Pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi menjadi UU TPKS pada 12 April 2022 merupakan momentum kebangkitan perempuan sekaligus menjadi hari bersejarah bagi kaum perempuan Indonesia, baik untuk perempuan secara umum maupun para aktivis perempuan secara khusus. Meskipun mengalami penundaan dan terkesan berlarut-larut dalam menetapakannya, UU TPKS lahir sebagai perwujudan negara dalam menjaga dan membela hak dan martabat kaum permpuan. Artinya, UU TPKS bentuk nyata bahwa negara menjamin dan melindungi kaum perempuan dari kekerasan seksual.
Jika dicermati, setidaknya ada tiga aturan pokok dalam UU TPKS, Pertama adalah pemberian dana bantuan kepada korban kekerasan seksual; Kedua, aturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik; Ketiga, perlindungan dan penanganan khusus bagi difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Dalam undang-undang ini pun dijelaskan sembilan jenis kekerasan seksual, sebagaimana merujuk pada Pasal 4 ayat 1, yaitu: pelecehan seksual fisik; pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; eksploitasi seksual; pemaksaan perkawinan; dan perbudakan seksual.
Sedangkan dalam ayat selanjutnya, Pasal 4 ayat 2 menjelaskan bentuk kekerasan seksual lainnya, yaitu: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat isi UU TPKS, secara keseluruhan berbicara perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Meskipun tampak ironis, mengingat gema gerakan kesetaraan gender sudah sering terdengar gaungnya dari para aktivis gender, namun baru saat ini bisa terwujud.
UU TPKS juga sebagai warning bagi kaum perempuan, bahwa diskriminasi, marjinalisasi dan subordinasi kaum perempuan, masih terjadi. Padahal Al-Qur’an yang menjadi landasan pokok aktivis gender sangat anti dan membenci segala tindakan yang merugikan orang lain.
Berkenaan dengan UU TPKS, Al-Quran sudah lebih dulu menawarkan sekaligus mewajibkan aturan yang menjamin kesalamatan kaum perempuan, seperti QS. Al-Isra’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Redaksi “jangan mendekati” terlihat sederhana dan tidak menyimpan sebuah ancaman, tetapi jika diperhatikan makna yang lebih luas, betapa perbuatan zina sangat berbahaya, sehingga mendekat saja dilarang. Al-Qur’an maupun UU TPKS memiliki semangat yang sama, yaitu agar perempuan tidak menjadi korban pelecehan seksual, dengan kata lain agar perempuan menjadi manusia seutuhnya.
Setiap undang-undang memiliki potnesi sekaligus tantangan. UU TPKS menjadi harapan bersama agar perempuan hidup tanpa rasa takut dan terbebas dari ancaman kekerasan seksual. Di samping itu, pelaku kejahatan pun jadi berfikir seribu kali untuk melakukan aksinya. Pontensi ini lah yang perlu dikawal agar penerapannya bukan sebatas menindak pelaku kekerasan tetapi sebagai pencegah terjadinya pelecehan seksual.
Kita tentu perlu mengapresiasi para aktivis yang berjuang dalam mengawal hingga UU TPKS ini dilegalkan. Sebuah jariyah yang akan terus memberi efek positif pada generasi berikutnya khususnya kalangan perempuan, karena pada akhirnya perempuan sendiri yang berjuang membela hak-haknya dan menjaga kemanusiannya.
Apresiasi juga perlu kita sematkan kepada pemerintah yang telah menformalkan UU TPKS ini, sehingga kegerahan terhadap sikap acuh negara pada kekerasan seksual sedikit terobati. Padahal sebenarnya sudah sangat lama para aktivis perempuan menginginkan kesamaan hak dan derajat pada ranah sosial, sekaligus mendambakan keadilan hukum serta harapan agar ada lagi kekerasan yang dialami perempuan di masa depan.
Ini adalah tugas bersama: pemerintah, kaum perempuan, kaum laki-laki, dan setiap organisasi kemasyarakatan agar selalu peka dan turut mengawal implementasi UU TPKS. Mengingat undang-undang ini adalah payung hukum satu-satunya bagi korban kekerasan seksual agar mendapatkan keadilan hukum, juga sebagai jaminan bagi perempuan dari segala upaya tindakan kejahatan seksual.