Perdebatan Khitan Nabi Muhammad SAW: Khitan Sejak Lahir atau Dikhitan Abdul Muthalib?

Perdebatan Khitan Nabi Muhammad SAW: Khitan Sejak Lahir atau Dikhitan Abdul Muthalib?

Ada perbedaan pandangan riwayat seputar khitan Nabi Muhammad SAW, yaitu dikhitan oleh sang kakek ABdul Muthalib dan dikhitan sejak lahir.

Perdebatan Khitan Nabi Muhammad SAW: Khitan Sejak Lahir atau Dikhitan Abdul Muthalib?
Nabi Muhammad meletakkan hajar aswad di Ka’bah. (Jami al-Tawarikh)

Dalam kitab Maulid, ada perbedaan pandangan tentang kondisi khitan Nabi Muhammad SAW. Ada yang menerangkan bahwa kondisi Nabi Muhammad saat lahir sudah berkhitan (dikhitan atas kuasa Allah), dan ada pula yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW dikhitan oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Namun perdebatan tersebut mengandung hikmah tersendiri, demikian menurut Gus Baha dalam sebuah rekaman pengajian beliau yang diunggah oleh Channel Youtube NU Channel.

Menurut Gus Baha, dalam kitab Barzanji, Syekh Ja’far al-Barzanji sang pengarang menggunakan standar ilmu hadis, sehingga kitab Barzanji memuat khilafiyah (perbedaan pendapat) tertentu tentang biografinya, termasuk kondisi khitan Nabi Muhammad SAW.

Adapun kitab Simtud Duror yang dikarang oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, ditulis dalam keadaan ‘isyq/syauq, sehingga meriwayatkan satu pendapat saja bahwa Nabi Muhammad SAW lahir dalam keadaan makhtun (sudah khitan).

Gus Baha menyebutkan, malah cenderung suka dengan riwayat Nabi dikhitan oleh sang kakek, Abdul Muthalib. Yakni karena ada unsur kenormalan manusia dalam ikhtiar/upaya melaksanakan apa yang diperintahkan secara syariat oleh Allah SWT.

Misalnya Nabi Muhammad itu sudah dalam keadaan sunat (khitan) sejak lahir, maka itu menjadi karamah dan keistimewaan beliau karena hal tersebut merupakan kuasa Allah. Seandainyapun ketika kecil beliau mengalami prosesi khitan oleh sang kakek, itu juga menambah keistimewaan beliau.

Hanya saja, kadang kita sebagai umat Islam cenderung suka dengan hal-hal yang berbau ajaib. Namun, dalam pandangan Fiqih, hal yang ajaib itu belum pasti pantas atau dalam bahasa Gus Baha, “belum tentu keren”. Apa yang baik jika dilihat dari sisi keramatnya, belum tentu baik dari pandangan Fiqih.

Kiai asal Rembang ini mencontohkan, seandainya ada seseorang yang setelah wafat dimandikan oleh malaikat. Dari sisi spiritual tampak luar biasa. tapi dari sisi Fiqih belum sempurna, karena manusia di sekitarnya tetap dikenai khitab (perintah) untuk memandikannya secara syariat Islam.

Menurut Gus Baha, riwayat tersebut memiliki hikmah tersendiri dan justru bagus. Karena jika Nabi Muhammad dikhitan oleh sang kakek, maka menunjukkan bahwa Nabi muhammad sejak kecil diasuh di tengah keluarga yang masih memegang teguh millah/ajaran syariat Nabi Ibrahim.

Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa Abdul Muthalib ketika Nabi Muhammad SAW akan lahir, beliau bergegas untuk melaksanakan thawaf berkeliling kakbah. Sayyidah Aminah, sang ibunda Rasulullah SAW, mengutus seseorang untuk memanggil Abdul Muthalib yang sedang thawaf di kakbah.

Thawafnya Abdul Muthalib saat itu tidak ada dasar lain kecuali dari syariat Nabi Ibrahim. Untuk dinisbatkan sebagai ajaran Islam pun tidak mungkin, karena Nabi belum diangkat menjadi nabi. Quran dan hadis pun tidak mungkin, karena keduanya belum turun ke dunia.

Maka dari itu, dua riwayat tentang khitan Nabi Muhammad, semuanya bagus. Kalau memang faktanya Nabi muhammad lahir dalam kondisi berkhitan atas kuasa Allah ya bagus, kalau Nabi memang dikhitan oleh kakek beliau juga bagus karena sama-sama mengandung hikmah dan keistimewaan.

Hanya saja, Gus Baha menambahkan, kadang kita sendiri yang menuruti nafsu dalam mengkaji biografi nabi Muhammad SAW. Yang suka hal-hal keramat dan ajaib, tetap kukuh meyakini Nabi Muhammad lahir dalam keadaan khitan. Sementara yang suka dengan Fiqih ngotot bahwa Nabi Muhammad dikhitan oleh Abdul Muthalib.

“Sama-sama nggak paham saja kok jadi ribut!” kata Gus Baha.