Sebuah baliho besar dipajang di beberapa masjid Jakarta. Pemasangan baliho tersebut bukan dalam rangka mengumumkan rutinitas ibadah ataupun ceramaah keagamaan, tetapi berisi pernyataan sikap pengurus masjid untuk tidak mensalatkan dan mengurusi jenazah muslim yang mendukung cagub yang dianggap ‘Penista Agama’.
Keberatan mengurusi jenazah ini menurut mereka didasarkan pada QS: al-Taubah [9]: 84, bahwa Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu (Muhammad) mensalatkan salah seorang dari mereka selama-lamanya serta berdiri di atas makamnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka mati dalam keadaan fasik.” Pihak pemasang baliho menyamakan status ini dengan orang munafik pada masa Rasulullah SAW, karena surat al-Taubah ayat 84 diturunkan guna merespon Rasulullah SAW yang tetap berkeinginan untuk mensalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, penduduk Madinah yang acapkali menyebarkan fitnah dan berpihak pada musuh.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari dikisahkan, pada saat Abdullah bin Ubay bin Salul wafat, Rasulullah SAW diminta untuk mensalatkannya dan beliau bersedia memenuhi permintaan tersebut. Melihat sikap Rasulullah itu, Umar bin Khatab menghadang rencana Rasulullah sembari mengingatkanya atas perbuatan buruk Abdullah bin Salul. perbuatan buruk yang pernah dilakukan Abdullah bin Salul terhadap Rasul.
Rasulullah berkata, “Saya telah diberikan pilihan, dan saya lebih memilih untuk mengampuninya. Andaikan saya tahu bahwa dia akan diampuni jika saya memohon lebih dari 70 kali, maka saya akan lakukan”. Rasulullah SAW akhirnya mensalati jenazah Abdullah bin Ubay dan setelah itu baru surat al-Taubah ayat 84 yang melarang Rasulullah mensalatkan jenazah kaum munafik.
Sekilas, ayat ini memang ditujukan pada larangan mensalati jenazah kaum munafik. Akan tetapi, persoalannya adalah apakah tepat menggunakan ayat tersebut sebagai legitimasi untuk tidak mensalatkan orang Islam yang mendukung Cagub non-muslim? Menyamakan pendukung Cagub non-muslim dengan Abdullah bin Salul tentu termasuk qiyas ma’al fariq (analogi keliru), sebab Abdullah bin Salul disebut munafik karena dia telah menyebarkan fitnah dan menuduh istri Rasulullah, ‘Aisyah, selingkuh dengan laki-laki lain, serta memberi dukungan terhadap orang kafir yang memerangi umat Islam. Meskipun Rasulullah SAW mengetahui siasat buruk Abdullah bin Salul ini, tetapi beliau tidak mau menghukuminya lantaran khawatir timbul fitnah.
Sementara yang terjadi di Jakarta pada saat ini, sebagian umat Islam mendukung pasangan Cagub non-muslim karena mereka tidak memerangi umat Islam. Perlu diketahui, Rasulullah SAW pun semasa hidupnya tidak memerangi seluruh non-muslim, karena yang wajib dimusuhi itu hanyalah orang kafir yang memerangi umat Islam. Bahkan sebagian non-muslim pada waktu itu mendukung dan membantu Rasulullah SAW melawan musuhnya.
Selain itu, perihal memilih pemimpin non-muslim masih diperdebatkan hukumnya oleh ulama fikih: ada yang melarang dan tidak sedikit pula ulama yang membolehkannya, khususnya ulama kontemporer. Dibolehkan memilih pemimpin non-muslim karena situasi politik dan pemerintahan dunia sudah berubah, tidak lagi bersifat sentralistik seperti masa khalifah dulu. Dalam konteks Indonesia atau negara demokrasi pada umumnya, seorang pemimpin hanyalah pengurus administrasi negara, dan tidak memiliki wewenang dalam urusan keagamaan.
Dalam kaidah fikih disebutkan, la yunkaru al-mukhtalaf fihi wa innama yunkaru al-mujma’ alaihi (hukum yang masih diperdebatkan ulama tidak dapat diingkari dan yang wajib diingkari adalah persoalan yang sudah disepakati). Dikarenakan hukum pemimpin non-muslim masih diperdebatkan ulama dan termasuk persoalan khilafiyyah, bukan ijma’ ulama, maka seharusnya bagi orang yang tidak setuju dengan kebolehannya tidak boleh menuduh orang berbeda pendapat dengannya sebagai orang munafik, fasik, apalagi sampai mengkafirkan. Mari hormati setiap pendapat fikih yang ada.
Dalam hadis lain, riwayat Ibnu Hibban, Ibnu Huzaiman, dan lain-lain, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli di masjid, bahkan beliau meminta orang yang melihat praktek tersebut agar mendo’akan supaya dagangannya tidak laku. Al-Thahawi menjelaskan, tujuan Rasul menyatakan larangan ini agar masjid tidak terlihat seperti pasar. Kalau masjid sudah seperti pasar, dikhawatirkan fungsi utamanya sebagai tempat beribadah menjadi hilang dan orang tidak lagi nyaman beribadah di dalamnya.
Merujuk pada hadis ini, meskipun Nabi bersabda dalam konteks jual beli, tetapi kalau direnungi lebih dalam, seakan-akan Nabi ingin berpesan agar masjid sebaiknya digunakan untuk beribadah, mendekatkan diri pada Allah, dan melakukan amal baik di dalamnya. Dengan demikian, sebaiknya kampanye politik tidak dilakukan di masjid dalam konteks negara bangsa. Sebab hal itu akan membuat orang tidak nyaman beribadah dan menjauhkan umat dari masjid, terutama orang-orang yang mendukung calon yang berbeda dengan pengurus masjid. []
Masrur Irsyadi, Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan penulis buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum