
Memasuki pertengahan bulan Ramadan terdapat sebuah tradisi yang masih berjalan di daerah pedesaan kabupaten Gowa. Tradisi itu adalah Akkunnu’ Taraweh. Dalam bahasa Makassar, akkunnuk atau kunnu‘ berarti membaca qunut. Sedangkan lafal taraweh adalah dari kata tarawih yang umum diucapakan di Nusantara.
Akkunnuk taraweh adalah kegiatan rasa syukur karena telah memasuki pertengahan bulan Ramadan. “Nikunnuki taraweah ammuko ri bangngia.” (besok malam akan memasuki tarwih qunut) adalah pesan yang biasa disampaikan panitia masjid kepada jamaah ketika memasuki hari ke 15 atau malam ke 16.
Pengertian Akkunuk Tarawe
Sebenarnya frasa kunnuk taraweh menunjukkan arti bahwa setelah dilaksanakan shalat tarwih (attarawe) akan dilanjutkan dengan pembacaan doa kunut pada rakaat ketiga shalat witir.
Acara Akkunnuk taraweh berlangsung hanya di malam ke 16. Pertanda bahwa mulai malam itu sampai akhir Ramadan pada saat rakaat ketiga shalat witir maka imam shalat akan mulai membaca doa kunut. Dalam buku Ringkasan Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jasser Auda (PT Qaf Media Kreative, 2019) para ulama berbeda pandangan mengenai doa qunut yang dibaca dalam shalat Witir terutama di pertengahan akhir Ramadan.
Seperti menurut Imam Abu Hanifah yang berpemahaman doa qunut dalam shalat witir hukumnya boleh. Juga Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya membolehkan bacaan qunut dalam shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadan.
Hemat penulis, kunnuk taraweh adalah wajah lain dari peringatan Nuzulul Qur’an yang biasanya dilakukan di kebanyakan majelis perkotaan, maka kunnuk taraweh ini adalah versi lain untuk majelis pedesaan.
Tata Cara Akkunnu’ Taraweh
Berikut rangkaian kegiatan dari akkunu’ taraweh:
- Panitia masjid mengumumkan terlebih dahulu, tepatnya di malam ke 15 atau hari ke 14 puasa.
- Ibu-ibu membawa cemilan/makanan berat masing-masing. Yang paling penting di antara cemilan tersebut adalah lawara’ kadea (parutan kelapa muda dicampur gula merah), onde-onde dan baje (nasi ketan yang dicampur gula merah).
- Setelah shalat Tarawih, imam rawatib memimpin bacaan subhanal malikil quddus sebanyak tiga kali yang diikuti jamaah. Bacaan ini adalah sinyal Kunnuk Taraweh sudah dimulai.
- Setelah shalat witir bisanya diadakan acara pembacaan Barazanji dan doa songka bala’ (doa permohonan terhindar dari kesialan atau keburukan).
- Cemilan lalu dibagikan ataupun ditukarkan ke sesama jamaah masjid lalu dicicipi bersama.
- Kunnuk Taraweh juga bagian dari ‘stimulus’ kolektif kepada jamaah. Stimulus ini penting mengingat kebiasaan jamaah Mesjid setelah melewati paruh kedua bulan Ramadan jamaah pun mengalami ‘eliminasi’. Banyak faktor seperi sibuknya membuat kue lebaran, ataupun karena saat ini bulan puasa bersamaan dengan musim kerja di persawahan yang mengakibatkan banyak jamaah kelelahan dan tidak sampai ikut solat tarwih berjamaah. Dan alasan klasik lainnya adalah kemalasan.
Antara Akkunnu’ Taraweh dan Nuzulul Qur’an
Dalam masyarakat pedesaan, istilah Nuzulul Qur’an tidak terlalu masyhur. Maklum istilah ini memang hanya sebatas isi ceramah oleh para dai dan tidak ada acara ‘istimewa’ tentang momen ini. Hanya mungkin karena faktor banyaknya media sosial saat ini sehingga masyarakat sudah banyak tahu apa itu Nuzulul Qur’an. Namun acara peringatan ini tidaklah menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan.
Berbeda halnya dengan akkunuk taraweh yang sudah jadi tradisi keislaman. Menurut penuturan Daeng Badang, 75 tahun, seorang Pagawe Sara’ (Pembantu Imam) tidak ada catatan resmi sejak kapan tradisi ini dijalankan. Bahkan sejak zaman ayah beliau menjadi Pinati (Imam Desa) sudah ada pelaksanaan Akkunnuk Tarawe. Jika pembacaan doa kunut dalam shalat witir di pertengahan akhir Ramadan sudah dijelaskan oleh para imam mazhab pada masa lalu, maka ‘seremoni’ untuk menyambut pertengahan Ramadan ini belum ada detail sejarahnya.
Hal yang bisa ‘diraba’ adalah bahwa kenyataan historisnya masyarakat suku Bugis-Makassar hobi membuat sebuah acara tertentu apalagi yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan.
Dalam catatan sejarah, pada masa Pra Islam di istana kerajaan Gowa sering dilakukan Ammaca Lontarak Bilang, Kelong-kelong, Sinrilik, a’royong. Dan setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan, pembacaan Kitab Barazanji menjadi hal baru yang dilakukan dalam berbagai kegiatan untuk mencari berkat. Perkembangan mazhab Syafii di Nusantara juga turut menyumbang langgengnya berbagai tradisi hasil akulturasi dengan agama Islam.
Filosofi Akkunnu’ Taraweh
Momen ngumpul bersama setelah shalat witir hanya terajadi sekali sebulan yaitu di acara Akkunu’ Tarawe. Hal ini dijadikan oleh jamaah untuk melakukan refleksi ibadah puasa setengah bulan yang lalu dan setengah bulan ke depan.
Di momen ini juga jamaah diminta untuk meningkatakan ibadahnya di akhir-akhir ramadan. Apalagi tidak ada garansi apakah ramadan yang akan datang masih bisa dijumpai atau tidak. Selain itu imam rawatib mewanti-wanti kepada para ibu-ibu jamaah untuk menyiapkan sedari awal zakat fitrah yang akan ditunaikan sebelum adanya pengumuan resmi besaran uang atau beras yang sewaktu-waktu mengalami perubahan harga dan kualitas.
Perkembangan ekonomi warga desa juga bisa dilihat dalam tradisi ini. Jika yang dihidangkan terbilang banyak dan ‘istimewa’ bagi lidah orang desa maka bisa disimpulkan bahwa dalam setahun terakhir ekonomi warga dalam keadaan baik. Banyaknya hidangan juga menjadi standar keikhlasan jamaah untuk berbagi. Ada juga di antara jamaah yang mengeluarkan biaya pribadi untuk menyiapkan makanan berat.
Akkunnu’ Tarawe adalah salah satu syiar Islam yang masih terjaga hingga kini. Tradisi ini juga bisa mengedukasi masyarakat terutama generasi muda bahwa hukum Islam (Fikih) dalam hal ini kunut witir di pertengahan Ramadan dibolehkan oleh beberapa mazhab yang tentu sandarannya adalah sunnah nabi.
Kemudian yang kedua dalam Islam terdapat sumber hukum yang Mukhtalaf, salah satunya adalah al-Urf. Yaitu kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Al-Urf dapat menjadi sumber hukum Islam terkait berbagai hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadis secara eksplisit. Akkunnu’ Tarawe bisa dikategorikan bagian dari al-Urf Shahih (adat/kebiasaan yang baik).
Akkunnu’ Taraweh: Aktualisasi Hadis Nabi
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah berpesan agar kaum muslimin menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh rasa gembira. Rasulullah menjamin umatnya terhindar dari siksa neraka tapi harus dilandasi dengan keimanan.
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Artinya: “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan)”. (HR Ahmad)
Sehari sebelum masuk Ramadan, masyarakat juga masih menjalankan tradisi anruppai bulang. Anruppai berarti menyambut, bulang artinya bulan (Ramadan). Jadi dua tradisi ini Anruppai Bulang dan Akkunnu’ Tarawe adalah paket semarak bulan Ramadan yang tidak bisa dipisahkan.
Konsep hadis nabi Man Hurrima Khairaha Faqad Hurima di atas teraktualisasikan salah satunya dengan tradisi Akkunu’ Tarawe. Alangkah bahagianya kaum muslimin yang masih mendapatkan bulan Ramadan, masih bisa berpuasa, shalat tarwih, serta witir bersama sanak keluarga.
Ala kulli hal, tradisi Akkunnu’ Tarawe bukan sekedar acara makan-makan tapi lebih daripada itu ada rasa syukur, persiapan diri menunaikan zakat, kerja keras serta keikhlasan dalam berbagi.
(AN)