Saya harus mohon maaf karena menulis status yang mungkin akan membikin jidat mengernyit pada hari Minggu. Ini adalah tindakan yang tidak “empan papan”. Seharusnya, status di hari Minggu adalah yang asyik-asyik saja, semacam ajakan minum kopi atau menyantap singkong goreng.
Dengan tetap meriskir untuk “merusak” akhir pekan Anda, perkenankan saya menuliskan renungan ini.
Salah satu tema yang banyak didiskusikan oleh para sarjana Muslim, baik di era klasik atau modern, adalah bagaimana cara menyikapi ayat-ayat yang seolah-olah sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Atau, bagaimana cara mengatasi ayat-ayat dalam Kitab Suci yang dalam penampakan lahiriahnya berlawanan dengan akal atau pengalaman manusia pada suatu zaman.
Sekurang-kurangnya ada tiga sikap dan pendekatan menghadapi “hermeneutical conundrum” ini.
Pendekatan pertama saya sebut saja (for the want of better words) “pendekatan literalis”. Pendekatan ini cenderung memenangkan ayat-ayat Kitab Suci dalam keadaan apapun. Apa yang dikatakan oleh ayat harus diikuti secara harafiah, apa adanya. You take it or leave it, nothing in between!
Pendekatan kedua saya sebut “pendekatan progresif”. Pendekatan ini berpandangan bahwa ayat Kitab Suci harus ditafsir ulang sesuai perkembangan zaman (bukan diubah redaksinya, seperti dituduhkan oleh kalangan yang tak sepakat dengan pendekatan ini). Reinterpretasi, itu istilah yang kerap dipakai. Dalam pendekatan ini, yang dianggap sebagai “yardstick”, tolok ukur, adalah perkembangan zaman. Sementara ayat-ayat Kitab Suci hanyalah makmum saja.
Pengalaman masa kini dan perkembangan sejarah dipandang sebagai semacam “meta narrative”, narasi utama yang mengatasi hal-hal lain.
Saya dulu mengikuti, bahkan mendakwahkan secara antusias pendekatan ini. Meskipun tidak seluruhnya bergeser dari pendekatan progresif ini, saya sekarang (mungkin karena umur yang bertambah dan penjelajahan intelektual terus-menerus) mulai merevisi pandangan saya sendiri. Saya sekarang bergerak ke pendekatan ketiga yang akan saya jelaskan dalam bagian berikut.
Pendekatan ketiga mengambil jalan tengah. Pendekatan ini tidak langsung buru-buru memutuskan bahwa segala hal yang ada dalam Kitab Suci harus diikuti dan dilaksanakan apa adanya secara “”letterlijk”, harafiah. Tetapi pendekatan ini juga tidak buru-buru berkeputusan bahwa segala hal dalam Kitab Suci, jika bertentangan dengan perkembangan zaman, harus dipahami ulang.
Kelemahan pendekatan kedua di atas terletak pada hal ini: dia menganggap bahwa perkembangan zaman dan situasi saat ini, pengalaman manusia pada zaman tertentu, sebagai tolok ukur, “meta narrative”, yang mengatasi segala hal. Kelemahan pendekatan ini adalah adanya kecenderungan “narsistik” di dalamnya. Narsisme adalah pandangan bahwa diriku, diri manusia, adalah pusat segala hal. Ini adalah sejenis “epistemological selfishness”.
Pandangan ketiga menempuh cara lain. Pendekatan ini tidak buru-buru mengambil keputusan bahwa ayat-ayat Kitab Suci harus dicurigai jika bertentangan dengan perkembangan zaman, atau akal manusia. Sebaliknya, yang harus dicurigai adalah perkembangan zaman itu sendiri.
Pendekatan ketiga ini mengajak kita untuk mencurigai asumsi-asumsi kita sendiri yang dibentuk oleh zaman di mana kita hidup: apakah asumsi-asumsi itu sudah sudah tepat. Pendekatan ini tidak menjadikan zaman dan pengalaman manusia sebagai tolok ukur dan “meta narrative”. Yang seharusnya kita tempatkan sebagai “meta narrative” adalah Kitab Suci, sebab dialah pusat dari kehidupan seorang beriman.
Kita, sebagai manusia yang hidup dalam konteks tertentu, kerapkali mengidap dua “penyakit” epistemologis ini: yaitu “bias for” dan “bias against”. “Bias for” adalah kecenderungan kita untuk menganggap bahwa konteks di mana kita hidup sudah “given”, sudah dengan sendirinya benar tanpa perlu dicurigai lagi. Sementara “bias against” adalah kecenderungan sebaliknya: pra-anggapan bahwa segala hal yang berasal dari konteks masa lampau, dengan sendirinya salah, tak relevan, karena itu harus dikritik.
Apa perbedaan antara pendekatan ketiga ini dan pendekatan pertama? Tidakkah pada esensinya pendekatan ketiga ini sama saja dengan yang pertama: yaitu literalisme, pra-anggapan bahwa apapun yang diamarkan (diperintahkan) oleh firman Tuhan via Kitab Suci harus diikuti secara harafiah saja?
Saya katakan tidak. Ada perbedaan epistemologis yang mendasar antara kedua pendekatan itu. Perbedaannya menyangkut di mana kita meletakkan “epistemological primacy”, kedudukan utama secara epistemologis dari dua hal ini: Kitab Suci dan perkembangan zaman.
Pada pendekatan pertama, kedudukan utama diberikan kepada Kitab Suci, seraya mengabaikan sama sekali perkembangan zaman. Pada pendekatan ketiga, kedudukan utama diberikan kepada Kitab Suci, tetapi perkembangan zaman tidak diabaikan sama sekali. Hanya saja, pendekatan ketiga tidak meletakkan yang terakhir itu, yakni perkembangan zaman, sebagai “meta narrative” yang mengatasi segala-galanya. Dia harus terbuka pada kritik, harus diselidik, harus diinvestigasi.
Pendekatan kedua, seperti sudah saya sebutkan, memiliki kelemahan mendasar, yaitu meletakkan pengalaman manusia sebagai hal yang “given”, yang tak perlu diinvestigasi terlebih dahulu. Pada pendekatan ketiga, kelemahan ini diatasi dengan cara “subjecting human experience and all assumptions that come with it to scrutiny and investigation” — mencurigai pengalaman nanusia serta asumsi-asumsi kultural yang menyertainya.
Bagi seorang beriman, sumber kebijaksanaan utama adalah Yerusalem dan Mekah, dua tempat suci yang menjadi situs lahirnya “prophetic wisdom”; bukan Yunani, tempat di mana sistem penalaran dan “rational wisdom” bersumber. Ini bukan berarti bahwa “rational wisdom” harus ditolak in toto. Tetapi ia haruslah tetap ditundukkan pada, dan dipahami dalam terang “prophetic wisdom”.
Inti pendekatan ketiga ini adalah “avoidance of human-centrism”, menghindari sikap pemutlakan atas manusia. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam Quran, “kalla innal insana la-yathgha,” (QS 96:6) — sesungguhnya ada kecenderungan “thughyan” atau absolutisme pada diri manusia. Karena itu, kita harus hati-hati dan waspada.
Saat Nietzsche, filsuf Jerman yang masyhur itu, mengumandangkan kematian Tuhan (God is dead), yang melambangkan runtuhnya Kebenaran Mutlak dan “meta narrative”, dan dimulainya “moral narcissism” (kebenaran adalah apa yang aku anggap benar), yang terjadi bukanlah pembebasan manusia dari hegemoni Kebenaran Tunggal, melainkan situasi nihilistik di mana manusia bisa terjebak dalam absolutisasi diri dan menundukkan manusia lain yang secara moral lemah.
Apakah istilah yang tepat untuk pendekatan ketiga ini? Sebaiknya kita menghindar dari pemberian istilah, sebab akhirnya sebuah istilah bisa memenjarakan dan menipu.
Naming is an act of labelling, and it can be deceptive!