Dalam artkel sebelumnya (Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6) telah dijelaskan mengenai posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi peringatan kepada kaum yang telah melalui masa fatrah. Pada ayat ini Allah SWT meyakinkan Nabi untuk tidak patah arang hanya karena penolakan keras dari orang-orang kafir Quraish. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ () إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ () وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ
Laqad haqq al-qaul ‘ala aktsarihim fahum la yu‘minum. Inna ja’alna fi a’naqihim aghlalan fahiya ila al-Adzqani fahum muqmahun. Wa ja’alna min baini aydihim saddan wa min khalfihim saddan fa aghsyainahum fahum la yubshirun.
Artinya:
“Demi (Allah), sungguh telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah atau siksa-Nya) terhadap kebayakan mereka, maka mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya Kami telah menjadikan (keadaan mereka yang bersikeras untuk tidak beriman bagaikan orang yang) di leher mereka (terpasang) belenggu-belenggu, lalu ia (diikatkan) ke dagu, sehingga mereka tertengadah. Dan Kami (juga) mengadakan, di hadapan mereka, dinding (penghalang) dan di belakang mereka dinding (pula) dan Kami menutupi (mata) mereka sehingga (kalaupun dinding itu tidak ada, niscaya) mereka (tetap) tidak dapat melihat.” (QS: Yasin ayat 7-9)
Ketika menafsirkan ayat ke tujuh surat Yasin di atas, Ibnu Jarir al-Tabari menjelaskan bahwa makna dari haqq al-qaulu adalah pastinya siksa (laqad wajaba al-‘iqab) yang akan menimpa kebanyakan dari mereka (kafir Quraish) akibat penolakan yang keras. Hal ini sebagaimana Allah SWT telah menetapkannya dalam Umm al-Kitab (Lauh Mahfuzh) bahwa mereka tidak beriman kepada Allah SWT dan menolak Rasulullah SAW.
Terkait penafsiran ayat ke delapan, al-Tabari menjelaskan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas lewat jalur dirinya sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan belenggu meliputi kedua tangan yang diikat ke leher, seolah-olah para penentang itu tidak mampu menerima kebaikan yang terbentang untuk mereka. Sedangkan penafsiran dari riwayat dengan jalur Qatadah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan belenggu adalah mereka terbelenggu (tertutup) dari kebaikan-kebaikan. Adapun pada ayat ke sembilan, dari jalur Ibnu Humaid dari Hakam dari ‘Anbasah dari Muhammad bin Abdurrahman dari Qasim bin Abi Bazzah dari Mujahid, al-Tabari menerangkan bahwa yang dimaksud dengan dinding (saddan) adalah tertutupnya mereka dari kebenaran (al-Haqq). Dari jalur Ibnu Zaid, al-Tabari juga menjelaskan bahwa dinding penutup yang dimaksud pada ayat ini menghalangi mereka dari ajaran Islam dan keimanan.
Imam al-Qusyairi menjelaskan kandungan ayat ke tujuh bahwa telah nyatan kebenaran siksa atas kebanyakan dari orang-orang kafir Quraish karena keadaan mereka yang bersikeras menolak ajaran Nabi Muhammad SAW dan teguh pada kebodohannya. Oleh karena itu, menjadi wajar untuk menghukumi atau menetapkan mereka sebagai orang-orang yang tidak beriman. Untuk ayat ke delapan dan sembilan, al-Qusyairi menjelaskan bahwa seakan Allah SWT berfirman, “Kami menenggelamkan mereka pada hari ini dalam lautan kesesatan, dan di akhirat Kami akan menenggelamkan mereka ke dalam api neraka. Pada kata fa‘aghsyainahumyang terdapat pada akhir ayat sembilan, menurut al-Qusyairi bermakna bahwa mereka (orang kafir Quraish) buta untuk menyaksikan hujjah (kebenaran).
Al-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf menjelaskan bahwa penggunaan diksi kata belenggu (al-ghalal) pada ayat ke delapan merujuk pada keadaan unta (al-Ibil) yang ketika dibelenggu Ia mengangkat kepalanya menjauhi air pada saat musim dingin. Untuk ayat ke sembilan, al-Zamakhsyarimenjelaskan bahwa ayat tersebutberkaitan dengan peristiwa tentang salah satu tokoh Bani Makhzhum, yaitu Abu Jahal. Suatu ketika Abu Jahal bersumpah bahwa jika ia melihat Nabi Muhammad SAW sedang salat, maka ia akan melemparnya dengan batu. Berangkatlah Abu Jahal untuk mendatangi Nabi sambil menggenggam batu di tangan. Ketika Nabi sudah ditemukan dalam keadaan salat, Abu Jahal sudah mengangkat tangan sebatas lehernya, tiba-tiba Allah SWT membutakan matanya.
Menurut Ibnu ‘Asyur ayat ketujuh ini adalah penjelasan lanjutan atas keadaan masyarakat ketika Nabi Muhammad SAW datang membawa risalah kenabian. Menurut Ibnu ‘Asyur mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama tidak memanfaatkan risalah (menolak)atau peringatan yang disampaikan. Kedua kelompok yang mengikuti ajaran Nabi dan memanfaatkan peringatannya dengan sebaik-baiknya. Lalu ayat ini menerangkan bahwa sebagian besar dari mereka adalah kelompok pertama, oleh karenanya Allah SWT akan menimpakan siksaan kepada mereka. Adapun kata Haqq pada ayat ini mengandung makna tetap (tsabata). Terkait ayat ke delapan, Ibnu ‘Asyur menerangkan bahwa ayat ini hendak mempertegas siksa yang akan menimpa mereka (kelompok yang menentang) dengan perumpamaan bahwa mereka dibelenggu karena tidak bisa menerima kebenaran. Kemudian pada ayat ke sembilan, memiliki makna kulminasi (irtiqa) dari ayat sebelumnya sehingga mereka haram (tertutup) untuk menerima hidayah karena sikap, perilaku mereka tertutup untuk menerimanya.
Menurut M. Quraish Shihab kata al-qaul dari ayat ke tujuh mengandung arti telah menjadi pasti apa yang tercatat dalam pengetahuan Allah SWT bahwa mereka tidak akan beriman, dan dalam kenyataannya mereka memang tidak beriman. Menurut Quraish hal ini diakibatkan oleh pelampauan batas, kesewenangan, dan keangkuhan mereka untuk menerima kebenaran sebagaimana diisyarakatkan dalam QS al-Shaffat: 31-32 dan al-Zumar: 72. Kemudian kata muqmahun seringkali digunakan untuk menggambarkan unta yang haus namun tidak dapat minum. Menurut Quraish, kata ini melukiskan keadaan seseorang yang akan menelan sesuatu, ia mengangkat kepalanya sambil menutup mata dan, dengan pandangan lesu serta takut, ia berusaha menelan sesuatu tetapi tidak mampu. Sedangkan ayat ke sembilan, menurut Quraish, adalah tambahan gambaran penderitaan para penentang ajaran Nabi.