Simalakama Mudik di Tengah Pandemi Covid-19

Simalakama Mudik di Tengah Pandemi Covid-19

Mudik memang menyenangkan, tapi tidak di masa pandemi Covid-19 seperti hari ini

Simalakama Mudik di Tengah Pandemi Covid-19

Kota, sebuah lema yang telah lama diasumsikan sebagai antonim desa. Pembangunan, karir, gedung bertingkat dan berbagai imaji tentang kota yang tertanam dalam kepala kita semua cenderung similar. Kehidupan masyarakat perkotaan yang begitu keras tidak mampu menenggelamkan pesona yang menarik banyak orang untuk datang ke sana, untuk mengadu nasib. Padahal tidak jarang orang yang pertama kali datang ke kota akan mengalami gegar budaya, karena menghadapi kultur yang sama sekali berbeda dari kehidupan sebelumnya di desa.

Kehidupan yang keras, serba cepat dan individualis segera kita temui jika datang ke kota. Kesenjangan sosial antar penduduk yang semakin cepat melebar dan tekanan ekonomi, dianggap faktor paling bertanggungjawab atas kondisi sosio-kultural kota yang begitu keras. Inilah pemandangan yang selama ini terhampar jelas di depan mata kita semua.

Kondisi lingkungan perkotaan yang memiliki permasalahan yang tak kalah akut, juga sering diabaikan dari imaji kita soal kota. Sanitasi dan sampah mungkin hanya sebagian kecil dari permasalahan kota. Berbagai permasalahan seakan mengubah lanskap kota tidak lagi segemerlap yang diimajikan semua orang sebelum mendatanginya.

Alienasi atau keterasingan adalah wacana yang tumbuh beriringan dengan lahirnya sebuah kota. “Tempat manusia tak dihubungkan oleh kesatuan adat, apalagi darah, seperti masyarakat tradisional dalam kekerabatan di kampung, melainkan oleh kesatuan kepentingan” tulis Seno Gumira Ajidarma. Jika kota sering dilihat sebagai tumpuan kepentingan maka yang datang ke kota tersebut hanya untuk menyambung dan mempertahankan hidup, bukan karena cinta pada kota tersebut.

Kepentingan bertahan dan menyambung tersebutlah yang menyeret orang di kota saling berkompetisi, keakraban pun tergadaikan sehingga mengalami reduksi. Kehidupan urban didasarkan pada sejumlah besar manusia yang hidup berdekatan tanpa benar-benar saling mengenal, kondisi yang memaksa mereka untuk melakukan transaksi dan perjumpaan instrumental.

Kondisi ini kemudian menghasilkan hubungan-hubungan superfisial, sementara, dan kompetitif, terasing dan ketidakberdayaan. Tapi ini bukan akhir dari kehidupan kota, masyarakat selalu berkreasi membentuk asosiasi berdasarkan beberapa kesamaan, seperti gaya hidup, hobi, etnisitas, hingga unsur primordial seperti agama. Inilah modal sosial kekuatan yang merekatkan masyarakat perkotaan.

Namun, kehidupan terasing dan hubungan superfisial tersebut tentu memaksa penduduk kota merindukan hubungan komunal yang ada di desa. Selain itu, ada dimensi psikografis dan agama yang turut mendesak mereka untuk pergi ke tempat asal di desa atau mudik di saat libur panjang, seperti lebaran.

Kepenatan atas kehidupan yang keras, sebagaimana dijelaskan di atas, dan berbagai ritual keagamaan terkait Ramadan dan Syawal tentu menjadi pertimbangan bagi masyarakat perkotaan untuk pulang ke kampung halaman. Di tengah situasi pandemi Covid-19 masih cukup tinggi penularannya dan disebut-sebut akan ada kebijakan Pemerintah tentang larangan mudik, apakah masyarakat tetap akan mudik?

Dilarang Mudik: Efek Ganda Bagi Masyarakat Kecil

Dinamika kehidupan di dunia sedang mendapatkan ujian besar yaitu mewabahnya Covid-19 di berbagai wilayah. Tidak sedikit kota-kota besar hingga negara harus kuncitara (Lockdown), untuk memaksa masyarakatnya untuk berdiam di rumah saja. Sebelumnya, ada himbauan “Social Distancing (Jaga Jarak Sosial)”, seperti yang diberlakukan di Indonesia, untuk menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah. Semuanya dilakukan untuk memutus persebaran virus Korona di masyarakat.

Konsekuensi yang dirasakan masyarakat tentu sangat sulit dan tidak sedikit. Ada banyak gegar budaya yang dihadapi kita semua sekarang ini. Lihat saja linimasa layanan jejaring sosial kita, ramai sekali dengan keluhan, kebosanan bahkan kemarahan karena harus melakukan semua kegiatan dari rumah.

Kondisi ini hanya sebagian permukaan dari dinamika pasca himbauan “Jaga Jarak Sosial” dari pemerintah. Dampak yang mulai terasa berat adalah mulai melambannya roda ekonomi, yang membuat sebagian UMKM dan pedagang asongan merasakan imbas yang tidak mengenakkan, yaitu menurunnya pendapatan harian mereka.

https://twitter.com/GisellaCik/status/1244846633885433863

Padahal ketiadaan “sabuk pengaman” terhadap kerapuhan ekonomi di masyarakat kecil tentu memaksa sebagian mereka tetap harus berjuang di jalanan untuk menyambung hidup. Kondisi ini memang memancing simpati masyarakat luas. Berbagai organisasi hingga individu membuka pintu seluas-luasnya untuk menggalang berbagai bantuan kepada kelompok rentan, yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Berbagai lembaga filantropi yang telah ada juga mulai menyusun program-program agar bantuan dari berbagai lapisan masyarakat, bisa lebih tepat sasaran dan penggunaannya. Tidak hanya sekali linimasa media sosial dihiasi cerita inspiratif, seperti kisah seorang driver ojol yang mendapatkan makanan dari pelanggan yang memesannya.

Kondisi tersebut terlihat masih belum mampu menghentikan gelombang mudik di masyarakat, karena bagi mereka kehidupan di desa lebih aman secara ekonomi ketimbang memaksa hidup di kota yang makin sulit dan berat, karena ongkos kehidupan sehari-hari seperti makan dan sewa kamar atau kos yang tetap harus dibayar tidak bisa ditutupi dari pekerjaan yang semakin sulit pasca situasi Korona.

Faktor ekonomi memang memaksa masyarakat kota untuk mudik lebih awal, sebab di desa mungkin pengeluaran bisa ditekan lebih banyak karena berbagai kemudahan hidup sederhana di sana, atau dalam bahasa lebih mudah mereka memilih mengungsi ketimbang masih bertahan di kota.

Tentu dimensi spiritual, psikografis dan sosiologis dalam mudik harus menjadi pertimbangan pemerintah. Jika skenario pelarangan mudik diputuskan oleh pemerintah, maka selain perhatian pada dampak ekonomi, dimensi lain yang selama ini ada dalam mudik tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Apalagi pandemi Korona menambah dimensi baru dalam mudik, kerinduan akan kampung halaman berubah menjadi eskalasi keinginan bersama keluarga di tengah kegamangan, karena di tengah ketakutan, kepanikan dan kebingungan, sehingga bersama keluarga pilihan rasional yang diambil.

Jika pemerintah masih terkesan lamban dan tidak transparan dalam menghadapi virus tersebut. Bukan tidak mungkin, kebanyakan masyarakat masih mengambil resiko untuk mudik. Jadi, solusi yang harus diambil oleh pemerintah untuk menekan angka pemudik adalah menghadirkan rasa aman bagi seluruh masyarakat.

Jaminan ekonomi dan keselamatan pada mereka yang terdampak pandemi, bisa menghilangkan asumsi negatif yang dilekatkan pada pemerintah dalam menghadapi virus tersebut. Hal ini jika dilakukan oleh pemerintah tentu juga bisa menghadirkan rasa aman yang bisa menekan keinginan mudik di masyarakat seminimal mungkin. Selain itu, tradisi mudik yang sudah mendarah daging, tentu harus tetap dicarikan solusinya ketika itu dilarang, misalnya menghadirkan waktu libur khusus pasca pandemi berakhir nanti.