanya karena satu hal, rasa cinta yang begitu besar pada sosok Rasulullah dan rasa rindu yang begitu mendalam, sehingga cukup disebut namanya saja maka semuanya menangis mengharu biru.
Sejak hari itu, sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan lagi.[habis]
Sumber bacaan: Sahih Bukhari, Fathul Bari, Siyar A’lam an-Nubala, Mu’jam ash-Shahabah lil baghawi, Tadzhibut Tahdzib lidz-Dzahabi
Faris Maulana Akbar adalah mahasantri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.