Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di kota Tha’if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun.
Menurut kitab Khulasoh Nurul Yaqin karang Syaikh Umar Abdul Jabbar, musim semi bagi penduduk Mekah adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria. Abdullah pun berniat pergi musim ini.
“Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu,” keluh Aminah kepada suaminya.
Abdullah tersenyum menentramkan, “Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku.”. “Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda.”
Abdullah mengangguk, “Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor unta dan beberapa ekor kambing perah . Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah penghasilan kita.”
Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.
Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi saudara ‘sepupunya yang bernama Hala. Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau. Hamzah dikenal gagah berani dan menjadi pembela utama Rasululah. Hamzah dijuluki Singa Padang Pasir.
Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekkah hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.
“Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang,” kata Abdullah kepada kawan-kawannya. “Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit.” Kawan-kawannya mengangguk, “Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini.”
Kafilah Mekkah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib. “Harits!” panggil Abdul Muthalib kepada putra sulungnya. “Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang.”
Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-wajah duka. Saat Harits bertanya ihwal adiknya, semua menunduk sedih dan berkata, “Abdullah telah meninggal,” kata mereka kepadanya, “Mari, kami antar engkau ke pusaranya.”
Harits pun berduka dan buru-buru kembali menyampaikan berita sedih itu ke Mekkah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib atas wafatnya putera terkasihnya itu. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.
“Selamat jalan, Kanda,” isak Aminah, “Hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita.”Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yang mengubah jalannya sejarah dunia dari kegelapan menuju terang.
Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima ekor unta, sekumpulan ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia berasal dari negeri Habasyah..