“Jadilah manusia yang terbaik di hadapan Allah
Jadilah manusia yang paling hina di hadapan diri sendiri
Jadilah manusia biasa di hadapan manusia lainya”
Ummat Islam tentu sangat familiar dengan tokoh sahabat yang bernama Ali bin Abi Thalib, ia mendapat dua takdir istimewa dari Allah SWT, pertama ia ditakdirkan sebagai putra dari Paman Nabi, Abu Thalib, otomatis ia adalah sepupu Nabi, dan yang kedua Ia juga ditakdirkan sebagai menantu Nabi, Suami dari Fatimah Azzahra.
Ali bin Abi Thalib juga dikenal sebagai Assābiqūnal Awwalūn, sebuah predikat yang disematkan bagi mereka yang kokoh memeluk Islam diawal wahyu kenabian, dan Ali adalah yang paling muda, pada umur tujuh tahun. Bahkan karena ketokohanya, Ali memiliki banyak julukan, antara lain Amīrul Mukminin (pemempin orang beriman), Amīrul Barārah (pemimpin orang baik), syaifullah (pedang Allah), dan banyak lainya.
Karena ketokohan Ali dan pengalamnya belajar Islam sejak kecil yang berguru langsung ke Rasulullah, Ali memberikan banyak nasehat bagi ummat manunsia, yang tercatat dalam berbagai literasi, antara lain tiga nasehat yang ditulis dalam kitab “Al-isti’dād liyaumil ma’ād” karya Ibnu Hajar Al-‘asqalani dan kitab “Nasāihul ‘Ibad” karya Syaikh Nawawi Banten.
Pertama, kun ‘inda-Allahi khairan-nās, jadilah manusia yang terbaik di hadapan Allah, dengar artian, bahwa orang beriman harus senantiasa konsisten dengan keimananya, dengan menunjukkan ibadah dan penghambaan kepada Allah yang terbaik. Serta dengan sungguh meyakini bahwa tugas sejati manusia adalah beribadah kepada sang pencipta Allah SWT (QS 51:56).
Memaknai nasehat Ali yang pertama ini, setiap manusia akan lebih mudah dalam menjalani kehidupan di dunia, tidak perlu pusing memikirkan citra di hadapan manusia lainya, karena kebaikanya hanya ingin ditunjukkan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia lain.
Kedua, kun ‘indan-nafsi syarran-nās, jadilah manusia yang paling hina di hadapan dirimu sendiri, maknanya bahwa setiap menusia diminta untuk senantiasa mawas diri serta mampu menilai dirinya sendiri, sejauh mana kelemahan yang ada pada dirinya.
Dalam terminologi lain, Ali mengajak ummat manusia untuk selalu beristighfar, memohon ampun kepada Allah, merasa bahwa dirinya masih banyak kekurangan, karena dengan istighfar Allah akan melimpahkan berkah dan kemudahan dalam berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia (QS 71:10-12).
Relefansinya, manusia yang mampu menilai dirinya sendiri dan seraya ber-istighfar, pasti akan mempersiapkan kehidupan yang akan datang dengan persiapan yang lebih matang, karena ia telah mencatat kesalahan yang telah lampau dan berupaya memperbaiki diri untuk kehidupan mendatang, sehingga tidak akan jatuh dalam lubang kesalahan yang sama.
Ketiga, kun ‘indan-nāsi rojulan minan-nāsi, jadilah manusia biasa di hadapan manusia lainya. Islam sungguh menakankan prinsip kemanusian, dan menempatkan semua golongan manusia pada posisi yang sejajar dalam kehidupan sosial dunia, tanpa perbedaan apapun. Kemulian manusia hanya dinilai oleh Allah dari ketaatan manusia tersebut kepada-Nya (QS 49:13), dan manusia tidak bisa memberikan penilaian tersebut terhadap sesame manusia.
Nasihat Ali yang ketiga ini adalah inti daripada prinsip sosialisme, bahwa setiap manusia, apapun jabatanya dan seberapa besar kekayaanya, harus tetap menempatkan diri sebagai manusia biasa, dan tidak berjalan atau duduk lebih tinggi dibanding manusia lainya (QS 25:63).
Kontekstualnya, Ali menekankan kepada manusia unutuk tidak memproduksi kesombongan dalam dirinya. Dalam sejarah, manusia seringkali terjerumus dalam sifat sombong yang justru menjadi malapetaka bagi karir kehidupan di dunia.
Dengan memaknai dan mempraktekkan tiga nasihat Ali bin Abi Thalib diatas, besar kemungkinan manusia akan selamat dalam mengarungi bahtera kehidupan. (AN)
Wallahu A’lam.