Selasa, 6 Agustus 2019, Kiai Maimoen Zubair berpulang. Ungkapan belasungkawa deras mengalir tidak hanya dalam rapalan doa segenap umat Islam, tetapi juga di setiap lini media sosial, bahkan mereka yang non-Muslim turut berduka.
Kita, bil khusus umat Islam Indonesia, memang layak merasa kehilangan salah satu sesepuh bangsa ini. Dikatakan sesepuh, tentu bukan pada faktor usia an sich, tetapi lebih pada pertimbangan kebijaksanaannya yang melampaui manusia pada umumnya.
Satu cerita yang cukup terkenal tentang Kiai Maimoen adalah soal “peci putih”. Salah satu murid beliau, Kiai Bahaudin Nursalim di satu kesempatan ceramah keagamaan mengisahkan larangan Kiai Maimoen kepada para santrinya agar tidak sembarangan memakai peci putih.
Pasalnya, dalam tradisi masyarakat Muslim di daerah Sarang khususnya, dan mungkin juga Jawa pada umumnya, peci putih itu identik dengan simbol orang yang telah berhaji. Sedang, kita tahu Haji itu bukanlah ibadah yang murah.
Dengan kata lain, ia bisa memakan biaya puluhan juta. Ini tentu bukan nominal yang sedikit, apalagi bagi masyarakat Muslim menengah ke bawah. Dan faktanya tidak sedikit mereka yang tetap komit berangkat Haji, tidak peduli meski harus menjual sawah, sapi, kerbau, bahkan tanah.
Bukan apa-apa, mengerti bahwa berangkat ke tanah suci itu butuh pengorbanan yang luar biasa Kiai Maimoen hanya tidak ingin bilamana para santrinya melukai hati orang, sekalipun dalam simbol yang paling receh dan sederhana seperti peci.
Tidak hanya itu, kecintaan Kiai Maimoen terhadap bangsa Indonesia tidak diragukan lagi. Pada gelaran Muktamar NU 2015 lalu di Jombang, saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa Mbah Moen, di tengah kondisinya yang tidak lagi prima, tetap berusaha berdiri ketika tiba saatnya para hadirin mengumandangkan lagu kebangsaan, Indonesia Raya.
Ini tentu saja merupakan cambuk sekaligus pelajaran penting bagi para generasi penerus bangsa, bahwa mencintai tanah air itu tidak bisa dengan main-main. Mencintai tanah air juga bukan merupakan sesuatu yang haram.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno dalam Negara Nasional dan Cita-cita Islam sekiranya pernah menulis bahwa Islam tidak bertentangan dengan kenasionalan. Islam juga tidak melarang kita menyusun satu negara nasional.
Tetapi, kata Bung Karno, yang selalu disalahpahami ialah jikalau engkau nasional, engkau anti agama. Dan, jikalau engkau nasional, engkau memberhalakan tanah air. “Tidak!…. Rasa nasional adalah lepas dari itu”.
Lagi pula, adanya Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari akar perjuangan para ulama. Mereka bersama elemen masyarakat lainnya, dari berbagai kalangan, keyakinan, dan lintas-etnis, bahu-membahu untuk melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu kolonial.
Karenanya, untuk “merayakan” kemerdekaan sekaligus mengikat komitmen perjuangan bersama itulah kemudian disepakati bahwa negeri ini berdiri atas kesadaran Bhineka Tunggal Ika dan semangat Pancasila.
Oleh karena itu, sejak awal para pendiri bangsa memang telah sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, atau kalau dalam tradisi umat Muslim dikenal dengan maqasid al-syariah.
Dalam cara demikian, melalui Pancasila para ulama dan tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya bermaksud menghadirkan agama sebagai wujud dari kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya. Dan, dalam konteks ideal Pancasila inilah setiap orang akan bisa saling membantu untuk mewujudkan serta meningkatkan kesejahteraan sehari-hari, dan pada saat yang sama dapat bebas beribadah selaras dengan keyakinan masing-masing untuk meraih kedamaian ukhrawi.
Di titik kesadaran inilah barangkali kita bisa mengerti alasan mengapa Kiai Maimoen tetap memaksanakan untuk berdiri, kendati secara fisik tidak lagi memungkinkan. Tidak-kah kita merasa malu?!