Internet dan media sosial sekarang menjelma sebagai dunia kedua bagi masyarakat, di mana hampir seluruh sendi kehidupan tersedia di sana. Agama Islam juga tersedia dengan berbagai media, model, bentuk hingga ajaran di internet dan media sosial. Bagaimana model Islam yang hadir di media sosial atau internet? pertanyaan ini mengulik sesuatu yang mungkin tidak kita sadari, bahwa pengetahuan Islam yang kita konsumsi selama ini sedikit banyak kadang bersumber dari aplikasi media sosial mengandung perubahan yang cukup mendasar.
Coba kita buka lagi beberapa pesan masuk di Whatsapp atau linimasa Facebook, Twitter atau Instagram milik kita, ada berapa pesan atau status, baik berupa video, meme, status, yang berkaitan dengan Islam. Dalam kehidupan di dunia nyata bisa saja kalah dari sisi jumlah perjumpaan kita dengan Islam dibanding irisan kehidupan di dunia maya.
Ceramah di Youtube atau Instagram hingga meme soal keislaman di Twitter atau Facebook terus menghiasi linimasa kita setiap mengecek akun media sosial. Namun jika kita kembali ke pertanyaan di atas, Islam hadir di dunia maya tidak hanya soal ajaran tapi banyak hal yang mengitarinya selain persoalan halal-haram apalagi dalil. Politik, ekonomi dan sosial turut mewarnai tampilan Islam di dunia maya, bahkan persoalan remeh temeh seperti Oppa (istilah populer di kalangan penggemar drama korea) hingga perjuangan emak-emak di Pilpres kemarin.
Dalam kajian internet, dikenal lema “prosuming” (berasal dari kata pro or consuming) yang merujuk pada model produksi informasi di dunia maya. Di mana siapa saja di dunia maya akan berlaku menjadi produsen sekaligus konsumen aktif, atau setiap pengguna dunia maya atau media sosial dengan sangat mudah dan bebas merangkap profesi menjadi produsen setiap konten. Dalam kondisi inilah, seorang anak muda dengan kemampuan edit video dan konten foto juga memiliki ilmu keislaman walau sedikit, dengan sangat mudah mendaku atau didaulat oleh para “viewers” atau “followers”nya sebagai muslim creative content (baca: penceramah/ustadz). Beberapa akun seperti @munawwirmauliddin, @shifruun, @hawariyyun, @fuadbakh, atau @alibaharsyah_ adalah para pemuda yang populer dengan dengan status mereka sebagai pendakwah nilai dan ajaran Islam.
Instagram dan Youtube adalah aplikasi paling diminati oleh remaja dan kalangan dewasa yang sedang menjalani proses “hijrah”. Dengan bantuan sedikit “sulap” algoritma, akun kita bisa terhubung dengan akun para pendakwah muda tersebut dan kemudian mengkonsumsi “dakwah” mereka. Walau masih diisi dengan konten atau isi pesan ala anak muda. Kebanyakan mereka bernaung di bawah nilai etis muslim yaitu “sampaikan kepadaku walau satu ayat”, dengan mengandalkan nilai ini pula mereka melibas hampir semua isu hangat di ranah sosial, politik, hingga ekonomi yang pasti juga bersentuhan dengan umat Islam.
Akhirnya, Islam di tangan para pendakwah muda tersebut, disadari atau tidak, dibungkus dengan budaya pop. Yaitu budaya yang di luar arus utama dari sebuah budaya. Arus utama dari Islam di Indonesia adalah aliran moderat dan tradisionalis, sekarang coba didobrak dengan masuk ide-ide baru dan menarik bagi anak muda seperti isu drama korea vs Islam, emak-emak di ranah politik, dan hijrah ala ustadz gaul.
Isu qunut, haul, ziarah kubur, kiriman al-Fatihah, hingga jumlah rakaat tarawih hilang dari peredaran karena warna Islam yang muncul di ranah digital tidak meminati perdebatan “kuno” tersebut. Sekarang, wacana “hijrah” beserta kajian di Masjid hingga hotel mewah lebih diminati ketimbang pengajian membuka kitab klasik ala pengajian di kampung. Situasi ini menurut Manuel Castell dalam buku Network of Outrage and Hope Social Movement in the Internet Age adalah bagian dari respon masyarakat dari kemuraman modernitas yang melanda semua orang hingga anak muda sekalipun. Kehidupan yang selalu dihadapkan dengan ketidakpastian, menghasilkan tawaran jalan keluar dari persoalan tersebut tentu akan diserbu oleh masyarakat. Jika agama tidak dibungkus dengan hal tersebut juga akan diabaikan oleh penganutnya, walau secara identitas mereka masih memeluknya.
Oleh sebab itu, perdebatan khilafiyah dalam agama tidak lagi menarik bagi masyarakat karena tidak menyelesaikan persoalan kemuraman modernitas. Seperti, ketiadaan jaminan masa depan yang cerah, lapangan pekerjaan yang semakin sempit, perekonomian yang semakin sulit dan lain-lain. Dalam situasi inilah, gerakan “hijrah” muncul di permukaan perbincangan Islam di dunia digital sebagai garda terdepan dan simbol dari solusi permasalahan di atas.
Gerakan Hijrah ini memang belum terkonsolidasi dalam satu gerakan besar, tapi telah berhasil menyatukan suara dan pencarian akan harapan dengan jumlah sangat besar, hingga melintas batas akan ideologi, ajaran hingga mazhab dalam Islam. Dalam hal ini, saya meminjam perumpamaan yang disebut oleh Ariel Heryanto, gerakan hijrah tersebut adalah bukti bagaimana umat sekarang mencoba merumuskan kembali keislaman mereka sesuai dengan perkembangan zaman, terutama agar bisa menjadi jawaban atas kemuraman modernitas.
Gerakan seperti ini, menurut Castell, menyebar dengan menulari artikulasi Islam di dunia maya dengan memanfaatkan kecepatan internet dan viral melalui imaji dan ide. Perbincangan Islam di kalangan umat turut berubah, seperti perdebatan soal qunut diabaikan karena tidak menyentuh persoalan akar kehidupan umat saat ini. Solusi yang ditawarkan tidak lagi bersifat makro seperti ekonomi Islam atau pendidikan Akhlak, tapi jargon dan ide soal “Tinggalkan Riba”, “Halalkan Aku”, “Indonesia Tanpa Pacaran”, “Bakar Semua Foto Oppa” dan masih banyak lagi lebih diminati, selain karena lebih aplikatif di lapangan juga bisa dianggap lebih menenangkan hati pribadi. Ketimbang tawaran solusi makro yang memusingkan dan tidak mudah dijalankan secara personal, model kesalehan pribadi tentu lebih disukai seperti jargon di atas tentu lebih diminati.
Saat umat mencari dan merumuskan kembali identitas keislaman mereka sendiri, maka otoritas yang masih berbicara persoalan secara makro dan universal dengan sendirinya akan kurang diminati. Jadi, kematian kepakaran yang dirumuskan oleh Tom Nichols pasti dihadapi oleh otoritas keilmuan Islam karena kelindan antara “prosuming” dan pencarian identitas keislaman atas kondisi kemuraman modernitas, akhirnya umat digiring untuk lebih mengkonsumsi seorang konten kreatif ketimbang ulama yang mengajarkan Islam lebih mendalam dan mendamaikan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin