Umair bin Sa’ad al-Anshari, Sang Gubernur yang Sederhana

Umair bin Sa’ad al-Anshari, Sang Gubernur yang Sederhana

Umair bin Sa’ad al-Anshari, Sang Gubernur yang Sederhana
Sumber: fineartamerica

Umair bin Sa’ad al-Anshari adalah orang yang diutus Umar bin Khattab untuk menjadi gubernur di Homs, sebuah kota di Suriah. Ia adalah gubernur yang baik, adil, jujur, dan sederhana. Umar sangat menyayanginya. Wajar bila ketika ia meninggal dunia, Umar begitu kehilangan.

Saat itu, sejak menjadi gubernur, Umair bin Sa’ad al-Anshari (selanjutnya ditulis Umair saja) sama sekali tak pernah memberi kabar kepada Umar di Madinah. Hal ini tentu membuat Umar bertanya-tanya. Ia akhirnya menyurati Umair.

Dalam surat itu, disebutkan, Umair hendaknya segera pergi ke Madinah untuk menemui Umar bin Khattab, sekalian dengan membawa harta fai’ (harta yang didapatkan dari orang-orang non-Muslim dengan cara damai, tanpa peperangan). Umair pun berangkat ke Madinah dengan berjalan kaki dan hanya membawa bekal seadanya. Tak membawa harta fai’ sama sekali.

Ketika bertemu Umar, keadaan Umair sangat memprihatinkan. Warna tubuhnya pucat. Wajahnya penuh debu. Bulu-bulu matanya sudah memanjang. Hal demikian membuat Umar bertanya keheranan, “Kamu berjalan kaki?”

“Iya,” jawab Umair singkat.

“Apakah tak ada orang Islam yang berkenan memberimu kuda sebagai kendaraanmu?,” tanya Umar lagi.

Umair menajwab, “Tidak. Mereka tidak memberikannya kepadaku. Aku pun juga tidak meminta kepada mereka”.

“Buruk sekali perlakukan orang Islam di sana. Sehingga tak ada yang rela membantumu,” kata Umar.

“Wahai Umar, jangan menggunjing mereka. Mereka orang baik,” kata Umair menjelaskan.

Umar kemudian menanyakan hal apa saja yang telah dilakukan Umair di Homs. Umair mengatakan apa adanya. Ia telah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka diperintahkan untuk mengumpulkan harta-harta fai’.

Semua harta itu habis dibagikan kepada yang membutuhkan. Sehingga sama sekali tak ada yang bisa dibawa dan dipersembahkan kepada Umar. Mendengar pemaparan itu, Umar takjub. Ia pun segera menyuruh sekertarisnya untuk membuat surat tugas baru untuk Umair.

Mengetahui akan diberi amanah dan tugas lagi, Umair menolak. Ia beralasan, bahwa menjadi gubernur itu berat. Umair pun memohon izin untuk pulang ke kampungnya. Umar mengizinkan.

Umar masih merasa tidak percaya dengan apa yang telah ditunjukkan Umair. Yang “seakan” ia adalah orang miskin dan kesusahan. Umar menyuruh al-Harits untuk menyeledikinya. Sambil memberikan uang seratus dinar kepada al-Harits, Umar berkata:

“Pergilah ke rumah Umair!. Berpura-puralah seperti tamu yang akan menginap di rumahnya. Jika engkau melihat pelanggaran (ternyata ia orang kaya), maka segera pergi ke sini. Namun jika sebaliknya (ia benar-benar miskin), maka berikanlah uang seratus dinar ini kepadanya”

Al-Harits pergi ke rumah Umair dan menginap di sana selama tiga hari. Saat itu, keluarga Umair hanya memiliki satu potong roti gandum. Mereka tidak memakannya. Roti itu justru diberikan kepada tamunya, al-Harits.

Karena tiga hari tidak makan sama sekali, Umair dan keluarganya kelaparan. Dalam kondisi demikian, ia berkata kepada al-Harits, “Engkau telah membuat kami kelaparan. Jika kamu ingin pergi dari sini, kami persilakan!”

(Menurut penulis, maksud kalimat itu adalah, “Kami tidak memiliki bahan makanan lagi untuk menjamu kamu. Oleh karenanya, kami persilakan engkau pergi saja dari sini.”)

Al-Harits akhirnya memberikan uang seratus dinar kepada Umair. Umair menolak. Al-Harits tetap memaksa untuk memberikannya. Dengan alasan, uang itu bisa disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan. Umair menerimanya. Uang itu pun habis disedekahkan.

Al-Harits kembali kepada Umar. Ia menceritakan bahwa Umair adalah orang yang sangat kesusahan. Umar bertanya kepadanya tentang tindakan Umair terkait penggunaan uang seratus dinar itu. namun al-Harits menjawab, “Saya tidak tahu”.

Umair dipanggil menghadap Umar untuk dimintai keterangan tentang  uang itu. Ia menjawab dengan jawaban politis dan rendah hati, “Saya gunakan uang itu untuk kepentingan diriku”.

Sebagai oleh-oleh agar dibahwa pulang, Umar memberinya satu wasaq (sekitar 130 kg) bahan makanan dan dua potong baju.  Ia berkata, “Saya tak membutuhkan makanan itu. Saya masih memiliki 2 sha’ (sekitar 2 kg) gandum di rumah. Namun, saya mau menerima baju itu. Istri saya membutuhkannya”.

Kisah ini penulis baca dan ringkas dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini, kita bisa belajar tentang kesederhanaan seorang pejabat Negara. Jika sifat sederhana dan tidak matrealistik ini dimiliki oleh semua pemangku kebijakan, alangkah makmurnya sebuah negeri.

 

Sumber:

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.