International Women’s Day memang sudah lewat. Peringatan tiap tanggal 8 Maret itu menjadi momentum merefleksikan perjuangan perempuan melawan marginalisasi dan stigmatisasi. Namun, bukankah menghayati perjuangan perempuan bisa dilakukan kapan saja?
Tempo hari lalu, sembari menunggu berbuka puasa, saya menonton film garapan Marvel Studios berjudul Ms. Marvel. Serial superhero itu menarik perhatian karena menampilkan perempuan Muslim sebagai tokoh utama film. Hal ini menjadi yang pertama kalinya dalam sejarah industri film terutama dalam ekosistem pahlawan super milik Marvel Cinematic Universe.
Selepas menonton, saya justru tertarik melihat tren representasi perempuan dalam sejarah film superhero Hollywood. Berangkat dari keresahan soal marginalisasi dan stigmatisasi kaum perempuan yang hingga saat ini masih belum menemui titik terang, maka lahirnya artikel pendek ini.
Jamak dipahami, titik terang itu tidak kunjung datang karena konstruksi masyarakat hingga saat ini masih disandera oleh kultur patriarki. Salah satu media paling efektif dalam melanggengkan kultur itu adalah film. Film merupakan instrumen ampuh untuk membentuk, membangun, dan mengkonstruksi sebuah gagasan. Sebuah film tidak pernah diproduksi secara kebetulan dan membutuhkan banyak kerja “penelitian” yang dilakukan di balik layar.
Meski demikian, film dalam konteks ini tidak serta merta dipersalahkan. Di satu sisi, film memang melanggengkan narasi gender inequity. Namun di sisi lain, narasi dalam film juga dipengaruhi oleh wacana yang sudah mengakar dalam masyarakat. Dalam logika pasar, film akan selalu mencari “ruang aman” untuk menarik minat masyarakat.
Dalam konteks gender, superioritas laki-laki yang terpatri dalam benak masyarakat menjadikan film-film terus menjadikan objektifikasi perempuan dan superioritas tokoh pria sebagai sajian utama. Realitas ini menjadikan dekonstruksi gender tampak mustahil direalisasikan.
Melihat industri film dalam skala global, Hollywood memiliki pasar paling signifikan. Industri Hollywood sangat leluasa untuk mendiseminasi ideologi-ideologinya, termasuk mengenai gender. Dalam film superhero Hollywood, sudah sejak lama karakter perempuan cenderung ditampilkan sebagai obyek seksual yang hanya diapresiasi karena kemolekan fisiknya. Perempuan digambarkan tidak mempunyai nilai lain selain sebagai pelengkap karakter pria.
Sebaliknya, karakter pria direpresentasikan memiliki pekerjaan penting, kuasa, dan kekuatan. Ketimpangan peran laki-laki dan perempuan tersebut seakan lumrah direpresentasikan dalam film-film Hollywood. Apa yang tersaji dalam film adalah konsekuensi dari konstruksi patriarkis tradisional yang masih dianut oleh sebagian besar pelaku industri sinema di AS.
Film Catwoman (2004), misalnya. Film ini mendapat kritik seputar representasi karakter perempuan karena walaupun memiliki kekuatan super, tokoh Catwoman tetap dinarasikan mendedikasikan hidupnya untuk mendapat perhatian dari karakter pria. Catwoman digambarkan sebagai karakter pahlawan super perempuan tanpa identitas jelas yang hanya bertindak sesuai konstruksi patriarkis Hollywood. Isu lain yang sering dikritik dari film ini adalah objektifikasi tubuh perempuan, khususnya sebagai obyek seksual. Visualisasi yang mengobyektifikasi tubuh sosok Hale Berry, pemeran Catwoman, kerap ditemui sepanjang film. Mulai dari pemilihan kostum yang terbuat dari bahan kulit ketat dan sangat terbuka, hingga cara berjalan Catwoman yang suka mengayun pinggul.
Namun, penokohan karakter perempuan dalam film pahlawan super mulai menunjukkan transformasi sejak tahun 2010. Beberapa film bergenre pahlawan super mulai menampilkan karakter perempuan yang tidak terpaku pada pandangan patriarkis Hollywood. Perempuan mulai ditampilkan sebagai individu yang independen, berkepribadian kuat, memiliki impian, cita-cita dan keinginan sendiri yang tidak berhubungan dengan, atau yang berkaitan dengan, menjadi objek perhatian karakter laki-laki. Pergeseran ini dapat diamati pada beberapa film pahlawan super yang rilis pasca 2010, seperti “The Avengers” garapan Marvel Studios, studio film superhero paling terkemuka di dunia.
Film superhero dengan pendapatan tertinggi pada tahun 2012 itu menampilkan beberapa karakter pahlawan super sekaligus sebagai tokoh utamanya. Salah satu tokoh utama The Avengers yang menjadi pusat perhatian, setidaknya oleh para pengamat gender, adalah Natasha Romanov alias Black Widow, seorang perempuan super yang diperankan oleh aktris Scarlet Johansson.
Black Widow merupakan satu-satunya karakter superhero perempuan dalam The Avengers. Karakter yang identik dengan warna hitam itu diceritakan memiliki kecerdasan dan keahlian dalam pertarungan tangan kosong. Sepanjang film, dia direpresentasikan sejajar dengan pahlawan pria lainnya yang menjadi anggota The Avengers, bahkan ditampilkan lebih unggul karena ia satu-satunya yang bertarung tanpa senjata.
Meski demikian, Black Widow selalu mengalami seksualisasi baik secara visual dan tekstual. Sehingga, walaupun Black Widow memiliki transformasi karakter yang cukup signifikan, tetapi pada akhirnya yang paling membekas di benak penonton adalah keseksian tubuh dan pakaian yang dikenakannya. Keseksian itu ditampilkan untuk memberi pesan bahwa bentuk tubuh tersebut adalah tipe tubuh yang “ideal dan diinginkan”.
Meski demikian, film bertema superhero terus mengalami perubahan positif. Pada Juni 2022, Marvel Studios kembali membuat perubahan signifikan dalam hal konstruksi peran perempuan melalui serial film pahlawan supernya, Ms. Marvel, MCU menghadirkan sosok perempuan, yang bukan hanya seorang Muslim tapi juga keturunan Pakistan, bernama Kamala Khan.
Karakter Kamala sebagai seorang Muslim Pakistan-Amerika diciptakan oleh dua orang, yaitu G. Willow Wilson, seorang penulis komik yang masuk Islam saat beranjak dewasa, dan Sana Amanat, direktur pengembangan karakter Marvel keturunan Pakistan-Amerika.
Karakter Kamala bisa dikatakan merupakan bentuk kompromi dari budaya dan agama milik kedua penciptanya tersebut. G Willow Wilson, seperti yang diliput The Guardian, mengatakan bahwa konflik Kamala Khan tidak dengan penjahat super (super villain) semata, namun dengan spiritualitasnya, tugas keluarga, dan tradisinya. Wilson mengatakan bahwa Kamala Khan digambarkan sebagai seorang yang berjuang dengan imannya. Dalam arti lain, orientasi MCU ada pada karakter Kamala Khan sebagai seorang perempuan Muslim, bukan pada audiens yang menuntut imaji seksual tokoh-tokoh pahlawan super.
Citra perempuan sebagai karakter nomor dua dalam industri film Hollywood mungkin masih terlihat. Namun setidaknya, tren penokohan perempuan mengalami perbaikan dalam satu dekade terakhir. Para pengamat film, sineas, dan aktifis gender mencatat bahwa citra perempuan di Hollywood bisa dirubah bukan dari tokoh-tokohnya, namun dari sisi sutradaranya seperti yang dilakukan dalam serial Ms. Marvel. Narasi yang disuarakan dalam Ms. Marvel memberi pesan bahwa untuk menciptakan sistem sosial yang ideal, diperlukan sikap adil dan inklusif, salah satunya adalah adil gender.
Riset The Celluloid Ceiling menunjukan bahwa persentase kru perempuan dalam 250 film terbaik dunia pada tahun 2022 hanya mencapai 22%, turun dari tahun sebelumnya. Keterlibatan perempuan secara langsung dalam ruang publik dan seluruh dimensi kehidupan manusia menjadi parameter utama dalam melihat manifestasi semangat keadilan di Hari Perempuan Internasional.
Dalam konteks industri film, semangat ini bisa menjadi momentum perempuan untuk lebih banyak terlibat di balik layer sinema. Melalui film, perempuan dapat berperan merekonstruksi relasi gender sekaligus menanamkan narasi adil gender kepada audiens di seluruh belahan dunia.