Menonton film dokumenter Negeri di Bawah Kabut, kita dibawa menuju desa Genikan. Sebuah desa di kecamatan Ngablak, kabupaten Magelang, sebelah barat gunung Merbabu. Penonton la diajak untuk melihat panorama desa dan pemandangan indah gunung Merbabu, serta jejeran gunung Sindoro dan Sumbing di kejauhan. Di balik indahnya panorama yang disajikan, kehidupan warga desa Genikan yang mayoritas petani, jauh dari kata indah. Hujan yang turun lebih sering dari perhitungan tanggalan petani menandakan ada yang tidak beres dengan alam. Cuaca yang tidak menentu berimbas pada hasil tani yang cepat busuk.
Film dokumenter besutan sutradara Shalahuddin Siregar ini sudah rilis sejak tahun 2011 dan meraih sederet penghargaan di festival film dalam dan luar negeri. Tapi baru kemarin saya saksikan setelah film ini ditayangkan secara cuma-cuma di kanal YouTube.
Awal mula saya menonton film ini, saya berekspektasi akan disuguhi narasi dokumenter seputar perubahan iklim dan dampaknya bagi para petani. Namun di tengah jalan saya justru teralihkan oleh potret keislaman masyarakat pegunungan yang jujur. Potret keislaman yang jarang saya dapatkan dalam sebuah karya film.
Salah satu potret tersebut, misalnya, saya tangkap dari cara berpakaian yang sederhana dari para petani perempuan, sekaligus kejelian observasi dalam memaparkan prinsip kesalingan (mubaadalah) dalam mencari nafkah rumah tangga Sudardi dan Muryati, pasangan suami-istri yang sama-sama bertani, sekaligus protagonist film ini.
Potret seperti ini menemukan relevansinya, di tengah gempuran kampanye bahwa wanita Muslimah yang shalihah adalah mereka yang berdiam diri di rumah dan menjauhi ruang kerja. Narasi-narasi semacam ini pada dasarnya menjauhkan dari realitas masyarakat Muslim keseharian. Meminjam bahasa Kalis Mardiasih, tidak mungkin bagi para petani perempuan untuk memakai kerudung Syahrini atau gamis terusan model terkini yang panjangnya sampai menyapu tanah.
Narasi untuk menutup aurat dan keutamaan berdiam di rumah bagi Muslimah, kadang dikampanyekan oleh beberapa kelompok secara berlebihan. Juga tanpa melihat konteks keseharian Muslimah, di mana perempuan juga berpeluh di sawah dan ladang bersama kaum adam demi menafkahi keluarga.
Sudardi dan Muryati menghitung pendapatan biaya selama tanam dan hasil panen. Pupuk jelas menjadi pengeluaran terbesar. Namun pengeluaran untuk ritual-ritual keagamaan tak lupa mereka sisihkan. Hutang saat menyelenggarakan tahlilan masih harus dibayar. Belum lagi menyambut 1000 hari wafatnya anggota keluarga.
Bagi orang yang “melek” finansial akan mengernyit melihat hitung-hitungan itu. Bagaimana petani yang hidup pas-pasan justru mengalokasikan banyak pengeluaran di pos-pos ritual Islam tradisional seperti 100 hari dan tahlilan?
Akan tetapi begitulah kearifan, dan keluhuran nilai yang menubuh dalam realitas hidup Muslim pegunungan. Penghormatan kepada yang mati, juga harus sama dengan penghormatan mereka yang hidup. Saya beri acungan jempol bagaimana film ini mampu menghadirkan pembicaraan tentang akhirat secara alamiah, tanpa unsur menceramahi atau menggurui. Bahkan, perbincangan tentang alam batin Muslim pegunungan itu kerap disajikan secara ironis, jernih namun menyimpan gelap dalam melihat situasi hari ini.
Ada satu fragmen menarik ketika tiga orang bertetangga membincangkan lilitan hutang demi keperluan sekolah anak-anak mereka:
“Mikirin butuhnya anak bikin malas hidup.”
“Mati aja kalau gitu”
“Mati juga tetap butuh biaya, kasihan yang hidup. Makanya, orang kalau mati itu meninggalkan hutang, di sana (akhirat) tetap nggak enak. Mau kembali hidup sudah nggak bisa. Coba, gimana itu?”
“Di akhirat malah tambah stres ya.. hahaha..”
Selain wajah cemas para petani akibat hasil panen yang rusak, Negeri di Bawah Kabut juga menyajikan realitas ketika para petani dihadapkan dengan kegamangan kelanjutan generasi. Generasi anak-anak mereka dituntut zaman untuk bersekolah melalui pendidikan formal. Anak-anak lebih sibuk belajar kelompok dan les mata pelajaran, alih-alih mengasah keterampilan celurit dengan mencari rumput untuk pakan ternak.
Di sini, bocah kecil Arifin menjadi tokoh sentral. Arifin merupakan anak yang pintar di sekolah dasar. Akumulasi nilai Ujian Nasionalnya menjadi yang tertinggi di sekolah. Bapak si Arifin menjadi orang yang paling bangga sedunia. Betapa tidak, si bapak yang selalu menganggap dirinya bodoh memiliki harapan yang membuncah. Terbayang satu saat anak ini bisa memperbaiki harkat ekonomi keluarga. Guru Arifin di SD, yang membanggakan prestasinya, sampai meyakinkan sang bapak supaya Arifin masuk SMP Negeri. “Nanti ada Allah yang atur, asal sungguh-sungguh bertekad sekolah.”
Namun mimpi manis itu terbentur lagi dengan realitas getir. “Aku sungguh-sungguh mau menyekolahkan Arifin, aku hanya tidak punya uang.” Biaya seragam dan buku untuk masuk SMP Negeri mau tidak mau harus ditebus.
Di sini, sekali lagi fragmen Islam pegunungan muncul. Kehidupan warga Genikan yang lekat dengan ritual Islam tradisional seolah sudah mafhum, mengirimkan anak ke pesantren selepas mereka lulus SD adalah pilihan yang lebih masuk akal.
Terlihat dari tradisi sowan yang dilakukan oleh warga desa. Tampak bagaimana ketika warga desa sowan ke rumah salah satu Kiai. Mereka mengenakan pakaian terbaik, memakai peci, hanya untuk kemudian berlusuh-lusuh berdesakan menaiki mobil pick up bersama hasil bumi yang mereka panen di sawah.
Petuah sang Kiai kepada warga desa pun tidak muluk-muluk. Yang penting anak-anak mereka di rumah selalu diajari untuk shalat berjamaah dan membaca al-Quran. Itulah yang akan menjadi anak soleh yang amalnya tidak akan terputus.
Dalam konflik yang dialami keluarga Arifin, pesantren hadir sebagai alternatif. Betapa tidak, biaya masuk pesantren hanya seperlima dari uang masuk SMP negeri yang harus ditebus bapak Arifin. Belum lagi dengan uang iuran yang hanya sebesar 8.000 rupiah sebulan. Belum lagi dengan lazimnya tradisi pesantren yang memungkinkan mengganti uang bulanan dengan hasil bumi.
Apakah Arifin akan masuk SMP Negeri atau pesantren? Jawabannya bisa kalian temukan dengan menonton film Negeri di Bawah Kabut di YouTube.
Akhirul kalam, film dokumenter ini layak untuk ditonton. Selain untuk bisa memahami realitas gelap kehidupan petani, di luar dugaan, film ini mampu mempresentasikan keislaman yang dianut oleh masyarakat agraris pegunungan. Ada kalanya memang kita perlu menengok satu dari sekian banyak varian tradisi keislaman di Indonesia lewat film dokumenter semacam ini. Supaya kita memahami bahwa Islam yang telah berjalan di Indonesia ini adalah Islam yang jujur, dan membumi.