Memasuki minggu terakhir bulan Desember, timeline media sosial saya sudah mulai dipenuhi dengan peringatan reguler tahunan: jangan merayakan hari ibu, itu bid’ah; hindari pengucapan selamat natal karena dapat merusak akidah; tolak pesta tahun baru sebab banyak menimbulkan fitnah. Itu terus, dan rutin sekali dikoar-koarkan.
Lucunya, orang-orang yang ramai memberikan peringatan justru hanya bermodalkan screenshot postingan Instagram atau hasil copy paste dari pesan broadcast grup WhatsApp yang kerap kali tidak diverifikasi dulu kebenarannya: apakah benar ustadz tersebut menyampaikan provokasi demikian. Seperti baru-baru ini terjadi pada Aa Gym yang mengklarifikasi bahwa pesan larangan pengucapan yang beredar di WhatsApp bukan berasal dari dirinya.
Yang menarik, dibandingkan ulama dengan pengalaman belajar ilmu keagamaan bertahun-tahun, netizen sumbu pendek justru lebih agresif dan provokatif untuk persoalan wanti-mewanti. Padahal, sebagian besar dari mereka baru sebatas “nyantri dari mbah Google” atau ikut kajian yang pembahasannya hanya dari satu sudut pandang saja.
Melancong ke Timur Tengah yang warganya lebih santai dalam menyikapi perayaan natal hingga tahun baru juga belum pernah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tahu kalau Grand Syekh Al-Azhar mengucapkan selamat natal pada Paus Fransiskus. Mungkin ulama tersebut bisa dilabeli kurang iman, kali ya?
Fenomena semacam ini mengingatkan saya pada analisis mantan presiden Soekarno terkait mengapa umat islam mengalami kemunduran dan ketertinggalan jauh. Selain karena hanya memahami Islam sebatas label, atribut dan, ibadah ritual, persoalan kita juga terletak pada banyaknya muslim yang taklid buta hingga menyepelekan adab dan mematikan kreatifitas serta akal budi.
Sementara itu, sikap ulama-ulama besar yang lebih woles dalam menyikapi perbedaan pendapat dengan santun malah tidak dicontoh. Beliau-beliau yang lebih paham hukum dan mumpuni dari segi keilmuan justru tidak pernah mengedepankan emosi dalam menyampaikan nasihat, apalagi sampai menyudutkan pemeluk agama lain. Lah ini, kita yang masih dangkal pengetahuan malah justru lebih sering ngegas, apalagi kalau sudah masuk persoalan menghakimi tingkat keimanan dan ketaqwaan orang.
Jika sudah menyampaikan peringatan, rasanya sudah seperti pahlawan akidah. Padahal, ranah keimanan dan jati diri kita, hanya Allah saja yang tahu. Kalaupun ada orang yang dianggap murtad, atau kurang kaffah dalam beragama bila beda sikap dengan apa yang kita yakini, ya saya sarankan untuk tinggal syahadat lagi saja! Gitu aja kok repot?! Begitu pesan Gusdur yang masih saya ingat.
Padahal Allah itu Maha Kuasa, bisa saja Allah membuat seluruh manusia di dunia ini masuk islam, ‘kan? Tapi justru itu tidak terjadi, makanya kita perlu bersikap bijak dan melihat perbedaan, apapun bentuknya itu, dengan sikap positif, bukan justru membesar-besarkannya dengan maksud memantik perpecahan.
Hal ini sejalan dengan nasihat Habib Luthfi bin Yahya yang menyampaikan, “jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, alasan bahwa dia adalah manusia ciptaan Allah SWT saja sudah cukup.”
Jadi, jika kita menemui perbedaan pendapat dalam merayakan hari ibu, natal, dan tahun baru, terlebih hal lain yang bersinggungan dengan yang berbeda keyakinan, sikapi saja dengan bijak. Tak perlu ngotot apalagi sampai bermusuhan. Masa, tiap tahun energi kita habis untuk perdebatan seperti ini, sedangkan banyak persoalan umat yang lebih fundamental, seperti kemiskinan, tingkat literasi rendah, isu-isu kesehatan, dan sebagainya, justru terabaikan.
Kalaupun tidak setuju dengan perayaan-perayaan akhir tahun yang melemahkan akidah, ya sah-sah saja, tapi kemudian pikirkan dan lakukan apa kontribusi sosial pengganti yang bisa dilakukan? Sudahkah kita membantu mengadvokasi umat yang termarjinalkan? Apakah kita berencana menyelenggarakan acara alternatif edukatif untuk menggantikan aktivitas hedonisme perayaan tahun baru?
Jika semuanya masih sebatas angan-angan, ada baiknya kita mundur perlahan dan mengikuti nasihat dari Dr. Steve Maraboli berikut, “do more than just talk; act. Do more than just promise; deliver.”
Karena Rasul juga lebih bangga pada umatnya yang melakukan kebaikan, bukan hanya sebatas pada ucapan semata. Sebab, pada struktur ketakwaan, islam senantiasa mengaitkan iman dengan amal saleh, bukan iman dengan perdebatan apalagi tudingan menyesatkan bagi saudara seiman. (AN)
Wallahu a’lam.