Nabi Muhammad tidak menunjuk langsung siapa sebagai pengganti beliau selaku kepala negara. Urusan penting semacam ini diserahkan pada musyawarah umat. Begitu juga mengenai sistem pemerintahannya maupun aturan tata negara dan administrasi negara semua diserahkan pada kesepakatan umat.
Bahkan kalau kita mau jujur, tidak ada satupun ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang secara tegas memerintahkan untuk mendirikan negara Islam. Yang ada adalah kewajiban mengikuti ulil amri: tapi bagaimana memilih, siapa yang dipilih, berapa lama ia berkuasa, apa bentuk kekuasaannya, dan bagaimana bentuk negara atau pemerintahannya, al-Qur’an tidak mengaturnya secara rinci.
Yang ada dalam literatur fiqh siyasah klasik adalah tarikhul muluk was salatin atau sejarah raja-raja dan sultan, dimana kemudian para ulama seperti Imam al-Mawardi merangkai serpihan sejarah dan petunjuk umum Nash menjadi doktrin fiqih siyasah.
Khilafah Usmani di Turki adalah kekhilafahan terakhir dalam Islam. Saat itu, semua penguasa di komunitas Islam mendapat “stempel” pengesyahan dari Turki. Jadi, seperti “Federasi” dengan negara-negara kecil dan Turki sebagai pusatnya. Negara-negara kecil itu sering di-supply oleh Turki baik dari sudut ekonomi maupun angkatan bersenjata. Lambat laun Turki “kedodoran” harus mengurusi semua itu, apalagi beberapa negara-negara kecil itu juga sedang berperang dengan negara barat yg ingin menjajah mereka. Turki tidak mungkin mengurusi semua problem itu.
Dalam kondisi seperti ini, pada tahun 1924 Mustafa Kemal berpidato: “Saya harus akui bahwa dalam kondisi seperti ini, jika mereka mengangkat saya sebagai Khalifah, saya akan langsung berhenti….mereka yang mendukung Khilafah universal sejauh ini menolak untuk memberikan bantuan kepada Turki. lantas apa yang mereka harapkan? Masak Turki sendirian yang menanggung beban ini!“.
Ketika Khilafah Usmani dibubarkan, para ulama di pelosok negeri terkejut dan mengecam Mustafa Kemal habis-habisan. Mereka menuduh Kemal dipengaruhi negara barat, Kemal sudah murtad, dan seterusnya. Namun kitapun bertanya-tanya: kenapa tidak ada pemimpin di negara Islam lainnya yang kemudian mengambil alih tanggungjawab ke-khilafah-an tersebut? Kenapa pemimpin Islam lainnya cuma mengecam dan tidak ada yang mengambil alih ke-khilafah-an itu?
Pertama, mereka sadar bahwa mengurus negeri mereka saja, mereka sudah setengah mati kepayahan. Masak mau ngurusin orang lain. Pada tahun 1924 itu ekonomi dunia juga belum sebaik sekarang. Teknologi dan transportasi belum secanggih sekarang. Komunikasi antar negara-negara Islam masih memakai jalur tradisional. Indonesia pun belum merdeka saat itu. Nahdlatul Ulama baru berdiri dua tahun setelah khilafah bubar.
Kedua, para ulama Mesir berinisiatif membuat semacam Muktamar Dunia Islam tahun 1926 Sebagian ingin agar Raja Fuad (Mesir) dipilih menjadi khalifah. Namun Fuad menolak pencalonannya itu. Raja Husain dari Yordania kemudian mengirim telegram yg menyatakan dirinya sebagai khalifah, dan ia tidak mau mengakui orang lain sebagai khalifah.
Syaukat Ali, seorang ulama besar India, menulis bahwa ia tetap mengakui bahwa Sultan Abdul Majid (khalifah yang dibubarkan oleh Kemal) sebagai khalifah yang sah. Tentu saja ulama lain dan penguasa negeri lain menolak klaim Raja Husain dan Syaukat Ali tersebut. Muktamar akhirnya gagal mencapai kata sepakat dan Syaikh adh-Dhawahiri membubarkan acara tersebut. Dan layar pun tertutup menutup episode khilafah ini.
Untuk itu, meskipun dalam teori fiqh siyasah klasik seorang khalifah bisa dibai’at oleh 5 orang saja, dalam kenyataannya sulit sekali menjadi khalifah saat ini, dalam arti menjadi pemimpin seluruh negara Islam. Beban ekonomi yang harus ditanggung begitu besar. Belum lagi, beranekaragam mazhab, kepentingan, organisasi, partai dalam tubuh ummat Islam yg menghalangi itu semua. Jadi, sebelum terburu-buru menyalahkan politik barat yang konon ingin menghancurkan Islam, kita introspeksi
saja kondisi ummat kita sendiri.
Bagaimana soal kondisi ummat pasca-khilafah? Yang ada sekarang ialah negara-negara Islam yang dilandasi oleh nasionalisme Islam (Qaumiyah Islamiyah), yaitu negara nasional di mana Islam dijadikan sebagai agama resmi. Saudi Arabia, Mesir dan Pakistan misalnya, adalah negara nasional yang menjadikan Islam sebagai agama resminya. Kenyataan demikian ini (adanya beberapa negara nasional Islam, ad-Duwal al-Islamiyah al-Qaumiyah) membawa kita kepada dinamika Fiqih Siyasah yang amat dinamis.
Bentuk Kerajaan yang digunakan Saudi Arabia, berbeda dengan sistem yang dianut di Pakistan. Malaysia yang menganut sistem parlementer dengan Perdana Menteri berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem presidensil yang dipimpin oleh presiden. Beda sistem, tentu beda pula cara memilih pemimpinnya. Walhasil Konstitusi dalam negara-negara Islam juga berbeda-beda isinya. Semua memilih bentuk kenegaraan yang paling maslahat untuk warga negaranya.
Di sini terjadi ketimpangan antara literatur fiqih siyasah klasik dengan perkembangan negara modern di dunia Islam. Literatur klasik masih bicara hal-hal seperti darul Islam, darul harbi, kafir dhimmi, kafir harbi, ba’iat, dan seterusnya padahal konsep khilafah telah berganti menjadi negara-bangsa, kategori kafir dhimmi berganti konsep kewarganegaraan, dan konsep ba’iat sudah diperluas dalam sistem pemilu yang berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya.
Banyak yang alpa bahwa pada jaman dinasti umayyah dan abbasiyah itu tidak ada sistem pemilu seperti sekarang. Yang ada sistem kekeluargaan turun temurun mirip Saudi Arabia. Itu konteksnya para ulama membahas pengangkatan mereka yang tidak kompeten atau tidak taat (fasiq) sebagai khalifah. Ya karena kadung sudah diangkat maka ulama bilang gak apa-apa lah daripada gak ada pemimpin. Yang penting jangan ada pemberontakan pada pemimpin yang sudah diangkat secara sah.
Ini tentu tidak cocok kalau dikaitkan ke jaman sekarang: biar saja gak kompeten, gak taat asalkan dia muslim ya kita terima saja sebagai pemimpin. Sekarang ada sistem pemilu dimana rakyat punya pilihan ya tentu saja beda konteksnya. Pemimpin sekarang bukan ditunjuk atas dasar nasab seperti jaman khilafah abbasiyah tapi dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat berhak mendapat yang terbaik.
Pemisahan kekuasaan juga sudah terjadi, kalau dulu Khalifah menjadi pusat kekuasaan, sekarang kekuasaan sudah dipecah menjadi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Ada mekanisme checks and balances di antara ketiga lembaga pemerintahan. Begitu juga masa jabatan pemimpin dibatasi di sejumlah negara serta presiden pun bisa di-impeach –sesuatu yang tidak ada presedennya di masa khilafah.
Inilah potret situasi umat saat ini. Sudah selayaknya teks literatur fiqih siyasah diperbarui dan diupdate sesuai perkembangan zaman agar kita tidak kebingungan menjawab berbagai persoalan kenegaraan saat ini dengan merujuk pada literatur klasik yang dipengaruhi oleh situasi tempo doeloe.
Mari kita ambil literatur lama yang masih relevan dengan kondisi sekarang dan menulis literatur baru yang lebih pas dengan kondisi politik umat saat ini. Maka kita akan lebih dinamis menjawab persoalan seperti syarat kepemimpinan, metode pemilihan, wewenang pemerintah, dan lainnya tidak semata-mata merujuk pada literatur fiqih siyasah klasik tetapi juga pada literatur modern tentang Konstitusi dan Sistem Pemerintahan.
Inilah sebabnya Nahdlatul Ulama menganggap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk final. Tidak perlu ada upaya mengganti NKRI menjadi darul Islam atau sistem khilafah. Inilah ijtihad modern para ulama NU yang luar biasa.
Selengkapnya, klik di sini