Konflik lahan seperti yang terjadi di desa Wadas, Purworejo, Jawa tengah adalah satu dari sekian banyak kasus di Indonesia. Permasalahan itu berkutat bukan hanya tegangan satu masyarakat vis a vis kelompok masyarakat lainnya (konflik horisontal), tetapi terkadang juga melibatkan pemerintah daerah sampai ke pusat (konflik vertikal)
Warga desa Wadas Purworejo Jawa tengah sedang berjuang mati-matian guna mempertahankan tanah mereka dari rencana ancaman pertambangan batu andesit. Pertambangan ini digadang-gadang akan menyokong pembangunan infrastruktur lain berupa pembangunan bendungan Bener.
Ke depan, bendungan Bener diproyeksikan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia yang diasumsikan akan menggenjot pertumbuhan ekonomi dari berbagai aspek, disinilah konflik berkembang menjadi multidimensi yang juga semakin memperhadapkan kepentingan-kepentingan tertentu dengan keberlangsungan hidup masyarakat Wadas.
Aroma beberapa kepentingan atas nama pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi di asumsikan ikut menyertai beberapa proyek besar pemerintah. Dalam hal ini mau tidak mau masyarakat sipil yang mendapat dampaknya.
Telaah mengenai persoalan konflik lahan dalam Islam sudah sejak lama didengungkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Hal ini termaktub dalam kitab shohih muslim, sebuah hadits yang di riwayatkan oleh sahabat Said bin Zaid pada masa pemerintahan Marwan bin Hakam. Beliau pada saat itu menjabat sebagai khalifah Dinasti Umayyah.
“Barang siapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (H.R. Muslim)
Periwayatan hadits tersebut di latar belakangi dari kisah Zaid bin Sa’id yang mengalami sengketa tanah sebagai seorang perempuan bernama Arwa bin Uways kemudian mengadukan kasus ini kepada sang khalifah, karena merasa haknya diambil oleh Arwa binti Uways, Said bin Zaid sampai mengucapkan kutukan bahwa jika memang benar haknya diambil, “semoga Allah Membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya”, yang kemudian terkabul: Arwa binti Uways buta di sisa hidupnya sampai meninggal.
Misi dakwah Islam tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Allah SWT saja, melainkan menyeluruh sampai ke semua lini kehidupan sosial. Pun, persoalan agraria. Ini tercermin dari pergerakan sosial, kebijakan, kritik terhadap kebijakan hingga pembentukan persepsi melalui pemikiran-pemikiran ulama sampai menciptakan sebuah konsensus bersama (ijma’).
Dalam buku berjudul Islam dan Agraria karangan Gita Anggraini, disebutkan bahwa terdapat upaya-upaya dalam mengatasi ketidakadilan agraria, sebagaimana berikut:
Masa Nabi Muhammad SAW
Seiring dengan Jumlah umat Islam terus bertambah besar sehingga wilayah pun terus bertambah lebar. Dengan kondisi yang demikian Nabi Muhammad SAW membuat beberapa kebijakan untuk memperbaiki ekonomi umat Islam. Pertama dengan pemberian tanah dari tanah terlantar, kedua dengan membuka tanah untuk kepentingan umum (Hima’).
Masa sahabat Abu Bakar Asshiddiq RA
Suatu hari, sahabat Umar bin Khattab mengkritik dan mencegah kebijakan Abu Bakar ketika menuliskan surat pengaplingan tanah kepada Thalhah bin Ubaidillah, keputusan tersebut dinilai tidak tepat lantaran terus bertambahnya umat Islam dan pemberian tanah dalam ukuran luas yang besar adalah bentuk ketidakadilan. Hal serupa juga terjadi pada Uyainah bin Hisn, lantas tanah yang akan di berikan kepada dua sahabat tersebut, ditetapkan menjadi hima’ dengan menugaskan bekas budaknya, Abu Salamah untuk mengurusnya.
Masa sahabat Umar bin Khattab
Pada masa kekhalifahannya, Umar berinisiatif agar menyiasati agar kemiskinan tidak terjadi dengan menyewakan tanah kepada orang yang menanaminya dengan mendapat sebagian hasil dari panen, lalu sebagian lagi menjadi milik Baitul Mal. Khalifah Umar juga menetapkan peraturan pengelolaan lahan mati sebagai cara mendapatkan hak milik.
Masa sahabat Utsman bin Affan
Upaya khalifah Utsman dalam reforma agraria terlihat dari pembelian sumur yang diprivatisasi oleh seorang Yahudi yang kikir, padahal saat itu kondisi masyarakat Madinah sedang kesulitan air, sehingga bisa di jadikan milik bersama dan bisa dimanfaatkan seluruh kaum muslim pada saat itu.
Masa sahabat Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali memindahkan ibu kota ke Kufah dalam rangka memperkuat ekonomi yang kurang menggeliat pada masa khalifah Utsman bin Affan. Sang Khalifah juga membagikan secara rata harta fa’i (harta benda yang dihasilkan Islam tanpa melalui peperangan).
Masa Kekhalifahan Umayyah
Kebijakan pada masa Dinasti Umayyah yang cukup signifikan dalam persoalan reforma agraria adalah memperbarui sistem pengelolaan lahan mati / tanah kosong (ihyaul mawat) yaitu dengan di perkenankannya pendirian bangunan di atasnya, bukan hanya pengairan dan penanaman saja. Selain itu juga perbaikan sarana dan prasarana irigasi yang cukup signifikan.
Masa kekhalifahan Abbasiyah
Al-Mawardi sebagai salah satu Khalifah pada masa dinasti Abbasiyah mempunyai kebijakan-kebijakan seperti menghidupkan lahan mati (ihyaul mawat) secara besar-besaran. Lahan mati menurut Imam Hanafi adalah lahan yang jauh dari air. Menetapkan kebermanfaatan lahan hima’ secara komunal dan bukan hanya muslim saja. Pemberian tambahan dengan hak milik dan hak pakai, pemberian tanah dengan status hak milik dilakukan atas tanah mati, pemberian dengan status hak pakai dapat dilakukan terhadap tanah zakat dan tanah pajak.
Islam sudah mengatur bahwasanya tanah, air dan energi untuk semua manusia dan bukan hanya millik segelintir orang saja (privatisasi). Keadilan Agraria bukan hanya menyoal kehidupan Kemarin dan sekarang, lebih dari untuk kemashalatan hari esok dan yang akan datang.
Seyogyanya, kaidah “kebijakan pemimpin harus disandarkan pada kemaslahatan rakyatnya” harus dipegang teguh, bukan malah terdistorsi dengan titipan kepentingan-kepentingan yang justru berimbas buruk terhadap masyarakat, tak terkecuali warga desa Wadas Purworejo Jawa tengah.