MOHAMMAD Zainuddin Dahlan, tokoh masyarakat di daerah Purworejo, Jawa Tengah, sudah lama memendam keinginan sekali untuk menunaikan ibadah haji. Namun, keinginan tersebut tidak pernah dikemukakan pada siapa pun.
Sebenarnya, sebagai seorang yang dianggap tokoh yang telah dianggap banyak mengabdikan diri pada masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan dan keagamaan, sudah sewajarnya jika ada instansi tertentu membantu Zainuddin mewujudkan cita-citanya menunaikan rukun Islam kelima, misalnya Departemen Agama. Instansi ini lazim menghajikan orang-orang tertentu, baik sebagai hadiah maupun kepentingan sebagai petugas haji. Zainuddin juga dikenal sebagai seorang pejuang di masa revolusi kemerdekaan. Karena itu, ditinjau dari berbagai segi, sudah sangat layak jika Departemen Agama menghajikan KH Zainuddin Dahlan. Ketika itu Departemen Agama dipimpin KH Saifuddin Zuhri, yang tak lain kakak ipar Zainuddin Dahlan.
Suatu hari, datanglah Zainuddin Dahlan menemui Menteri Agama, Saifuddin Zuhri. Dalam kesempatan pertemuan itu, sepintas lalu dengan cara yang sangat halus dia mengutarakan keinginannya agar bisa menunaikan ibadah haji dan menjajaki kemungkinan berhaji “Abidin” (atas biaya dinas), alias dibiayai Depag. Sebagai kakak ipar, masa sih KH Saufuddin Zuhri tidak membantu,” demikian pikir Zainuddin kala itu, optimis. Zainuddin sudah ngebet ingin munggah kaji.
Oleh masyarakat sekitar, Zainuddin dikenal sebagai seorang yang suka menolong sesama. Tetapi sebaliknya, Zainuddin dikenal sangat “ksatria”, dalam arti tidak pernah minta uluran tangan seorang lain walaupun sebenarnya dalam keadaan memerlukan bantuan orang lain. Ketika Zainuddin menyampaikan keinginannya, Kiai Saifuddin mendengarkan dengan tenang. Mimiknya tidak berubah. Berhasilkah Zainuddin?
Kiai Zainuddin boleh optimis, tapi Kiai Saifuddin punya sikap lain. Dengan suara lirih, tapi cukup jelas, Saifuddin menjawab permohonan sang adik ipar yang sangat wajar itu.
“Sebagai orang yang sangat berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu yang belum memungkinakan, sudah layak departemen menghajikan. Apalagi kamu juga berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen….”
“Satu hal? Apa itu?” tanya Zainuddin penasaran. “Kamu itu adikku. Coba kamu itu orang lain, sudah lama aku hajikan….” ujar Saifuddin Zuhri.
Memang sangat mengejutkan jawaban sang menteri kita ini. Tapi, sebagai suatu sikap yang telah menjadi prinsip dalam hidupnya, sikap demikian itu bagi Kiai Saifuddin wajar saja. bahkan itu merupakan keharusan baginya.
Kiai Zainuddin gagal haji. Apa boleh buat, terpaksa dia harus memendam keinginan untuk bisa berhaji secara gratis. Tapi dalam hati kecilnya dia merasa bangga dengan sikap kakaknya iparnya.
Kisah nyata yang sarat dengan ajaran moral itu terasa hidup ketika diceritakan kembali KH Zainuddin Dahlan, mengenang salah satu sikap KH Saifuddin Zuhri. Tampak betapa tidak ada kamus “aji mumpung” dalam kehidupan Kiai Saifuddin Zuhri. Sebagai pejabat tinggi, sebenarnya ia bisa saja memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi atau keluarga, sebagaimana sering terjadi pada umumnya pejabat. Sikap aji mumpung boleh berlaku untuk orang lain, tapi tidak bagi KH Saifuddin Zuhri. Sampai akhir hayatnya.
***
KH Saifuddin Zuhri lahir di Kawedanan Sukorejo, Banyumas Jawa Tengah. Saifuddin adalah anak kedua dari delapan bersaudara dari perkawinan Mohammad Zuhri dengan Siti Saudatun. Saifuddin lahir dan tumbuh di sebuah keluarga sederhana. Ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedang ayahnya seorang petani. Namun kedua orang tuanya mempunyai obsesi yang besar. Mereka ingin anak-anaknya kelak menjadi “orang besar”. Beruntunglah Saifuddin Zuhri. Dia lahir dari tradisi belajar yang hidup subur di tengah lingkungnnya. Lingkungan demikian sangat berpengaruh pada pembentukan pribadi Saifuddin.
Kelauarga dan lingkungan termasuk faktor penting yang mengantarkan Saifuddin menjadi tokoh yang bertakwa, pejuang, terampil, dan selalu haus akan ilmu pengetahuan. Pada masa kecil, pagi dan siang, Saifuddin belajar sekolah dasar (umun) dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Nahdkatul Ulama. Pada malam hari dia mengaji Al-Qur’an dan mempelajari kitab-kitab kuning di berbagai pondok pesantren yang bertebaran di daerahnya. Pada usia kanak-kanak, dia telah fasih memabaca Al-Qur’an. Dan mengkhatamkan beberapa kitab. Ketika baru berusia 13 tahun, dia sudah mengkhatamkan kitab Safinah, Qathrul Ghaits, Jurumiyah, dan kitab kuning lainnya.
Rasa tidak puas terhadap ilmu yang direguk dikampungnya, menyebabkan dia melakukan pengembaraan ke daerah lain –kendati terbentur oleh beberapa halangan, termasuk biaya. Kota Solo menjadi pilihan utamanya pada waktu itu. ketika itu dia berusia 17 tahun.
Sebelum berangkat ke Solo, dalam batin Saifuddin terjadi “perang-tanding” antara cita-cita dan realitas. Cita-cita ke Solo begitu besar, tatapi kondisi ekonomi tidak memungkinkan.
Namun, sebagai anak yang berangkat dan semangatnya membara, Saifuddin tak kehilangan akal. Akhirnya dia belajar sambil bekerja. Suatu saat, rencananya menjadi pelayan toko atau pelayan hotel terdengar oleh ayahnya. Mendengar itu ayahnya langsung minta Saifuddin pulang ke rumah saja. Mendapat larangan itu Saifuddin tak putus asa. Dia berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik, sekedar cukup untuk biaya mengaji dan sekolah. Saifuddin muda ternyata memiliki bakat menulis. Melamarlah Saifuddin sebagai wartawan. Gayung bersambut, Saifuddin diterima sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta, untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya bidang politik, yang terjadi di Solo. Pendidikannya di Solo terbengkalai karena tugasnya sebagai seorang wartawan terlalu sibuk. Setelah belajar di Manbaul Ulum dan Salafiyah (tidak selesai), ia masih berusaha untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Pendidikan Al-Islam, tapi tidak selesai juga. Meskipun secara formal pendidikannya boleh dibilang gagal, tak ada orang yang meragukan ke-‘alim-an, kecerdasan, keluasan wawasannya, dan tentu saja kecintaannya pada organisasi.
Salah satu sifat yang patut kita contoh dari Kiai Saifuddin adalah kesahajaan dan kesederhanaannya. Sebagai seorang kiai-mentri, ia tidak pernah menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribada ataupun keluarganya. Pola hidup yang sederhana dan apa adanya mungkin adalah kunci menjaga dari hal-hal yang bisa menyelewengkan kekuasaan. Ya, dia adalah kiai-menteri yang wira’i. Bacalah satu kisah tentang Saifuddin Zuhri di bawah ini.
Pada akhir 1980-an, KH Saifuddin memiliki kebiasan baru yang tidak pernah di diketahui oleh putra-putrinya. Setiap habis shalat dhuha, sekitar pukul 9.00, di keluar rumah, mengendarai mobilnya sendiri. Menjelang zuhur tiba, dia sudah tiba kembali di rumah. Ke mana gerangan mantan menrti agama ini pergi? Dan untuk urusan apa?
Kegiatan ini berjalan cukup lama tanpa satu pun anggota keluarganya mengetahui. Sampai suatu hari, salah seorang putranya berhasil memergoki yang dikerjakan Pak Saifuddin di luar rumahnya. Bukan kepalang kagetnya ketika sang putra mengetahui yang dikerjakan KH Saifuddin Zuhri Selama ini.
Rupanya sehabis shalat dhuha, dia pergi ke pusat perdagangan Glodog, Jakarta Pusat. Tanpa harus merasa jatuh gengsi, dia berdagang beras kecil-kecilan. Sampai akhir hayatnya –kiai Saifuddin wafat 25 Februari 1986- tokoh yang satu ini hidupnya sangat bersahaja. Semasa menjadi pejabat dan tokoh penting, sangat berpantangan dengan budaya aji mumpung. Seandainya dia mau, boleh jadi pada akhir tahun 1980-an itu dia tidak perlu harus keluar rumah setiap pagi untuk menjadi pedagang kecil dan menjual beras.(Hamzah Sahal, dari berbagai sumber)