Hampir dua minggu sekali saya datang ke dokter saat dulu masih SD, gejalanya mulai dari tubuh panas sampai penyakit tenggorokan yang dulu selalu disebut amandel. Ibuk sering sekali mengingatkan untuk saya tidak minum es di kantin sekolah atau penjaja jajanan di jalan, Ibuk khawatir pemanis yang digunakan adalah bahan artificial.
Ya kadang-kadang itu memang ada benarnya, ada bukti empiris yang mendukung. Bahwa saat saya iseng dan nakal asal minum minuman dari penjaja makanan di jalan, yang tidak tau pemanisnya dari bahan kimia apa, sejurus besoknya tenggorokan langsung sakit, sialnya sakit tenggorokan sering dibarengi dengan tubuh memanas.
Dulu saya sudah digadang akan naik meja operasi amandel, karena saking seringnya sakit. Apalagi sakitnya selalu dibarengi dengan tubuh panas dan membuat absen dari majelis ilmu. Sebenarnya saya tidak cukup tahu apakah tenggorokan saya emang selemah itu, atau itu sugesti yang diam-diam saya terima dari Ibuk.
Bolak balik ke dokter dilakukan mungkin setahunan lebih, sampai suatu ketika, dan saya tidak tahu informasi ini datang dari dokter mana, karena saking banyaknya dokter yang dicoba, bahwa saya dianjurkan minum sprite dengan sedotan dari tangkai daun pepaya gantung. Dan tak lama setelah itu, keajaiban datang. Frekuensi datang ke dokter dengan masalah tenggorokan sekonyong-konyong melandai.
Ini tentu obat yang sangat menyenangkan, saya hanya cukup minum sprite dengan sedotan dari tangkai daun pepaya gantung. Siapa si anak kecil yang tidak suka kalau diberitahu obat minum sprite. Apalagi saya tidak perlu bingung untuk mencari sendiri tangkai itu di mana. Tinggal minum dan sejurus selepas itu sembuh. Sampai sekarang saya tidak tahu juga kenapa teknik pengobatan yang “konyol” ini mujarab.
*
Saya cukup sering diminta tolong oleh orang tua, bahkan sampai sekarang juga kadang-kadang masih diminta tolong saat di rumah untuk beli ini dan itu.
Saya bersyukur tidak cukup mengidap penyakit gengsi. Yang mungkin membuat beberapa anak cowok engan datang ke warung untuk belanja. Saya tidak pernah mengambil pusing permohonan Ibuk untuk datang ke warung dalam perintah membeli minyak gas, bawang, cabai, ketumbar dan lain-lain. Yang penting masih ada sisa 500 perak untuk saya bisa beli wafer coklat yang enak. Ya meskipun kadang-kadang di awal agak canggung.
Selain datang ke warung, Ibuk juga beberapa kali meminta tolong untuk meminta beberapa bagian tanaman dari tetangga. Kadang daun jeruk, kadang jeruk limau, dan pernah sekali waktu Ibuk meminta saya untuk memintakan buah mengkudu yang berdiri megah pohonnya di depan rumah orang.
Wasiat ambil mengkudu ini tidak cuma sekali, tapi berkali-kali, karena buah yang rasanya tidak enak itu digunakan sebagai jamu.
Saya tak tahu persis itu jamu apa, saya cuma melaksanakan perintah saja. Tapi memang ibuk lebih suka menjajaki tanaman obat. Seperti soal tangkai pepaya untuk obat amandel yang saya ceritakan sebelumnya. Tangkai pepaya adalah ide dari Ibuk juga.
Canggungnya saya waktu itu adalah tentang apakah ini wajar, atau apakah ini tidak digunakan sendiri sama yang punya, kenapa gak beli tapi minta, atau kenapa awalnya tidak diantarkan dulu. Itu saja muter-muter di kepala. Meskipun pada akhirnya, ternyata orang yang punya mengkudu tidak memberikan respon kesal saat memberi. Mukanya biasa-biasa saja. Malah belakangan saya diberitahu bisa mengambil kapan pun dan sebanyak apa pun.
Pohon mengkudunya besar dan buahnya juga lebat. Ada yang sudah matang dan ada yang masih mentah. Saya bisa mengambil sebanyak-banyaknya dan saya bebas memilih. Mau yang besar dan sudah matang atau yang masih menuju matang.
*
Di pekarangan belakang rumah, Ibuk memiliki beberapa tanaman obat dan salah satu yang jadi primadona adalah suruh merah, sebuah tanaman turunan suruh yang balik daunnya berwarna merah. Tidak banyak orang yang punya suruh merah di desa. Ada yang mengatakan tanaman ini bisa menyembuhkan banyak hal. Tapi sekali lagi saya tidak cukup tahu itu bisa digunakan untuk obat apa.
Karena suruh merah milik Ibuk jadi promadona, ia sering dicari, ada beberapa orang yang sengaja datang ke rumah untuk meminta beberapa helai daun suruh merah.
Saya pernah mendengar beberapa yang minta itu sebenarnya agak pekewuh pada Ibuk, karena kok minta terus. Sepertinya itu adalah rasa yang sama seperti yang kurasakan saat baru diminta Ibuk untuk meminta mengkudu.
Eh, saat ngobrol sama Ibuk, kadang-kadang beliau sedal juga dengan suruh merah ini, karena daunnya lebat sekali, atau bahkan kelewat lebat. Sehingga Ibuk malah suka saat ada orang minta daun suruh merah. Lagian ibu juga tidak setiap hari mengkonsumsi atau membuat jamu dari daun suruh merah.
Saya juga tidak suka jamu daun suruh merah itu, alasannya jelas karena rasanya pait. Mending obat itu ya seperti minum sprite dengan sedotan dari tangkai daun pepaya gantung.
Jadi urusan ini saya tidak bisa membantu Ibuk, lebih-lebih membantu menghabiskan daun suruh merah.
*
Ibuk mertua saya di belakang rumahnya memiliki pohon bidara yang besar, saking besarnya sampai pernah dipangkas agar tidak terlalu lebat. Dipangkas karena khawatir malah merusak dinding rumah dan roboh ke toilet yang posisinya di samping pohon bidara itu berdiri.
Pohon bidara di belakang rumah Ibuk mertua ini juga tenar. Banyak orang yang mengambil daunnya untuk jamu-jamuan. Bahkan yang ngambil kadang sampek membawa kresek, dan tentu itu jumlahnya banyak.
Nenek dari jalur Ibuk mertua dan sepupu yang tinggal dengan Ibuk mertua pun mengkonsumsi rebusan daun bidara tiap hari. Tiap pagi dan sore beliau berdua rutin minum sari bidara yang sudah direbus. Konon dengan meminum ekstrak bidara dapat membuat tubuh lebih bugar.
Saya pernah mencobanya beberapa saat ya meskipun efeknya tidak benar-benar saya rasakan.
*
Di sini kita bisa melihat ternyata sering kali kita menanam tanaman yang mungkin itu tidak begitu kita butuhkan ternyata memberikan manfaat yang luas ke orang lain. Mungkin orang yang menanam pepaya gantung tidak pernah berniat akan memanfaatkan tangkai daunnya.
Mungkin ia hanya kepikiran soal buah pepayanya. Pun sama pada orang yang punya pohon mengkudu, mungkin awalnya ia menanam agar depan rumahnya memiliki tanaman, ataupun toh mau mengambil manfaat mengkudu, dia tidak pernah berpikir bisa memberikan ke orang dari mengkudu yang tumbuh dengan sangat lebat di depan rumah itu.
Persis seperti yang Ibuk saya rasakan dengan tanaman suruh merah di belakang rumahnya atau bidara di belakang rumah Ibuk mertua saya.
Dan ternyata sesuatu yang tidak pernah diniatkan seperti itu pun tetap bernilai sedekah. Seperti yang diceritakan dalam hadist berikut:
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau bercocok tanam, lantas burung-burung, manusia, atau hewan memakan (hasilnya), melainkan demikian itu adalah shodaqoh.” (Sahih Muslim 1553 a, Buku 22, Hadits ke 12)
Wallahu A’lam