Pangan, Lahan, dan Petani: Warisan Ulama yang Harus Kita Jaga

Pangan, Lahan, dan Petani: Warisan Ulama yang Harus Kita Jaga

Hal ini harus kita jaga dengan sepenuh hati

Pangan, Lahan, dan Petani: Warisan Ulama yang Harus Kita Jaga

Tanggal 16 Oktober 2018 kemarin, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari pangan sedunia. Sejak tahun 1979, dunia memperingati hari pangan sedunia di setiap tanggal 16 Oktober karena menyesuaikan tanggal didirikannya Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah naungan PBB (FAO), yang didirikan tahun 1945. Tahun ini, Kalimantan Selatan dipilih sebagai tuan rumah peringatan Hari Pangan Sedunia. Berbagai persiapanpun dilakukan oleh pemerintah provinsi yang bekerja sama dengan beberapa pemerintah daerah. Desa Jejangkit, berjarak sekitar 35 km dari Banjarmasin, dipilih sebagai tempat perayaan Hari Pangan tersebut.

Baliho-baliho, spanduk hingga iklan tv pun menyuarakan acara yang rencananya dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo, walau pada akhirnya beliau membatalkan kedatangannya ke Kalimantan Selatan. Hampir setiap sudut jalan besar di kota Banjarmasin dan kantor-kantor pemerintahan juga terpasang spanduk untuk menyambut hari Pangan ini. Namun, sepanjang pengetahuan saya ada sebuah narasi yang hilang dalam setiap iklan visual tentang hari Pangan ini, baik berupa spanduk dan iklan tv yaitu hilangnya narasi petani dalam iklan tersebut.

Perayaan hari pangan yang diperingati dengan cukup ramai walau tidak dihadiri oleh Presiden, dari segi visual iklan menegasikan posisi petani dalam hari Pangan sedunia ini. Padahal, jika kita mau jujur petani adalah tulang punggung utama dalam ketersediaan pangan bagi masyarakat dunia, selain ketersediaan lahan. Jika peran petani hanya dianggap sebagai penyedia jasa dalam menggarap lahan untuk persediaan pangan, maka kita telah menyamakan petani hanya bagian dari mesin dari sebuah pabrik besar penyedia pangan. Ketika petani yang dianggap sebagai bagian dari mesin, maka hal yang terjadi adalah dehumanisasi atas diri para petani. Proses dehumanisasi dalam kehidupan modern sekarang ini adalah bagian dari revolusi industri yang ditandai dengan ditemukannya penemuan mesin-mesin.

Kehidupan manusia mengalami goncangan saat mesin-mesin yang ditemukan karena terjadi ledakan jumlah pengangguran karena peran manusia telah banyak digantikan oleh gerak mesin yang dimiliki oleh para pemodal. Oleh sebab itu, akhirnya kepemilikan mesin dianggap sebagai bagian dari kekuasaan atas nasib orang lain. Anggapan seperti inilah yang mengeluarkan manusia dari sisi kemanusiaan. Manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia, karena sering tidak diperlakukan secara adil walau itu berlawanan pada hati nurani dan welas asih yang ada dalam setiap manusia.

Perlakuan tersebut juga terjadi atas petani yang dianggap hanya bagian dari penyedia jasa yang akan mempersiapkan ketersediaan pangan yang diperlukan oleh manusia di atas muka bumi. Petani hanya dihitung dari angka berapa besar gabah yang dia hasilkan atau hasil pangan yang lain, mereka tidak dipandang sebagai pahlawan kemanusiaan yang telah menyelamatkan manusia dari kepunahan karena kekurangan pangan. Saya melihat perhitungan statistik selalu dipergunakan untuk menggejot produksi pangan di daerah. Produksi pangan dimaksimalkan karena kepanikan atas kekurangan pangan yang mengancam kehidupan manusia. Berdasarkan laporan FAO sendiri, dunia akan memerlukan suplai pangan 60% lebih besar disbanding sekarang. Negara sekelas Indonesia saja masih harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan beras di tanah air kita sendiri.

Ketakutan akan kekurangan pangan seharusnya bukan hanya diatasi dengan menyediakan lahan pertanian yang cukup, tapi juga petani yang bekerja dalam sektor pertanian pun harus disejahterakan. Petuah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang terkenal soal petani, “Petani itulah penolong negeri”, seharusnya jadi renungan bagi kita semua. Belum lagi krisis lahan juga seharusnya bisa menjadi peringatan bagi kita semua, kerakusan para pemodal terus memangsa lahan-lahan subur yang seharusnya bisa jadikan lahan penyedia bagi keperluan manusia dihancur untuk diambil sumber dayanya untuk dijual untuk memperkaya diri.

Bertepatan dengan hari Santri Nasional tahun 2018, Kalimantan Selatan mendapatkan kabar buruk karena keputusan PTUN tidak mengabulkan pencabutan izin penambangan, yang diperjuangkan oleh Walhi dan banyak elemen masyarakat Kalsel, di lahan terakhir di wilayah pegunungan Meratus. Jika penambangan benar-benar dilaksanakan, maka akan terjadi kerusakan di wilayah Meratus di Hulu Sungai Tengah, yang akan mengancam ekosistem Kejadian ini paradoks dengan perayaan pangan kemarin, yang berharap banyak pada Kalimantan Selatan dijadikan sebagai lumbung penyuplai terbesar nantinya untuk keperluan pangan nasional. Sedangkan banyak lahan yang dialihfungsikan dengan melahap lahan dengan kebijakan monokultur sehingga mengabaikan kelestarian dan keseimbangan alam.

Tutur doa dari Kyai Wahab Hasbullah, dalam doa pembuka Muktamar NU ke-25 di Surabaya, menegaskan “Mewarisi ‘bumi’ ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman, dan makmur, yang di dalam berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.” . Doa yang dibacakan oleh Kyai Wahab Hasbullah menjadi acuan yang baik bagi membangun peradaban dunia yang baik, di mana keseimbangan, keadilan, dan kebenaran akan memberikan kepada kita tempat kehidupan yang lebih baik, yaitu dunia yang bisa lepas dari kerusakan dan kehancuran lahan dan dehumanisasi manusia, termasuk petani. Jika ini benar-benar terwujud, maka dunia akan lepas kerusakan yang telah diberitakan oleh Sang Khalik adalah karena perilaku manusia sendiri.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin