Hidup di era digital manusia begitu dimanjakan dan dimudahkan. Sebab hampir semua pertanyaan dalam hidup ini “dijawab” oleh internet. Ada guyonan kawan dalam sebuah acara ngopi bareng “hanya surga yang tak bisa ditemukan di media sosial (medsos)”. Betapa medsos membuat kita dimanjakan termasuk persoalan dakwah keagamaan yang begitu massif.
Tak heran, ada orang ingin belajar agama atau mendapatkan jawaban persoalan agama sehari harinya, mereka lebih memilih membuka youtube atau media online ketimbang mendatangi ustadz, atau hadir dalam pengajian. Bahkan, tak sedikit orang yang berubah pandangan hidupnya, rela meninggalkan kariernya, beralih menjadi “ustadz” sekalipun, atas apa yang ia dengar dan baca di medsos.
Lalu, apa faktor medsos menjadi alternatif menjadi guru (Youtube, Instagram atau media online) untuk belajar dan memahami Islam? Sebab banyak kegalauan keagamaan seseorang dalam hidupnya, mendapatkan solusinya karena belajar di medsos. Saya tiba pada tiga kesimpulan, dan ini berawal dari pengalaman bergaul dan sharing dengan mereka.
Pertama, budaya instan turut menjadi faktor. Dengan kemudahan mengakses konten keagamaan, tanpa perlu duduk di majelis taklim medsos memberikan kemudahan. Sebab orang lebih senang dengan cara simple dan mudah. Tak butuh waktu lama, bisa kapan saja dan di mana saja. Itu sebabnya, mereka lebih senang dengan kajian yang durasinya pendek, kajian yang menjawab kegundahan sehari harinya, begitupun pada artikel keagamaan tak suka kajian yang terlalu serius, lebih senang persoalan fikih dan praktis.
Kedua, tak ada kedekatan emosional dan khusus dengan ustad atau kiai. Alasan itu menjadikannya medsos sebagai “majelis taklim” baginya untuk memahami dan mempelajari Islam. Karena ia tak punya kedekatan dengan ustadz, ada rasa sungkan untuk bertanya langsung jika ia mengalami persoalan keagamaan. Alhasil kemungkinan ia cenderung menyimak ceramah ustad tertentu dengan dua alasan. Ia menyukai karena konten ceramahnya sesuai dengan kegundahan dan permasalah hidupnya atau sebab ketenaran ustad tersebut di medsos.
Ketiga, adanya keterbatasan untuk membaca kitab kuning (bahasa Arab). Alasan ini cukup logis, karena tak semua orang bisa memahami warisan peradaban Islam tersebut. Kehadiran medsos membuka kemudahan bagi setiap orang dengan keterbatasannya untuk belajar agama. Tak terkecuali, mereka yang punya basic keagamaan pun ikut menikmati kajian medsos bahkan dijadikan sumber paham keagamaannya.
Dari tiga alasan tersebut, bukan sesuatu yang salah atau tak dibenarkan jika memahami dan mengkaji Islam lewat medsos, justru kehadiran medsos jangkauan dakwah Islam semakin luas. Hanya saja, dibutuhkan kehati-hatian dan selektif untuk memilih ustad, dan yang terpenting belajar agama mesti pada orang yang tepat dan secara langsung. Sebab medsos telah “menggantikan” peran agamawan dalam kehidupan nyata untuk menjawab persoalan pengetahuan keagamaan. Fenomena ini, biasa seolah media sosial sebagai “agama”.
Lantas bagaimana ciri-ciri ustadz/kiai yang bisa dijadikan rujukan di media sosial untuk belajar agama? setidaknya dua hal:
Pertama, orang yang dianggap ustadz murni karena keilmuannya dan jelas jejak (sanad) keilmuannya, bukan sebab utama ia terkenal, karena bukan jaminan ia populer lantas layak dijadikan guru. Mengapa ini penting? karena ustad/ulama adalah pewaris para Nabi yang menyampaikan risalahnya.
Kedua, jika ia adalah orang berilmu, maka apa yang disampaikan adalah kedamaian, nasihatnya meneduhkan ummat dan tak sedikit pun menyalahkan orang lain. Imam al-Ghazali katakan, jika engkau ingin mencari guru carilah orang yang menjadikan akhlak sebagai jalan hidupnya (mawaa’idz al Imam al Gazaali). Dengan kata lain, jika ada yang merasa ustadz/kiai tapi kerap mencaci maki dan berkata kotor maka tak layak dijadikan guru.