Takbiran: Antara Tradisi dan Ritus Islam

Takbiran: Antara Tradisi dan Ritus Islam

Takbiran: Antara Tradisi dan Ritus Islam

Setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh, umat Islam akan mendapatkan hari kemenangan, yakni Idul Fitri. Dipenghujung puasa, tepatnya malam hari, banyak kita jumpai orang-orang membaca takbir, baik itu berkeliling maupun di tempat ibadah. Kegiatan semacam ini biasa kita kenal dengan sebutan “takbiran”.

Di berbagai daerah di Indonesia banyak kita jumpai orang-orang yang bertakbir keliling, ada juga yang menetap di masjid atau mushola hingga menjelang subuh. Bahkan, disejumlah daerah terdapat agenda tahunan dalam menyambut takbiran. Ada yang membuat acara karnaval dengan berbagai seni. Misal, becak dimodifikasi menjadi mobil, truk dimodifikasi menjadi bus, dan sebagainya. Dan tak lupa pula mereka juga mengumandangkan takbir secara bersama sebagai ungkapan hari kemenangan telah tiba.

Terlebih lagi kegiatan ini tidak hanya diramaikan oleh pemuda pemudi saja melainkan semua kalangan baik anak-anak hingga orang dewasa pun turut memeriahkannya. Bahkan kita juga menjumpai kembang api sebagai wujud rasa senang karena sudah berhasil menjalankan ibadah puasa.

Dengan melihat fenomena di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa takbir keliling sudah menjadi tradisi di masyarakat kita. Dari tahun ke tahun tradisi semacam itu akan terus kita jumpai. Bahkan bisa jadi akan ada variasi-variasi baru dalam mengumandangkan takbir tersebut. Lantas apakah memang tradisi semacam ini dianjurkan dalam Islam, dengan kata lain tradisi semacam itu memang ritus dalam Islam atau hanya sekedar tradisi yang dikonstruk sendiri oleh umat Islam?.

Secara hukum agama, menjalankan takbiran pada malam Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah. Hal ini didasarkan pada dalil Q.S Al-Baqarah: 185 yang artinya “hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”. Sebagai penguat dari ayat tersebut, kita perlu mencari bukti bagaimana takbiran disaat Nabi masih hidup.

Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW berangkat pada hari raya beserta al-Fadll bin Abbas, Abdullah, Abbas, Ali, Ja’far, Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman Ibn Ummu Aiman, mereka meninggikan suaranya (mengeraskan suara) dengan membaca tahlil dan takbir, mengambil rute satu jalan hingga tiba di mushala (tempat shalat), dan ketika mereka selsai shalat, mereka kembali melewati rute yang lainnya hingga tiba di kediamannya. (HR. Al-Baihaqi dalam As Sunanul Kubro, dan dalam Shahih Ibnu Khuzimah).

Dua dasar tersebut, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sudah menjelaskan bagaimana hukum melakukan takbir, dan bahkan Nabi juga mencontohkan bagaimana cara untuk bertakbir. Dengan begitu menurut hemat penulis, dua legitimasi agama tersebut cukup kuat untuk melakukan takbiran Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada hal yang harus diperhatikan ketika melakukan takbiran yaitu dengan menyebut nama Allah. Sebab, jika kita hanya melakukan keliling tanpa tau maksudnya, yakni mengagungkan kebesaran Allah dengan menyebut nama-Nya, hal itu tidak sesuai apa yang sudah dianjurkan oleh Nabi.

Selanjutnya mengenai bentuk lainnya atau variasai dalam takbiran tentu hal ini akan menyesuaikan kondisi masyarakat. Di Indonesia, seperti yang disebutkan di atas, memiliki tradisi semacam itu. Tidak ada yang berlawanan antara apa yang sudah dianjurkan dalam agama dengan praktek takbiran masyarakat Indonesia. Jadi, tradisi takbiran memang sebagai bentuk tradisi juga ritus dari agama Islam. Oleh karenanya bagi masyarakat yang ingin mengumandangkan takbir secara berjamaah dengan cara berkeliling atau berdiam diri di masjid sah-sah saja hukumnya, karena hal ini adalah Sunnah Nabi.

Hanya saja yang perlu digaris bawahi ketika bertakbir ialah harus dengan mengagungkan nama Allah, dan yang tidak kalah penting, menjaga kedamaian sesama warga negara. Sebab kita hidup di tengah heterogenitas bangsa dan oleh karenanya takbiran yang kita lakukan harus menghormati mereka yang tidak bergama Islam. Jangan sampai apa yang kita lakukan menganggu ketentraman apalagi menyakiti perasaan non muslim. Hal ini tidak lain demi menjaga perdamaian sesama warga negara dan hari kemenangan yang kita raih bisa utuh tanpa meninggalkan noda apapun. Wallahhu a’lam.

M. Mujibuddin, penulis aktif di pesanggrahan Islami Institute dan Gusdurian Jogja.