Ziarah ke Makam Raja Ali Haji: Pengarang Gurindam 12 dan Raja-Raja Melayu

Ziarah ke Makam Raja Ali Haji: Pengarang Gurindam 12 dan Raja-Raja Melayu

Ziarah ke Makam Raja Ali Haji: Pengarang Gurindam 12 dan Raja-Raja Melayu

Mentari pagi menyingsing malu-malu di ufuk timur, menebarkan lembayung jingga yang lembut di atas cakrawala. Udara masih sejuk, bercampur aroma tanah basah dan embun pagi yang menempel di dedaunan. Di dalam kendaraan, hati berdebar-debar, bukan sekadar karena perjalanan menuju sebuah Pelabuhan, tetapi karena kerinduan yang telah lama terpendam untuk menziarahi makam-makam para leluhur di Pulau Penyengat.

Delapan puluh ribu rupiah untuk penyeberangan terasa tak berarti dibandingkan dengan kekayaan spiritual dan sejarah yang akan saya temukan. Perjalanan ini bukan sekadar wisata, melainkan ziarah, sebuah perjumpaan dengan para pendahulu yang agung. Semangat membuncah, siap untuk menguak lembaran-lembaran kisah yang tersimpan rapi di balik setiap batu nisan dan bangunan tua di Pulau Penyengat.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, saya bersama rombongan tiba di Pelabuhan Punggur. Suara ombak yang berdebur dan aroma laut yang segar menyambut kedatangan saya. Agar mendapatkan waktu yang lebih lama, kami membeli tiket pagi dan bersiap untuk menyeberang ke Tanjung Pinang. Setibanya di pelabuhan Tanjung Pinang, kami melangkah keluar dan berjalan sekitar 300 meter menuju pelabuhan khusus yang akan membawa kaki ke Pulau Penyengat. Di sinilah, kami merasakan getaran sejarah yang kuat, seolah pulau ini menyimpan banyak cerita yang menunggu untuk diungkap.

Setelah menempuh perjalanan singkat dengan kapal, saya akhirnya tiba di Pulau Penyengat. Begitu menginjakkan kaki di pulau ini, saya disambut oleh suasana tenang dan damai. Langit biru yang cerah dan angin sepoi-sepoi menambah keindahan pulau ini. Saya langsung menuju makam-makam yang menjadi tujuan utama ziarah saya.

Makam pertama yang saya kunjungi adalah makam Raja Hamidah binti Raja Haji fi Sabilillah. Beliau adalah putri dari Raja Haji, seorang pahlawan yang dikenal karena perjuangannya melawan penjajahan Belanda. Raja Haji adalah sosok yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Melayu, dan putrinya, Raja Hamidah, juga dikenal sebagai seorang yang berpengaruh dalam sejarah Kesultanan Riau.

Engku Puteri, begitulah namanya sering disebut, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sejarah politik di Kesultanan Riau-Lingga, karena beliaulah pemegang regalia kerajaan yang diamanahkan oleh suaminya, Raja Mahmud (Sultan Mahmudsyah, Sultan Riau III).

Selanjutnya, kami kami melangkah melanjutkan perjalanan menuju makam Raja Ali Haji, seorang sastrawan dan Pahlawan Nasional yang terkenal dengan karya monumentalnya, “Gurindam 12”. Karya ini bukan hanya sekadar puisi, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral dan etika yang sangat penting bagi masyarakat Melayu.

Bagi siswa yang belajar bahasa Indonesia, pasti tidak asing dengan istilah ‘gurindam’. Karya ini terdiri dari 12 pasal yang masing-masing berisi dua bait, dengan tema utama tentang moralitas, etika, dan panduan hidup. Gurindam ini mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta menekankan pentingnya akhlak yang baik dalam interaksi sosial. Melalui bahasa yang puitis dan penuh makna, Gurindam 12 menjadi salah satu warisan sastra penting dalam budaya Melayu yang masih relevan hingga saat ini.

Dalam buku “Naik Haji di Masa Silam” karya Henry Chambert Loir, saya pernah membaca catatan perjalanan Raja Ali Haji saat menunaikan ibadah haji. Betapa mengesankannya bisa berdiri di depan makam seorang tokoh yang telah memberikan kontribusi besar bagi kebudayaan dan sastra Melayu.

Selain makam Raja Ali Haji, kami juga mengunjungi makam Raja Abdurrahman dan Raja Jakfar. Kedua raja ini memiliki peran penting dalam sejarah Kesultanan Riau.

Setelah menziarahi makam-makam tersebut, saya merasa terhubung dengan sejarah dan budaya yang telah membentuk identitas masyarakat Melayu. Namun, perjalanan ini tidak hanya tentang ziarah, tetapi juga tentang eksplorasi. Saya memutuskan untuk berfoto-foto di rumah adat Melayu yang ada di pulau ini. Rumah-rumah tersebut, dengan arsitektur yang khas, menjadi saksi bisu perjalanan waktu dan budaya yang kaya.

Untuk mencapai makam-makam tersebut, saya harus mengeluarkan tenaga dan waktu. Jarak yang cukup jauh membuat saya berpikir untuk menyewa bentor, sebuah kendaraan tradisional yang umum digunakan di pulau ini. Dengan tarif 10.000 per orang, bentor menjadi pilihan yang tepat untuk menghemat tenaga dan menikmati perjalanan dengan lebih santai.

Setelah seharian berkeliling, saya merasa puas dan terinspirasi. Pulau Penyengat bukan hanya sekadar destinasi wisata, tetapi juga tempat yang sarat dengan nilai-nilai sejarah dan spiritual. Setiap langkah yang saya ambil di pulau ini seolah membawa saya lebih dekat kepada akar budaya dan sejarah bangsa.

(AN)