Tafsir nuzuli merupakan pola penyajian baru dalam kitab tafsir Al-Qur’an. Dalam pola ini, para mufassir tidak lagi menyajikan urutan tafsirnya sesuai tartib mushafi (urutan sesuai mushaf sekarang) melainkan berdasarkan urutan turunnya surah, dimulai dari surah yang pertama kali turun hingga terakhir kali diturunkan.
Dengan pola ini, para mufassir berusaha menghasilkan makna kontekstual ayat-surah secara kronologis sesuai dengan dakwah kenabian. Dengan demikian dimensi sejarah ayat dan dakwah Nabi bisa dipahami dengan baik, yang pada akhirnya, diharapkan bisa lebih menawarkan solusi atas problematika masyarakat di era modern.
Meskipun pola ini masih memiliki beberapa perdebatan dalam penentuan urutan nuzul, nyatanya, ada beberapa mufassir yang menggunakan pola tafsir ini, yang tentu saja dengan kecenderungan yang berbeda-beda, mereka adalah:
Pertama, Muhammad Izzat Darwazah (1305 – 1404 H)
Seorang cendekiawan, politikus, sastrawan, penulis, sejarawan, penerjemah dan mufassir asal Nablus, Palestina.
Di samping bahasa Arab, beliau juga menguasai bahasa Inggris dan Turki, serta mempelajari banyak buku dengan kedua bahasa tersebut. Kitab tafsirnya berjudul, “At-tafsir al-Hadits” (التفسير الحديث).
Tafsir ini ditulis menurut kronologi turunnya ayat (asbab an-nuzul) dan dicetak dalam 12 jilid. Mungkin pola semacam ini baru pertama kali digagas dalam dunia tafsir. Ketekunan Darwazah merunut asbab an-nuzul membuatnya peka terhadap realitas; ia ingin agar teks Al-Qur’an bisa berdialektika dengan realitas senyata mungkin.
Tafsirnya juga menyingkap munasabah dan sejarah turunnya ayat, membahas ayat-ayat hukum, serta membicarakan beberapa ayat yang dinasakh (dihapus), disamping yang paling utama adalah tentang sirah dan bi’ah nabawiah.
Kitab tafsir ini juga telah dikaji seorang akademisi dari Indonesia dan telah diterbitkan menjadi buku yang berjudul “Sejarah Kenabian dalam Prespektif Izzat Darwazah”
Kedua, Abdurahman Hasan Habannakah al Maidani (1345 – 1425 H)
Beliau lahir di Syria dan pernah kuliah di Fakultas Syariah Universitas al Azhar, lalu menjadi dosen di Universitas al Imam Muhammad bin Sa’ud Riyadh, lalu dosen di Universitas Ummul Quro Makkah. Sebelum menyusun tafsir ini, beliau menyusun kaidah-kaidah penafsiran dan tadabbur yang diberinya judul: “Al-Qawaid al-Amtsal litadabburi Kitabillah” (القواعد الأمثل لتدبر كتاب الله).
Sedangkan kitab tafsirnya yang berjudul “Ma’arij at-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur” (مَعارج التفكّر ودَقائق التدبّر)
beliau susun sebagai hasil penerapan dari kaidah-kaidah di atas.
Tafsir ini disusun sesuai kronologis turunnya surah yang ada dalam mushaf Syekh Muhammad Ali Kholaf al Husaini al Mashri, dengan sedikit perbedaan. Syekh Habannakah berusaha menghadirkan makna-makna ayat selaras dengan tema sentral surah yang menghimpun ayat-ayat tersebut.
Tafsir ini dicetak cukup tebal, 15 jilid dan juga mengkaji aspek kebahasaan, qira’at, riwayat-riwayat terkait, Ciri khas tafsir ini adalah ia selalu menampilkan tema dan pelajaran (durus) dari masing-masing ayat, sehingga kitab ini bisa digunakan untuk tafsir sekaligus tadabbur.
Ketiga, Muhammad Abid al Jabiri (1935 – 2010 M)
Beliau adalah Guru besar, pemikir, penulis buku2 kajian Islam modern, bukunya yang paling terkenal adalah “Naqd al-Aql al-‘Arabi (نقد العقل العربي), Kritik Nalar Arab yang berjumlah 4 seri.
Beliau dikenal sebagai filusuf Maroko dan pakar di bidang kajian Ibnu Rusyd dan pernah mendapatkan penghargaan dari Unesco karena perhatiannya terhadap pemikiran Ibnu Rusyd. Tafsirnya berjudul, “Fahm Al-Quran al-Hakim: At-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul” (فهم القرآن الحكيم التفسير الواضح حسب ترتيب النزول)
Tafsir ini dicetak dalam tiga jilid, dan disusun sesuai kronologis turunnya ayat berdasarkan riwayat-riwayat yang menguatkannya. Beliau membagi tafsirnya menjadi tiga bagian, masing-masing berisi mukaddimah, istihlal, istithrad dan catatan-catatan kaki.
Usaha yang ingin dikembangkan beliau dalam tafsir ini adalah mengkonstruksi bangunan pikir Al-Quran sesuai kronologis turunnya ayat Al-Quran, atau – dalam bahasa yang lebih sederhana- membaca Al-Quran dalam bingkai sejarah kenabian, dan membaca sejarah nabi dalam bingkai Al-Quran.
Wallahu a’lam.