Tradisi Islam Lokal yang Semakin Terancam

Tradisi Islam Lokal yang Semakin Terancam

Tradisi Islam Lokal yang Semakin Terancam

Setiap akhir bulan Safar dan sepanjang Rabiul Awal, linimasa beragam platform media sosial selalu saja dijejali permasalahan dalil dan ritual di masyarakat Muslim Indonesia. Sedangkan di akhir Safar biasanya diisi dengan perdebatan Arba Mustamir atau dikenal dengan Rabu Wekasan, salah satu tradisi masyarakat Muslim Nusantara yang percaya turun bala atau kesialan di hari tersebut.

Menariknya, saya mendapati perbincangan tradisi Arba Mustamir atau Rabu Wekasan kemarin tidak lagi sekedar terbagi dua kutub, antara setuju atau tidak. Namun, ada dinamika baru yang muncul seiring atau dipengaruhi perkembangan teknologi media, khususnya media sosial. Dinamika tersebut berupa kemuncul sikap tengah atas tradisi tersebut.

Ada beberapa pendakwah populer di media sosial yang mulai berpendapat dan sikap berbeda dari dua kutub di atas. Mereka berpendapat bahwa tradisi tersebut dihadirkan dengan narasi yang baru, seperti doa-doa baru hingga perubahan atas kepercayaan selama ini. Salah satu pendakwah populis, misalnya, mengugat kepercayaan masyarakat Muslim Nusantara selama ini.

Pendakwah tersebut mengusulkan masyarakat harus mulai mengubah kepercayaan mereka selama ini, di mana mereka percaya bahwa ada kesialan yang beredar di hari tersebut. Sosok pendakwah tersebut juga mengusung wacana “tak ada hari yang sial.”

Fenomena terbaru dalam perbincangan Rabu Wekasan di media sosial di atas, seakan menggambarkan sempurna bagaimana wajah keberagamaan kontemporer. Jika kita berkaca pada penjelasan Bart Berengart yang menyebutkan media sosial dan agama telah berpengaruh pada perubahan wajah Islam secara massif. Dengan kata lain, teknologi dapat mengkonfigurasi ulang komunitas Muslim di seluruh dunia dalam waktu dekat.

Menariknya, ketimbang resistensi atas sikap yang menolak, masyarakat Muslim tradisionalis tidak menolak sama sekali pada pendapat yang berbeda atas tradisi mereka. Saya menengarai sikap ini didorong dua hal, yakni pergeseran otoritas dan perubahan pandangan keberagamaan akibat globalisasi ajaran.

Untuk perihal terakhir ini, kita masih sangat jarang mendapati ulasan mendalam terkait persoalan tersebut. Padahal, wacana globalisasi ajaran agama sebagai akibat media sosial dapat mengubah tradisi keberagamaan masyarakat Muslim Nusantara. Untuk lebih dalam, kita sebenarnya bisa melihat bagaimana narasi “Islam itu seharusnya bersatu” di kelompok Hijrah dan Konservatif, mendapatkan momentum dengan kehadiran media sosial.

Keberagaman tradisi dan ekspresi keberagamaan di masyarakat Muslim hari ini tidak lagi “hanya” direspon dengan dalil, atau dengan diksi Bid’ah atau Haram. Namun, narasi Islam mulai dibicarakan dengan mendorong wacana atau tema yang lebih logis dan rasional, seperti persaudaraan sesama muslim atau

Tradisi-tradisi Islam yang dipraktikkan masyarakat Muslim lokal biasanya tidak dibahas atau “sengaja diabaikan” karena rentan memecah belah umat Islam. Oleh sebab itu, kita sangat sulit menjumpai gerakan anak muda Muslim untuk mengarusutamakan tradisi keislaman yang dianggap “pinggiran” atau “rentan perbedaan.”

Walaupun, tradisi dan wacana lokalitas tidak sepenuhnya ditolak, akan tetapi lebih tepat “dipinggirkan.” Namun, akhir-akhir ini, ada lagi model penolakan lembut atas tradisi lokal dengan menghadirkan wacana dekonstruksinya dengan level yang berbeda dengan kelompok Salafi-Wahabi. Tradisi lokal tidak ditolak sepenuhnya namun wacana di dalamnya dibongkar.

Agensi dari fenomena tersebut adalah para pendakwah populis yang dekat dengan kelompok anak muda tradisionalis. Padahal, titik yang sering diabaikan atau dibongkar adalah sebagian besar tradisi-tradisi Islam lokal berbasis atau berfondasi dengan pengetahuan Islam setempat. Bahkan, tidak jarang, tradisi tersebut juga berkaitan dengan lanskap alam setempat.

Pengetahuan lokalitas yang turut berkembang bersama wacana dan tradisi di Islam lokal telah dicerabut “lembut,” dengan menghadirkan wajah Islam semakin universal, dalam hal ini biasanya lebih rasional atau wajah yang modern. Media sosial memiliki peran besar dalam pergeseran wajah keislaman ini, dengan hanya menyuarakan atau memberi ruang lebih besar pada wajah islam yang lebih rasional atau modern tersebut.

Para pendakwah populis ini tidak jarang, entah sengaja atau tidak, mulai mengabaikan sisi lokalitas dalam Islam. Islam lokal juga mulai digantikan dengan dalil dan sejarah yang dianggap “resmi” atau “otoritatif.” Pemandangan ini sebenarnya telah diprediksi oleh Jon W. Anderson, yang menyebutkan bahwa Islam yang hadir internet biasa mulai bersaing menjadi yang “resmi.”

Fakta bahwa Islam di internet telah menjadi “market,” di mana masyarakat Muslim bisa memilih dengan bebas ajaran, tradisi, hingga ekspresi keislaman yang beredar. Sehingga, kita menjadi saksi modus-modus baru kapitalisme Islam dan juga dorongan dari sebagian umat Islam untuk mengislamkan teknologi seluler. Islam lokal, sayangnya, tidak jarang gagal turut hadir lewat “kompetisi” ini.

Walaupun, di sisi lain, kita bisa melihat sebagian wacana Islam lokal “mulai” dikerjakan oleh anak-anak muda Muslim tradisionalis, agar bisa turut muncul di ranah internet sebagai bagian dari wajah Islam “resmi.” Namun, perjuangan ini masih banyak “pekerjaan rumah” yang tak sedikit.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin