Perasaan sedih merupakan bagian dari fitrah manusia, bagian dari dimensi basyariyah (kemanusiaan) yang tak terbatas. Syed Hossein Nasr menandai adanya sifat lahut dan nasut dalam sifat kemanusiaan seorang nabi, sehingga kesedihan juga merupakan fitrah yang pernah dialami oleh siapapun termasuk nabi dan rasul.
Adapun nabi dan rasul yang mengalami kesedihan dan tekanan itu, bisa kita simak dalam kisah Nabi Ya’qub yang sedih karena kehilangan Nabi Yusuf, atau Nabi Nuh yang bersedih karena anak dan istrinya tidak mengimani dirinya.
Nabi Musa yang dikenal sebagai pribadi pemberani pun pernah mengadu kepada Allah perihal kaumnya yang membohongi dan melecehkan dirinya. Adapun Nabi Muhammad Saw, beliau mengalami kesedihan dan serbuan mental dalam dua masa, pra-kenabian dan pasca-kenabian.
Di masa pra-kenabian, dalam kitab Suruj adh-Dholam disebutkan betapa menyedihkannya Nabi Muhammad yang lahir tanpa punya kesempatan beradu tatap dengan ayahandanya. Disusul wafat ibundanya tepat di pangkuannya setelah pulang dari ziarah ke makam suaminya di an-Nabighah, Madinah ketika Nabi berusia 6 tahun. Dua tahun berselang Nabi Muhammad ditinggal kakeknya, Abdul Muthalib di usia 8 tahun.
Sedangkan di masa pasca kenabian, mashur ‘amul huzn (tahun kesedihan), dimana Nabi Muhammad SAW kehilangan Abu Thalib dan Khadijah RA.
Sang paman, Abu Thalib, meninggal pada bulan Rajab di tahun sepuluh kenabian. Dia merupakan paman Nabi saw yang mengasuh Nabi pasca ditinggal kakeknya Abdul Muthalib, membenarkan kata-kata Nabi SAW, membela dan menjadi penolong kegiatan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Semasa hidupnya, Abu Thalib belum bersyahadat. Sikap ini berasalan, jika dia terang-terangan mengakui keislamannya, Nabi SAW akan semakin menderita karena kaum Quraisy akan menyerangnya semakin menjadi-jadi. Kemudian, siapa yang akan menjadi penengah antara kafir Quraisy dengan Nabi SAW kalau bukan pamannya itu?
Dalam sebuah riwayat, di detik-detik kematian Abu Thalib, Abu Abbas berbisik kepada Nabi SAW, bahwa Abu Thalib telah menggerakkan bibirnya mengucapkan syahadat. “Saudaraku telah mengucapkan kalimat yang kau minta (syahadat, red.)”. Nabi tersentak dan beliau menyahut “Tapi aku tak mendengarnya”, tak lama Abu Thalib menghembuskan nafas terakhirnya. Nabi SAW kemudian meminta untuk menguburkan Abu Thalib dengan cara Islam.
Belum tuntas kekosongan hati Nabi SAW ketika ditinggal oleh pamannya, tiga bulan berselang, tepat bulan Syawal di tahun yang sama malaikat maut menjemput Sayyidah Khadijah RA. Bagi Nabi SAW, Khadijah bukan sekadar istri, tetapi sahabat dekat, penasihat, dan ibu dari seluruh keluarganya termasuk Ali dan Zaid.
Khadijah RA merupakan sosok yang setia mendukung, membela dan membesarkan hatinya, yang mana “Allah telah menyiapkan rumah mungil yang tak aka nada lagi kegaduhan di dalamnya”
Kisah ini terlalu sering diceritakan dan kita tahu bagaimana ujungnya. Bahwa memerangi kesedihan adalah bagian dari ujian memperkuat iman sehingga meratapi nasib dan rasa sedih saja tak akan pernah mengubah hidup yang begini-begini saja.
Ketika kematian Abu Thalib yang menguras perasaan Nabi SAW, Allah SWT menurunkan Surah al-Qashash ayat 56 yang dimaksudkan untuk menghibur Nabi saw agar tidak terhanyut dan meratapi kesedihan.“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau kasihi, akan tetapi Allahlah yang memberikan petunjuk pada siapa pun yang Ia kehendaki. Dan Ia adalah Dzat yang maha mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Saya perlu membagikan ulang kisah ini, karena beberapa agamawan banyak yang tak memahami batas-batas kesedihan. Belum lagi paham pada batasan, bahwa individu cenderung membangun pemikirannya sendiri yang memprasangkai kondisi terpuruk untuk kemudian berputus asa, depresi, bahkan – naudzubillah – bunuh diri.
Sudah sering kita mendengar dark joke yang hampir selalu dilontarkan kepada orang yang tak sengaja mengulangi kesalahan, yaitu “awakmu iku lahir ae wis salah, opo maneh urip” (kamu itu lahir saja sudah salah, apalagi hidup!). Bagi lingkungan tertentu, ucapan itu secara rumit akan mengundang tawa dan ejekan yang menekan subjek.
Betapapun, lingkungan sebagai wahana ekspresi tidak bisa diprasangkai sebagai muasal kemelut. Tapi lingkungan itu menandai keberadaan kita, menjadi atap pelindung untuk mengenal dan tidak jatuh dari realitas.
Tidak jarang pula dari keterpurukan itu, kisah hidup manusia bergerilya untuk segera bangkit. Mengelak pangkuan tangan di atas leher, untuk menggandengnya memperbaiki keadaan.
Terakhir, kesedihan sebagai fitrah manusia tidak boleh disikapi secara berlebihan, alias tidak melampaui batas. Menganggap berlebihan sebuah ketidak-beruntungan hidup membuat iman melemah. Syekh Nawawi al Bantani dalam Nashoihul Ibad berpesan, Hammu ad-Dunya bi ad-Dhulmi al-Qalbi wa hammu al-Akhirati bi an-Nuri al-Qalb “Sedih karena urusan dunia hati akan menjadi gelap dan sedih karena akhirat maka hati akan menjadi terang”.