Sebuah kisah dari hikayat Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di bawah ini dapat menjadi contoh konkret untuk mempermudah pemahaman kita mengenai hikmah atas karunia dan jalan takdir manusia.
Alkisah, semasa hidupnya, Sang Wali Qutub Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani memiliki pengaruh yang begitu luas dan terus meluas ke seluruh penjuru dunia. Murid-muridnya banyak yang kemudian memperoleh kedudukan penting, di antaranya menjadi penguasa. Beliau memang menugaskan dan mengirimkan sebagian muridnya agar dapat menjadi wakilnya sesuai dengan kapasitas diri dan kualitas batin masing-masing. Ada yang menempati jabatan hakim, gubernur, hingga raja. Sedangkan sebagian lainnya diangkat menjadi guru spiritual karena tingkatan rohaninya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani diceritakan memiliki seorang pembantu di kediamannya. Pembantu tersebut adalah seorang faqir yang telah mengabdi selama 40 tahun. Dalam rentang waktu itu, ia telah menyaksikan beberapa murid yang jauh lebih muda dan belum lama mengabdi, namun dipilih oleh Sang Wali untuk menempati jabatan penting.
Akhirnya, pembantu tersebut menghadap ke Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani berharap agar diberikan posisi penting tertentu mengingat ia salah seorang yang telah paling lama mengabdi. Ia khawatir dengan usianya yang semakin tua, pembantu itu menyampaikan maksud permohonannya. Akan tetapi, belum selesai ia berkata-kata, datang satu utusan dari India. Mereka meminta Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani untuk menunjuk seorang maharaja bagi kerajaan mereka.
Sang Wali Qutub lalu menatap pembantunya dan menanyakan: “Apakah kamu sanggup mengemban tugas ini? Apakah dirimu memenuhi syarat?” Pembantu tersebut mengangguk penuh sukacita.
Selepas para utusan keluar dari ruang pertemuan, Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menyampaikan persyaratan kepada pelayannya. Dia berkata: “Aku akan mengangkatmu sebagai maharaja di sana, namun kamu harus berjanji untuk memberikanku separuh dari keuntungan dan kekayaan kerajaan yang kamu peroleh selama berkuasa.” Pelayan tersebut tentu saja dengan senang hati menyanggupinya.
Pelayan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani yang bekerja sebagai juru masak itu kembali ke pekerjaannya di dapur. Dirinya harus menyiapkan dan menyajikan sebuah hidangan besar. Saat tengah mengaduk masakannya di dalam kuali raksasa dengan sendok kayu, ia dipanggil untuk pergi bersama utusan-utusan dari India karena akan segera dinobatkan menjadi maharaja di negeri tersebut.
Sesampai di India, pembantu Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani pun diangkat menjadi raja. Ia memperoleh kekayaan yang melimpah-ruah. Tak lama, dirinya menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Ia membangun banyak istana untuk dirinya dan keluarganya sendiri. Kekuasaan, keberlimpahan, dan kesenangan hidup dengan segera membuatnya melupakan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani berikut dengan janji yang pernah ia ucapkan dahulu. Dia sudah terlalu asik dan tenggelam dengan dunia barunya.
Pada suatu hari, Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani mengirim utusannya untuk menyampaikan bahwa ia akan berkunjung. Pelayan yang telah menjadi raja di India tersebut bersiap-siap menyambut kedatangan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di kerajaannya.
Setelah serangkaian prosesi upacara, serta pesta meriah nan megah diselenggarakan, mereka berbincang berdua. Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani mengingatkan kesepakatan mereka bahwa ia harus menyerahkan setengah dari hasil keuntungan kerajaan kepada beliau.
Maharaja tersebut jengkel karena diingatkan janji untuk memberikan sebagian kekayaannya kepada sang wali. Apa boleh dibuat, maharaja tidak bisa mengingkari janjinya, dia menyampaikan kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani bahwa dirinya akan menyerahkan setengah harta kerajaannya pada esok lusa. Meskipun demikian, terlintas dalam niatnya kalau dia tidak akan sungguh-sungguh memberikan sejumlah itu.
Kekayaan yang menumpuk seiring waktu, mengakibatkan sifat tamak raja pun tumbuh. Ia melakukan pencatatan aset secara tidak jujur. Ia membawa daftar kekayaan tersebut di hari yang telah direncanakan. Lalu memberikan sebagian harta kekayaannya kepada Sang Wali sesuai dengan catatan yang telah dibuat. Meskipun catatan tersebut mencantumkan banyak istana dan harta lainnya, namun itu hanyalah sebagian kecil dari miliknya. Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani terlihat puas melihat daftar kekayaan yang ia diterima.
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani lantas bertanya: “Aku mendengar kau juga mempunyai seorang anak laki-laki?”
“Iya, sayangnya hanya seorang. Jika ada dua, pasti aku pun akan memberikan salah satunya padamu.”
“Tidak apa-apa, kemarikan anak itu.” Perintah Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani. “Kita masih dapat membaginya.”
Anak itu dibawa ke hadapan mereka. Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menghunus pedangnya yang tajam tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kamu akan mendapatkan setengahnya, dan setengahnya lagi akan menjadi bagianku!” Tukas beliau.
Sang ayah begitu ketakutan. Ia mencabut belatinya sendiri dan menujamkan tusukan dari kedua tangannya ke dada Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani dengan kedua mata terpejam. Ketika ia membuka matanya, ternyata ia masih sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan sendok kayu. Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani berdiri tepat di hadapannya dan menatap lekat-lekat. Sang Wali berujar: “Sebagaimana kau saksikan sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Karena kau belum menyerahkan segalanya, termasuk dirimu, kepadaku!”
Sebagai kekasih Tuhan, Syekh Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jaelani, dikarunia dengan kemampuan “membaca” manusia karena dirinya telah kasyaf (tersingkapnya tabir antara dirinya dengan Tuhan). Dia dapat menyelami dimensi hakikat yang memperlihatkan sifat-sifat asli manusia telanjang di mata batinnya. Sehingga dia mengetahui persis siapa-siapa manusia yang cocok untuk satu urusan, tetapi tidak tepat menempati posisi tertentu. Hal tersebut terkait dengan perbedaan maqom atau derajat diri.
Manusia itu hakikatnya unik. Keunikan yang merupakan sebuah keniscayaan karena sebagai hasil karya Tuhan, manusia diciptakan dengan keanekaragamannya masing-masing. Keunikan tersebut meliputi perbedaan segala sifat dan karunia yang diterima oleh tiap manusia sesuai dengan kadar kemampuan dan kapasitas lahir-batinnya. Jika dalam sebuah lintasan takdir seorang manusia direncanakan Tuhan akan menjadi pemimpin besar, sudah tentu dalam dirinya memiliki daya-daya rohani yang telah disiapkan oleh Tuhan.
Tersingkapnya daya-daya tersebut pastilah melewati proses panjang pematangan diri dengan berbagai ujian dalam pengalaman hidup. Proses ini berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya, sehingga juga akan melahirkan kualitas pribadi yang tidak akan pernah sama. Ketika seorang manusia menyadari anugerah yang diperolehnya dari Tuhan, bisa bakat atau keahlian tertentu, pada dasarnya dia sedang diarahkan untuk mencapai sebuah tujuan takdir tertentu. Namun, jika dirinya bernafsu menghendaki sesuatu atau posisi yang bukan adalah bagian takdirnya, dia tidak akan pernah sampai ke sana.
Walhasil, sudahkah kita sendiri menyadari di mana maqom kita? Sejauh mana kita telah memposisikan diri sesuai dengan kapasitas lahir-batin yang dianugerahi? Wallahu a’lam bisshawab.