“Polemik” Salat Id di Masjid Al-Zaytun dan Karakter Beragama Masyarakat Kita

“Polemik” Salat Id di Masjid Al-Zaytun dan Karakter Beragama Masyarakat Kita

Dalam kasus bercorak “menyelisihi mayoritas”, sentimen akan selalu muncul mendahului akal sehat dan kemanusiaan.

“Polemik” Salat Id di Masjid Al-Zaytun dan Karakter Beragama Masyarakat Kita
Salat Idulfitri di Masjid Al-Zaytun / Instagram @kepanitiaanalzaytun

Baru-baru ini dunia maya heboh soal unggahan akun instagram @kepanitiaanalzaytun, yang mengunggah foto salat id pada sabtu (22/04/2023). Salat idulfitri tersebut dilangsungkan di Masjid Rahmatan Lil Alamin Al-Zaytun, Indonesia. Unggahan tersebut menimbulkan kehebohan. Pasalnya, terlihat jamaah salat ied dibuat berjarak dan juga tampak seorang wanita yang salat di posisi paling depan di antara laki-laki.

Postingan tersebut jelas melahirkan berbagai tanggapan netizen. Namun, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, sebagian besar tidak segan-segan mengutuk ritual salat id tersebut. Secara garis besar, komentar arus utama mengatakan bahwa salat id di Masjid al-Zaytun itu menyalahi kaidah, Islam ajaran sesat, dan menyimpang dari syariat.

Saya nyaris tidak menemukan komentar positif terhadap fenomena itu. Saya tidak membaca, misalnya, ajakan tabayun, narasi toleransi, atau keterbukaan. Celaan dan tuduhan sesat tumbuh subur di kolom komentar setiap media sosial yang menayangkan ritual tersebut. Ada beberapa yang bahkan menyuruh pemerintah mengusir golongan mereka keluar dari Indonesia karena rawan merusak Islam di Nusantara.

Pondok Pesantren Al-Zaytun memang kerap memancing perdebatan publik. Kehebohan tata cara salat id tersebut bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, netizen juga gatal memperdebatkan lantunan adzan di Masjid al-Zaytun. Dilansir Ayojakarta.com pada akun Instagram @undercover.id, pada Selasa (25/4/2023), seorang muadzin tampak mengumandangkan adzan.

Namun yang menjadi tak biasa adalah, setiap melantunkan satu kalimat adzan, para jamaah memberikan sahutan kepadanya. Dan itu dilakukan terus menerus hingga adzan selesai. Tidak hanya itu, adzan tak berlanggam yang dilantunkan juga memancing jempol-jempol netizen untuk mengomentarinya sebagai adzan yang “menyimpang”.

“UDAH JELAS SESAT YANG BEGINI NIH GAK BOLEH DI KASIH CELAH, NGAKU AGAMA LAIN AJA SONO JANGAN BAWA BAWA ISLAM,” tulis salah seorang netizen. Huruf kapital yang ia gunakan seolah menegaskan kemarahannya.

Pola ini sebenarnya terlihat bukan di kasus Masjid Al-Zaytun saja, namun di segala isu yang bercorak “menyelisihi mayoritas”. Hampir tiga dekade lalu, misalnya, pola ini terlihat ketika Ahmadiyah divonis sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Alasan kekhawatiran terhadap penyebaran Ahmadiyah yang masif rasanya tidak masuk akal mengingat bagaimanapun Islam Sunni masih dominan di Indonesia. Karena itu, alasan paling logisnya adalah karena mereka menyelisihi paham Islam dominan di Indonesia.

Perlu dicatat, watak seperti ini tidak terjadi di Indonesia saja. Di manapun tempatnya, identitas dominan pasti akan merasa berhak untuk menentukan siapa yang berhak berada di wilayahnya, dan siapa yang harus dieksklusi. Tentu ini adalah realitas yang buruk. Sebuah negara yang menginginkan kehidupan yang egaliter perlu membuang jauh-jauh watak semacam ini.

Watak ini terlihat jelas dalam setiap komentar warganet di media sosial tentang ritual salat id Masjid al-Zaytun. Dalam kasus seperti ini, sentimen akan selalu muncul mendahului akal sehat dan kemanusiaan. Memang jika ditarik dalam perspektif fikih, akan banyak perdebatan yang muncul. Beberapa ahli agama, dari MUI misalnya maupun content creator keislaman, yang telah membedah perihal tata cara salat seperti itu secara fikih.

Namun terlepas dari sah tidaknya salat id tersebut, wataknya masyarakat beragama ini patut mendapat perhatian. Pasalnya, karakter inilah yang kerap menjadi hulu dari segala tindak intoleransi di Indonesia. Sikap anti perbedaan ini jika tidak dikelola dengan tepatnya akan berpotensi menjadi pemicu diskriminasi dan persekusi.

Saya tidak menampik bahwa penerimaan kepada yang berbeda memang sukar dilakukan. Namun, yang perlu dicatat adalah jika sikap antipati itu dibiarkan tumbuh subur, ia akan menjadi toxic bagi kehidupan sosial keagamaan kita. Alih-alih ingin mendakwahkan kebenaran, kebencian yang berlebihan kepada sebuah kelompok justru malah berakhir kontra-produktif.

Saya tentu tidak sedang membela Masjid Al-Zaytun dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Tulisan ini dihadirkan sebagai reminder untuk tidak berlebihan mencela kelompok lain yang berbeda dengan kita. Jangan sampai apa yang kita ucapkan dan lakukan justru menegaskan kebodohan kita sendiri. Di manapun, menjadi sumbu pendek bukanlah pilihan bijak untuk menjalin relasi berbasis kemanusiaan.

Umumnya, watak ini disebut logika mayoritarianisme. Konsep ini cenderung terasosiasi kepada hal-hal yang berbau negatif, seperti diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan sebagainya. Konsep mayoritas-minoritas sangat bersinggungan dengan posisi superioritas-inferioritas kelompok-kelompok tertentu. Namun, perlu dicatat, al-Quran ternyata mempunyai pandangan yang berbeda terhadap logika mayoritas itu. Al-Quran justru banyak membincang konsep mayoritas, atau mayoritarianisme, dalam konotasi negatif dan peyoratif. Artinya, al-Qur’an tidak menjamin bahwa kebenaran itu ada di tangan mayoritas. Al-Qur’an justru mewanti-wanti bahwa watak mayoritas cenderung destruktif dan diskriminatif.

Pada akhirnya, jika prosesi salat id yang dilakukan Masjid Al-Zaytun memang menyalahi syariat, kita tetap tidak berhak mencemooh bahkan mempersekusinya. Rasulullah utamanya diutus untuk membentuk akhlak yang mulia. Karena itu, seorang Muslim harus mengutamakan akhlak yang baik dan bersikap bijaksana dalam menghadapi segala perbedaan di luar dirinya, bahkan yang paling ekstrem sekalipun.