Fenomena hoaks atau kabar bohong tidak muncul baru-baru ini. Jauh di masa nenek moyang manusia, Nabi Adam, fenomena ini sudah pernah muncul. Sejarah awal terjadinya hoax atau pemberitaan bohong pertama kali adalah yang sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-A‘raf ayat 20-21, yakni saat Nabi Adam dibujuk oleh setan untuk memakan buah khuldi. Setan mengatakan bahwa Allah hanya melarang mendekati pohon agar Nabi Adam dan Siti Hawa tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal di dalam surga.
Bahkan kemudian setan menggoda dengan mengucap sumpah dan mengatakan “sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu.” Setan menegaskan bahwa dirinya lebih dahulu di surga dari pada Nabi Adam, ia lebih tahu situasi dan kondisi tempat (surga) tersebut.
Singkat cerita Nabi Adam terbujuk oleh tipu rayu setan. Nabi Adam dan Siti Hawa kemudian memakan buah khuldi tersebut yang akibatnya aurat mereka berdua terbuka. Sehingga mereka berusaha untuk menutupi aurat tersebut dengan dedaunan surga yang didekatnya.
Mereka baru menyadari bahwa setan ternyata memberikan informasi yang tidak benar hingga Allah murka kepada mereka. Singkat cerita, Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi, dan dipisahkan selama bertahun-tahun. Pada saat saling mencari agar dapat bersatu kembali, mereka bertaubat kepada Allah dan menyesali kesalahan mereka karena tipu daya informasi yang menyesatkan dari setan.
Fenomena hoax tercatat juga dalam sejarah Islam awal, yakni pada masa Nabi Muhammad setelah diutus menjadi rasul. Pada zaman Nabi Muhammad, fenomena hoax bahkan sampai membuat gaduh baik kondisi umat Islam pada saat itu. Fenomena hoax yang dimaksud adalah berita hoax tentang tertuduhnya Siti ‘Aisyah yang telah berzina dengan ‘Abdullah bin ‘Ubay.
Kejadian ini terekam dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Kurang lebih artinya sebagai berikut:
Dari ‘Alqamah bin Waqqash dan ‘Ubaydullah bin ‘Abdullah tentang hadis ‘Aisyah, yakni ketika orang-orang yang menyebarkan berita bohong dan menuduhnya berzina, maka Allah menyatakan berita kesuciannya. Kemudian Nabi Muhammad berdiri dan meminta ‘Abdullah bin ‘Ubay menyatakan permohonan maaf. Lantas Usayd bin Khudhair berdiri dan mengatakan kepada Sa‘d bin ‘Ubadah: “Demi Allah, kami akan membunuhnya.”
Hadis tersebut muncul disaat kondisi sosial Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang menganut sistem patriarki, yakni para wanita banyak menghabiskan waktunya pada wilayah domestik. Sehingga para wanita cenderung tidak memiliki kebebasan untuk bersosialisasi. Jadi ketika ada seorang wanita yang meninggalkan rumah tidak bersama dengan mahram, hal tersebut otomatis dianggap tabu oleh masyarakat di zaman nabi.
Kejadian pemberitaan bohong ini merupakan kejadian yang sangat meresahkan Nabi Muhammad. Bahkan, beliau menunggu wahyu yang tidak kunjung turun untuk menjawab kejadian yang luar biasa tersebut.
Hingga pada akhirnya wahyu dari Allah turun kepada Nabi yang termaktub dalam Surat An-Nur ayat 11-20. Isi dari wahyu tersebut menjelaskan bahwa Siti ‘Aisyah dan orang yang dituduh bersamanya berbuat zina telah dibebaskan oleh Allah. Maksudnya adalah keduanya dibebaskan dari fitnah dan pemberitaan bohong yang menghebohkan dikala itu, karena memang kenyataannya mereka tidak bersalah (tidak berzina).