Saat berpuasa kita dilarang untuk makan, minum, bersetubuh suami-istri, dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Tak hanya itu, di bulan Ramadhan ini, kita juga diharuskan untuk sebisa mungkin menjauhi hawa nafsu, dosa, dan maksiat. Mengapa? Karena meskipun dosa yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa, namun itu akan mengurangi nilai ibadah puasa kita. Salah satu harus yang dihindari baik di bulan-bulan biasa terlebih lagi di bulan puasa adalah ghibah.
Ghibah alias menggunjing adalah membicarakan aib dan kejelekan seseorang, sementara orang yang dibicarakan tidak berada di tempat tersebut. Aib atau kejelekan yang digunjingkannya itu dapat berkaitan dengan fisik, tingkah laku, keturunan, hingga urusan duniawi atau agamanya. Dan andai kata pembicaraan itu terdengar oleh yang bersangkutan, maka ia tidak akan menyukainya.
Hukum melakukan ghibah adalah haram. Al-Qur’an telah melarang dengan tegas orang yang menggunjing saudaranya. Bahkan al-Quran menyamakan orang yang menggunjing seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri (lihat QS. Al-Hujurat: 12). Namun ternyata tidak semua ghibah alias membicarakan kejelekan orang lain itu hukumnya haram. Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya Riyadhus Shalihin menyebutkan bahwa adakalanya ghibah itu tidak dihukumi haram melainkan mubah, bahkan wajib jika darurat.
اعلم أن الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها
“Ketahuilah bahwa ghibah terkadang dibolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, yang tidak mungkin sampai pada tujuan itu tanpa adanya ghibah tersebut.”
Menurut Imam Nawawi ghibah yang dikecualikan itu ada enam macam, di antaranya:
Pertama, melaporkan kezaliman
Maka dibolehkan bagi orang yang dizalimi melapor kepada penguasa dan hakim atau siapa pun yang memiliki kekuatan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan terhadap orang yang menzalimi.
Kedua, membantu orang lain untuk menghilangkan kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran.
Misalnya perkataan seseorang kepada penguasa: “Si Fulan melakukan ini, maka cegah atau tegurlah ia dari kemungkaran tersebut.” Adapun maksud dari membicarakan aibnya itu adalah agar sampai kepada tujuannya yaitu menghilangkan kemungkaran. Namun jika tujuannya bukan itu, maka hukumnya haram.
Ketiga, meminta fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Suamiku menzalimiku dengan melakukan ini dan ini, apakah boleh dia seperti itu? Dan apa yang harus aku lakukan untuk selamat darinya, mendapatkan hakku, dan menolak kezalimannya?” Maka yang seperti ini dibolehkan karena adanya kebutuhan.
Tetapi menurut Imam Nawawi, yang lebih baik dan lebih berhati-hati adalah dengan menyamarkan nama orang yang bersangkutan. Seperti dengan sebutan seorang laki-laki, seorang suami, si Fulan, si Fulanah, dsb. Misalnya, “Apa pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang melakukan hal seperti ini?”. Maka dengan cara seperti ini tentunya akan tetap mencapai tujuan si penanya yaitu meminta fatwa, meskipun tanpa dibarengi dengan spesifikasi atas orang yang dibicarakan.
Keempat, memberi peringatan kepada muslimin dari keburukan dan menasehati mereka.
Dalam jenis yang keempat ini Imam Nawawi memberikan beberapa macam contoh. Di antaranya, men-jarh (mengomentari buruk) para perawi hadis yang memang buruk kredibilitas maupun intelektualitasnya. Untuk yang pertama ini diperbolehkan secara ijmak, bahkan wajib karena adanya kebutuhan untuk memilah hadis-hadis yang shahih dari yang lemah.
Contoh lainnya, jika tampak seorang yang faqih sering mengunjungi pelaku bid’ah atau orang fasik untuk mengambil ilmu darinya, kemudian ada kekhawatiran akan menimbulkan mudarat karena hal itu, maka wajib baginya untuk dinasehati dengan menjelaskan keadaan si pelaku bid’ah atau orang fasiq tersebut. Hal ini boleh dilakukan dengan syarat tujuannya adalah untuk menasehati.
Kelima, membicarakan orang yang terang-terangan (mujahir) atas kefasikan atau kebid’ahannya.
Misalnya orang yang terang-terangan minum khamr, merampas/memperbudak manusia, menarik pajak secara zalim, atau mengerjakan perkara-perkara yang batil. Maka boleh menceritakan kefasikan orang-orang tersebut. Dan hukumnya haram jika pada selain aib-aib yang telah disebutkan, kecuali jika ada sebab lain yang memperbolehkan.
Keenam, sebagai identitas atau pengenal
Jika seseorang dikenal dengan suatu laqab (gelar) tertentu, seperti al-a’masy (orang yang kabur penglihatannya), al-a’raj (orang yang pincang), al-asham (orang yang bisu tuli), al-a’ma (orang yang buta), dan al-ahwal (orang yang matanya juling), atau gelar lainnya, maka boleh mengenalnya dengan sebutan itu. Dan haram memutlakan dari sisi aibnya (dengan maksud mencelanya). Namun jika memungkinkan untuk mengenalnya dengan sebutan yang lebih baik, maka itu lebih utama. (Lihat Imam an-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Beirut: Daar ibn Katsir, hlm 425-427).
Wallahu a’lam..